SEKULARISASI ILMU PENGETAHUAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan ini manusia mempunyai
banyak tujuan yang sangat tinggi untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Hal ini
menyebabkan manusia berusaha keras untuk mengembangankan ilmu pengetahuan
sehingga manusia menjadi makhluk yang mulia di muka bumi ini. Pada setiap
manusia terdapat potensi-potensi untuk bisa dikembangkan secara kreatif dan
inovatif. Manusia mampu menalar, artinya berfikir secara logis dan analitis, karena
kemampuan menalar dan mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil pemikirannya,
maka manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan, melainkan mampu mengembangkannya.
Manusia
melalui perjalanan panjang dalam mencari hakikat dan makna hidupnya. Pengalaman
demi pengalaman telah dilalui, akhirnya manusia berada dalam puncak kemajuan
melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendominasi segala
aspek kehidupan yang mendesak spritualitas sampai terpojok pada “lorong yang
sangat sempit”.[1] Terjadinya penyebab utama merosotnya peran Agama dalam
beradaban modern yaitu karena agama dianggap tidak memiliki kontribusi langsung
bagi upaya mengejar kehidupan fisik-material. Bahkan seperti ditandaskan Mehden
bahwa banyak ilmuan sosial Amerika yang menilai agama sebagai faktor negatif
dalam proses modernisasi. Agama bagi mereka adalah suatu penghambat dalam
meraih modernisasi. Jadi agama adalah penghambat kemajuan. Anggapan ini telah
berakar sejak abad ke 19.[2]
Perkembangan ilmu pengetahuan telah melahirkan berbagai macam dampak terhadap
kehidupan manusia dan lingkungannya, disatu sisi dia mampu membantu dan
meringankan beban manusia, namun disisi lain juga menghancurkan nilai-nilai
kemanusiaan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian Sekuler, Sekularisasi dan apa yang melatar belakangi kemunculanya ?
2.
Bagaimana
Sekularisasi pengetahuan ditinjaui dari Epistimologi, Ontologi, Aksiologi ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian sekuler, sekularisasi dan latar belakang munculnya
sekularisasi.
2.
Untuk
mengetahui sekularisasi ditinjau dari
Epistimologi, Ontologi, Aksiologi.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN SEKULARISASI
Istilah Sekularisasi berakakar dari
kata Sekuler yang berasal dari bahasa latin Seaculum
artinya abad ( age, century ), yang
mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang.
Dalam bahasa Inggris kata secular
berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spritual,
abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.[3]
Sekularisasi menurut Cornelis van
Peursen seorang Theolog dari Belanda, didefinisikan sebagai pembebasan
manusia”pertama-tama dari agama dan kemudian dari metafisika yang mengatur
nalar dan bahasanya”. Itu berari “terlepasnya dunia dari pengertian-pengerian
religius dan religius-semu, terhalaunya semua pandangan-pandangan dunia yang
tertutup, terpatahkannya semua mitos supranatural dan lambang-lambang suci
‘defatalisasi sejarah, penemuan manusia akan kenyataan bahwa dia ditinggalkan
dengan dunia di tangannya, sehingga dia tidak bisa lagi menyalahkan nasib atau
kemalangan atas apa yang ia perbuat dengannya ; manusialah yang mengalihkan
perhatiannya lepas dari dunia-dunia di atas sana ke arah dunia sini dan waktu
kini.[4]
Menurut Surjanto Poepowardojo, pada
hakikatnya sekularisasi menginginkan adanya pembebasan tajam antara agama dan
ilmu pengetahuan, dan memandang ilmu pengetahuan otonom pada dirinya.[5]
Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan,
sehingga ia dapat berbuat bebas sesuai dengan apa yang ia kehendaki berdasarkan
rasio. Atas dasar orientasi ilmiah, manusia berusaha untuk menemukan hal-hal
yang baru, dan dengan metode-metode ilmiah empiris yang telah berkembang sejak
abad ke-18, manusia menjadi mempunyai kreativitas untuk menangkap dan mengungkapkan
realitas yang konkret.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya, at-Tatharufu al-’ilmani fi Mujaahwati
al-Islam, sekular ialah la Diniyyah atau Dunnaawiyah yang bermakna sesuatu yang tidak
ada kaitannya dengan agama atau semata dunia.[6]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal yang
membawa ke arah kehidupan yang tak didasarkan pada ajaran agama.[7]
Makna Sekularisasi itu sendiri,
menurut Norcholis Madjid mengartikannya sebagai proses penduniawiyaan atau proