Jumat, 31 Agustus 2018

SEKULARISASI ILMU PENGETAHUAN



BAB I
PENDAHULUAN 
      A.    LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan ini manusia mempunyai banyak tujuan yang sangat tinggi untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Hal ini menyebabkan manusia berusaha keras untuk mengembangankan ilmu pengetahuan sehingga manusia menjadi makhluk yang mulia di muka bumi ini. Pada setiap manusia terdapat potensi-potensi untuk bisa dikembangkan secara kreatif dan inovatif. Manusia mampu menalar, artinya berfikir secara logis dan analitis, karena kemampuan menalar dan mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil pemikirannya, maka manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan, melainkan mampu mengembangkannya.
Manusia melalui perjalanan panjang dalam mencari hakikat dan makna hidupnya. Pengalaman demi pengalaman telah dilalui, akhirnya manusia berada dalam puncak kemajuan melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendominasi segala aspek kehidupan yang mendesak spritualitas sampai terpojok pada “lorong yang sangat sempit”.[1] Terjadinya penyebab utama merosotnya peran Agama dalam beradaban modern yaitu karena agama dianggap tidak memiliki kontribusi langsung bagi upaya mengejar kehidupan fisik-material. Bahkan seperti ditandaskan Mehden bahwa banyak ilmuan sosial Amerika yang menilai agama sebagai faktor negatif dalam proses modernisasi.  Agama bagi mereka adalah suatu penghambat dalam meraih modernisasi. Jadi agama adalah penghambat kemajuan. Anggapan ini telah berakar  sejak abad ke 19.[2] Perkembangan ilmu pengetahuan telah melahirkan berbagai macam dampak terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, disatu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun disisi lain juga menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Sekuler, Sekularisasi dan apa yang melatar belakangi kemunculanya ?
2.      Bagaimana Sekularisasi pengetahuan ditinjaui dari Epistimologi, Ontologi, Aksiologi ?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian sekuler, sekularisasi dan latar belakang munculnya sekularisasi.
2.      Untuk mengetahui sekularisasi ditinjau dari  Epistimologi, Ontologi, Aksiologi.















BAB II
PEMBAHASAN

1.      PENGERTIAN SEKULARISASI
Istilah Sekularisasi berakakar dari kata Sekuler yang berasal dari bahasa latin Seaculum artinya abad ( age, century ), yang mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata secular berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spritual, abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.[3]
Sekularisasi menurut Cornelis van Peursen seorang Theolog dari Belanda, didefinisikan sebagai pembebasan manusia”pertama-tama dari agama dan kemudian dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya”. Itu berari “terlepasnya dunia dari pengertian-pengerian religius dan religius-semu, terhalaunya semua pandangan-pandangan dunia yang tertutup, terpatahkannya semua mitos supranatural dan lambang-lambang suci ‘defatalisasi sejarah, penemuan manusia akan kenyataan bahwa dia ditinggalkan dengan dunia di tangannya, sehingga dia tidak bisa lagi menyalahkan nasib atau kemalangan atas apa yang ia perbuat dengannya ; manusialah yang mengalihkan perhatiannya lepas dari dunia-dunia di atas sana ke arah dunia sini dan waktu kini.[4]
Menurut Surjanto Poepowardojo, pada hakikatnya sekularisasi menginginkan adanya pembebasan tajam antara agama dan ilmu pengetahuan, dan memandang ilmu pengetahuan otonom pada dirinya.[5]
 Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan, sehingga ia dapat berbuat bebas sesuai dengan apa yang ia kehendaki berdasarkan rasio. Atas dasar orientasi ilmiah, manusia berusaha untuk menemukan hal-hal yang baru, dan dengan metode-metode ilmiah empiris yang telah berkembang sejak abad ke-18, manusia menjadi mempunyai kreativitas untuk menangkap dan mengungkapkan realitas yang konkret.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya, at-Tatharufu al-’ilmani fi Mujaahwati al-Islam, sekular ialah la Diniyyah atau Dunnaawiyah yang bermakna sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan agama atau semata dunia.[6] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tak didasarkan pada ajaran agama.[7]
Makna Sekularisasi itu sendiri, menurut Norcholis Madjid mengartikannya sebagai proses penduniawiyaan atau proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama.[8] Adapula yang mendefinisikannya sebagai suatu proses yang terjadi dalam segala sektor kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang lepas dari dominasi lembaga-lembagaan simbol-simbol keagamaan[9].
Dari berbagai pengertian yang dikemukakan  di atas menunjukkan bahwa makna Sekularisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan / pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan berpikir.

 LATAR BELAKANG LAHIRNYA SEKULARISASI
Sekuler adalah kata sifat yang menggambarkan suatu keadaan dimana ia telah memisahkan kehidupan duniawi dari pengaruh agama atau hal-hal yang berbau perihal  spiritual. Sedangkan sekularisme adalah suatu paham yang ingin memisahkan atau menetralisir semua bidang kehidupan seperti politik dan keanekaragaman, ekonomi, hukum, sosial-budaya dan ilmu pengetahuan teknologi dari pengaruh agama atau hal-hal yang ghaib.[10]
Sekularisasi sering diartikan sebagai pemisahan antara urusan Negara (politik) dan urusan agama atau pemisahan antara urusan duniawi dan ukhrawi (akhirat).[11] Dalam dekadenya, sekularisasi yang muncul pada abad pertengahan ini ingin memberi suatu penempatan yang pas, dimana yang memang urusan duniawi dan mana yang urusan agama. 
Sekularisasi atau pemisahan antara ilmu atau sains dengan agama mempunyai sejarah panjang dan gelap. Eropa abad pertengahan merupakan masa-masa suram bagi berkembangnya nalar kritis manusia. Kekuasaan berada dibawah otoritas gereja.  Mempertanyakan otoritas gereja sama dengan mempertanyakan otoritas Tuhan. Pembacaan terhadap realitas sepenuhnya merujuk pada kitab suci, sedangkan kitab suci pada masa itu dibaca secara harafiah. Sehingga sampai kini, kaum agama yang membaca kitab sucinya secara literal atau harafiah kerap dijuluki kaum skripturalis. Kaum ilmuwan yang menemukan fakta yang berbeda dengan kitab suci kerap dikucilkan bahkan dituduh ateis.
Sekularisasi berasal dari dunia barat kristiani, yang muncul dengan diserukan oleh para pemikir bebas agar mereka terlepas dari ikatan gereja, para pemuka agama dan pendetanya. Pada awalnya agama Kristiani lahir di dunia Timur, namun warna Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini sejak kekaisaran Romawi Konstantin yang agung (280–337M) yang melegalisasikan dalam dalam wilayah imperiumnya serta mendorong penyebarannya merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan warna Kristiani meyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi, sosial, budaya, serta ilmu pengetahuan.[12]
Pada dasarnya sekularisasi yang diusung Barat ini berasal dari sebuah kekecewaan atau lebih tepatnya penyangkalan akan sebuah konsep yang melulu berasal dari Tuhan, yang dalam arti jauh terjangkau oleh rasio. Padahal dalam skala-skala tertentu tidak semua mengenai suatu hal tidak dapat terjangkau oleh akal manusia. Peran agama (gereja) di Barat yang mengkristal kedalam segala aspek kehidupan. Sehingga ketika logika (rasio berfikir) mengenai suatu hal yang di dunia ini  masih dapat dijangkau oleh akal mereka (kaum gerejawan) tidak dapat menerima hal tersebut.
Gambaran gereja (baca : pemuka agama atau pendeta) pada saat itu datang dengan membawa pemikiran menentang akal dan rasio dengan mempertahankan kebekuannya melawan ilu dan kebebasan, tampil dengan menghadapi kemajuan. Sikap keras para aktifis gereja dalam menentang para ahli pikir (ilmuan) yang menorehkan hasil penelitian ilmiyah dan nalarnya karena dinilai bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Hingga gereja memusuhi orang-orang yang menyampaikan teori ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan ajarannya, seperti berpendapat bahwa bumi ini bulat dianggap sebuah kekafiran atau keluar dari agama. Kepicikan berpikir gereja terhadap orang-orang yang mengemukakan teori atau pandangan keilmuan yang bertentangan dengan ajarannya ternyata melahirkan bentuk kekejaman dengan menyiksa jenazah ilmuan dan membakarnya, yang hidup pun tidak kalah penyiksaan yang diterimanya. Sehingga para ahli pikir menuntut dipisahkannya urusan agama dari kehidupan sosial dan pemerintahan agar terhindar dari beragamnya penyiksaan tersebut.
Dengan terlepasnya dari para ahli pikir dari tirani gereja, melahirkan sekularisasi di Barat. Pertentangan ini pun berakhir dengan membagi ”hidup” menjadi dua bagian, sebagian diserahkan kepada agama sebagian lagi diserahkan ke pemerintah (penguasa). Sebagaimana ungkapan Isa al Masih dalam Injil : sebagian untuk Allah dan sebagian untuk kaisar. Artinya masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar mengatur kehidupan dunia, masyarakat, pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang diwakili gereja berada pada bagian agama atau rohani, sehingga tidak ada intervensi antar keduanya. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan dalam kitab tetap ditempatkan sebagai kebutuhan dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan ajaran Kristiani yang mengatakan manusia itu sebagai gambaran dan rupa Tuhan sedangkan Tuhan sendiri merupakan sumber terang dan pengetahuan. Oleh karena itu Tuhan menghendaki supaya kenal padanya dan meyelidiki segala yang diciptaka-Nya, sehingga dapat memperoleh pengetahuan.
Sekularisasi secara formal diperkenalkan oleh G.J Holyoake (1817 – 1906 M), merupakan reaksinya terhadap tindakan gereja-gereja yang bersifat otoriter terhadap sains. Sedangkan Galeleo (lahir 1564 M) dipandang sebagai pahlawan sekularisai ilmu penetahuan. Wujud orientasi aliran ini adalah pembebasan berpikir di luar ajaran agama, sehingga mereka mengambil kesimpulan bahwa ilmuan bebas berfikir sesuai dengan profesinya dan bagi agamawan yang tidak respon diberikan kebebasan mengatur urusan akhirat.
Suatu faham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai landasan dalam berfikir termasuk sekularisasi, atau sebagai acuan dalam melindungi pemahaman suatu tema yang distatemenka. Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan yaitu:[13]
a.       Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material semata-mata.
b.      Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang bersifat vaiditas.
c.       Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan, agama tidak boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat belaka.
d.      Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa mengenal perbedaan agama.
e.       Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasan.
Prinsip rasio dan kecerdasan yang sangat dijunjung tinggi oleh penganut sekularis, karena ilmu pengetahuan bisa berkembang dengan akal pikiran dan penalaran yang tinggi. Dan rasiolah yang melahirkan kebahagian menuju kemajuan, sedangkan agama tidak mampu menjelaskan secara rasio terhadap ilmu pengetahuan karena ia adalah keyakinan.
B. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan Ditinjaui dari Epistimologi, Aksiologi

1. Sekularisasi ilmu pengetahuan ditinjau dari epistimologi
Secara formal epistemologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk rasionalisme dan empirisme. Di mana memandang ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan “iman” sebagai penilai.
Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme, membuat sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan mentaati aturannya sendiri dengan menghindarkan ilmu pengetahuan selalu terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif guna menjaga realitas ilmu pengetahuan sebagai suatu yang independen dan objektif.  Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan yang objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah, dan dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui pengalaman.
Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah memandang alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah benda mati yang netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri. Sehingga manusia dengan segala daya dan upayanya yang dimilikinya mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata[14].
Apabila dilihat dari realita bahwa ilmu pengetahuan mulai berkembang pada tahapan ontologis,  manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris. Sehingga dalam menghadapi masalah tertentu, manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang menungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu untuk kemudian dan menelaah dan mencari pemecahan jawabannya. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut maka ilmu pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pemikiran yang berdasarkan pada penalaran. Dalam hal ini ilmu pengetahuan menyadari bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat kongkrit yan terdapat dalam dunia nyata, sehingga secara ilmu pengetahuan, masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkuan pengalaman manusia. Hal ini harus kita sadari  karena inilah yang memisahkan daerah ilmu pengetahuan dan agama[15].
Lebih jauh lagi  Norcholis Madjid mengemukakan bahwa dalam proses penduniawian  terjadi pemberian perhatian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini.[16] Ketika lebih memperhatikan kehidupan duniawi itu, telah tercakup pula sikap yang objektif dalam menelaah  hukum-hukum yang menguasainya, dan mengadakan penyimpulan-penyimpulan yang jujur. Pengetahuan mutlak diperlukan guna memperoleh ketepatan setinggi-tingginya dalam memecahkan masalah-masalahnya. Dan disinilah sebenarnya letak peranan ilmu pengetahuan.
Ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan yaitu prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material semata-mata. Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang bersifat vaiditas.
Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan agama tidak  boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat belaka. Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa mengenal perbedaan agama. Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasan. Satu hal yang serta kaitannya dengan rasionalisasi yang merupakan salah satu  ciri dari sekularisasi  ialah upaya untuk mencari cara yang secara teknis efesien demi mengurangi resiko dalam berbagai hal yang bersifat duniawi. Salah satu bentuknya yang nyata ialah teknologi. Mesin-mesin yang berteknologi tinggi dan efesien serta berbagai prosedur telah dirancang untuk mengurangi ketidakpastian, dan akibatnya hal ini telah mengurangi ketergantungan kepada keyakinan agama. Wilayah dimana agama menawarkan penjelasan yang bersifat doktriner  dan hasil yang hampir pasti serta dapat diprediksi kini menjadi hilang maknanya. Petani-petani yantg inovatif menemukan bahwa rotasi panen ternyata lebih ditentukan oleh tindakan membersihkan tanah dari semak-semak dan parasit dibandingkan memanjatkan doa. Perkembangan rasionalitas teknis secara perlahan menggantikan pengaruh supernatural dan pertimbangan moral, dan hal ini meluas di berbagai bidang kehidupan.
Satu hal yang perlu diterangkan dalam hubungannya dengan sekularisasi ini, yaitu konsep Islam tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Mengingkari adanya konsep yang cukup tegas itu, hayalah terbit dari gejala kecendrungan apologetis. Keterangan tentang hari agama dalam  kitab suci, kita semuanya mengetahuinya. Dan secara tegas dalam kitab suci Al-Qur’an di Surah Al-Infithar (82) ayat 17-19. Menarik kesimpulan dari ayat ini, maka hari agama ialah masa ketika hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, yang terjadi sepenuhnya secara individual. Dengan perkataan lain, pada waktu itu tidak berlaku lagi  hukum-hukum sekuler atau dunia, dan yang berlaku ialah hukum-hukum ukhrawi.[17]
Sebaliknya, pada hari dunia yang sekarang sedang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan kita ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia. Memang hukum-hukum itu bukan ciptaan manusia sendiri, melanikan juga ciptaan Tuhan (sunnatullah), tetapi hukum itu tidak diterangkan sebagai doktrin-doktrin agama. Dan manusia sendirilah yang harus berusaha memahaminya, dengan bekal kecerdasan yang telah dianugerahkan kepadanya, kemudian memanfaatkan pengetahuannya itu untuk mengatur perikehidupan masyarakatnya lebih lanjut. Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dengan rasionalisme dan empirisme, sebab inti sekularisasi adalah pemahaman masalah dunia dengan mengarahkan kecerdasan rasio. Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi aksiologi menyebabkan ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh manusia pemakainya.
Masalah nilai dalam perkembangan ilmu sudah disoroti, terutama pada masa Copernicus pada abad ke-16 yang mwengemukakan bahwa bumi mengelilingi matahari sedangkan agama  pada waktu itu menyebutkan matahari yang mengelilingi bumi. Timbullah suatu konflik antara ilmu yang ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, dengan sikap yang berpendapat bahwa ilmu harus didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan seperti agama. Perkembangan selanjutnya, para ilmuan berhasil memperoleh kemenangan agar ilmu bebas nilai. Artinya ilmu mempunyai otonomi untuk berkembang dengan tidak dipengaruhi nilai-nilai yang bersifat dogmatis, karena bebas nilai maka ilmu tidak boleh mempunyai tanggung jawab moral. Akhirnya ilmu berkembang untuk ilmu, mempunyai kebebasan bergerak kemanapun arahnya.[18]

2.    Sekularisasi ilmu pengetahuan ditinjau dari aksiologi
Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan berbagai macam dampaknya terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, di satu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spiritual, moral, dan etika sebagai proses mendunianya kehidupan manusia, globalisasi mendorong persebaran dan pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas geografis. Proses ini mengakibatkan terjadinya transformasi peradaban dunia dalam proses moderenisasi dan industrialisasi yang dahsyat, yang menciptkan perubahan pada struktur dan pranata masyarakat.[19] Gambaran di atas adalah bagian kenyataan yang secara tidak langsung dihasilkan oleh adanya sekularisasi ilmu pengetahuan.
Sebagai akibat dari moderenisasi dan industrialisasi adalah munculnya masyarakat modern atau masyarakat industrial. Masyarakat modern memiliki pandangan dunia (world view) yang bertolak dari suatu anggapan tentang kekuasaan manusia (antroposentrisme), yaitu bahwa manusia merupakan pusat kehidupan. Dalam pandangan ini, manusia mempunyai kekuasaan untuk menentukan kehidupannya sendiri. Paham tentang kekuasaan manusia atau antroposentrisme ini melahirkan pandangan kemanusiaan sekuler yang menekankan rasionalitas (kekuasaan akal-pikiran), individualitas (kekuasaan diri-pribadi), materialitas (kekuasaan harta benda), dan relativitas (kekuasaan nilai kenisbian). Retasan-retasan faham atau pandangan di atas setidaknya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh semangat sekularissi ilmu pengetahuan. Dengan demikian sekularisasi ilmu pengetahuan dengan sendirinya telah keluar dari radius jangkau definisi ilmu induknya dan sekaligus mengerdilkan peran agama dengan cara menjauhi atau melepaskannya.
Proses sekularisasi terus berlanjut sejalan dengan perkembangan industrialisasi yang cepat, disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta persaingan ekonomi yang semakin yang meluas. Karena itu, Hendrik Kramer, sebagaimana dikutib oleh Sutan Alisjahbana dan Amsar Bakhtiar, mengatakan bahwa semua agama di zaman modern sedang mengalami suatu krisis yang amat dalam. Setiap orang di zaman ini yang melihat dan mengamati kehidupan serta perkembangan agama dengan bermacam-macam alirannya, kesangsiannya dan pertentangan di antara pengikut-pengikutnya, tidak dapat dengan jujur berkata lain daipada itu.[20] Selanjutnya juga terjadi pertentangan-pertentangan antara ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu sosial bahkan terjadi pengkaplingan ilmu pengetahuan dan masing-masing kapling bersikukuh dengan keangkuhannya masing-masing. Namun menurut Abdurrahman Mas’ud, yang menjadi persoalan sebenarnya bukan pada keterpisahan dari berbagai disiplin, karena hal ini merupakan konsekuensi diri ke dalam kajian suatu ilmu, melainkan terletak pada terlepasnya dimensi moral dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia. Ilmu ekonomi menekankan bagaimana mendaptkan keuntungan dan mengajarkan keserakahan, ilmu politik mengajarkan bagaimana mendapatkan kekuasaan dan pemaksaan. Di bidang teknologi misalnya lebih menekankan bagaimana mengeksploitasi resource alam dan manusia, dan di bidang kedokteran menekankan bagaimana mengeksploitasi jasad manusia.
Setelah ditemukan kemajuan teknologi yang begitu hebat, ternyata tanpa disadari teknologi itupun memenjarakan manusia. Artinya, penjara manusia tidak berkurang dengan kemajuan teknologi tetapi semakin bertambah. Pada konteks inilah manusia perlu disadarkan dari penjara yang bernama teknologi. Dia harus sadar bahwa teknologi bukanlah tujuan, tetapi sekedar sarana untuk memudahkan urusan. Oleh karena itu dalam beberapa kesempatan perlu membebaskan anak-anak dari pengaruh layar agar mereka tidak tergantung dan terpenjara oleh layar. Kebenaran yang disuguhkan oleh layar adalah kebenaran nisbi, yang sangat ditentukan oleh subjektifitas seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini juga dimungkinkan karena proses produksi yang tidak sempurna atau cenderung manipulatif.
Menurut Mahdi Ghulsyani,[21] dengan bantuan ilmu seorang muslim, dengan berbagai cara dan upaya dapat ber-taqarrub kepada Allah. Pertama,dia dapat meningkatkan pengetahuannya kepada Allah. Kedua, dia dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan tujuan-tujuannya. Ketiga,dia dapat membimbing orang lain. Keempat, dia dapat memecahkann berbagai problem masyarakat manusia. Empat hal di atas jika dikaji lebih dalam ternyata tersirat posisi kriteria ilmu yang bermanfaat, jika empat hal yang disandarkan kepada pemiliknya itu benar-benar ada maka bisa dipastikan ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bermanfaat.


























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sekularisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan / pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan berpikir. Sekularisasi lahir dari pemberontakan ahli pikir terhadap tindakan gereja yang sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya.
Dari segi epistemologi, sekularisasi ilmu pengetahuan terjadi berada pada tataran atau ranah rasionalisme dan empirisme, di mana memandang ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan  iman sebagai penilai.
Dalam pandangan aksiologi, sekularisasi ilmu pengetahuan telah melahirkan terjadinya pergeseran nilai yakni dalam hal terlepasnya dimensi moral dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yakni untuk kesejahteraan manusia.







DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsar. Filsafat Agama. Cet. II; Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Hadiwijono, Harun. Sari sejarah Filsafat Barat 2.  Yogyakarta: Kanisius , 1980.
Mahmud,  Natsir. Epistimologi dan Studi Kontemporer. Makassar : tp, 2000.
Majid, Nurcholis. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Cet I; Bandung: PT.Mizan Pustaka, 2008.
Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Cet.V; Bandung: Mizan, 1998.
Nihaya. Filsafat Umum dari Yunani sampai Modern. Makassar: Berkah Utami, 1999.
Qardhawi, Yusuf. at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati terj. oleh Nahbani Idris dengan judul Sekuler Ekstrim. Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2000.
Rusli Karim, Muh.  Agama Modernisasi dan Sekularisasi. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
S. Praja, Juhaya. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Cet.I; Bogor: Kencana, 2003.
Soetrino dan SRDm Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakart: Andi Ofset, 2007.
Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Cet. II; Ciputat: Logos, 2002.



[1] Muh. Rusli Karim, Agama Modernisasi dan Sekularisasi, (Cet.I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 113.
[2] Muh. Rusli Karim, Agama Modernisasi dan Sekularisasi), 115-116.
[3]  Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Cet.I; Bogor: Kencana, 2003), h. 188.
[4] Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), h. 20.
[5] Pradoyo, Sekularisasi dalam Polemik, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), h. 19-20.
[6] Yusup Qardhawi, at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati, diterjemahkan oleh Nahbani Idris dengan judul Sekuler Ekstrim, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2000), h. 1.
[7] Tim penyusun Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,  Ed.III (Cet.II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1015.
[8] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Cet.V; Bandung: Mizan, 1998), h.188.
[9] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Cet.I; Bogor:Kencana, 2003), h.189.
[10] Nihaya, Filsafat Umum :dari Yunani sampai Modern, (Makassar: Berkah Utami, 1999), h. 12.
[11] Yusup Qardhawi, at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati, diterjemahkan oleh Nahbani Idris dengan judul Sekuler Ekstrim, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000), h.7.
[12] G. J. Holyoake (1817-1906 M). lahir di Birmingham Inggris, anak seorang pekerja keras. Pendidikannya berawal dari agama, namun kehidupan remajanya diliputi oleh situasi politik dan sosial ditempat kelahirannya yang keras, membentuk pribadi yang betsikap gerakan protes terhadap sosial dan politik.

[13] Nihaya, Filsafat Umum : dari Yunani sampai Modern, (Makasar: BerkahUtami, 1999), h.136.
[14] Natsir Mahmud,  Epistimologi dan Study Kontemporer,  (Makassar : tp, 2000), h. 1.

[15] Soetrino dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat ilmu dan metodologi penelitian, (Yogyakarta: Andi Ofset, 2007), h. 47.
[16] H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisme, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997, cet.II), h.25.

[17] Nurcholis Majid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan , (Edisi Baru, Cet I; Bandung: PT.Mizan Pustaka, 2008), h. 262
[18]  Soetrino dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat ilmu dan metodologi penelitian, h. 128.

[19] Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Cet. II; Ciputat: Logos, 2002), h. 170.

[20] Amsar Bakhtiar, Filsafat Agama, (Cet. II; Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 232.
[21] Lihat Mahdi Ghulsyani, The Holy Qur’an and The Sciences of Nature terj.  oleh Agus Effendi, (Cet. X; Bandung: Mizan, 1998), h. 55-56.

Label: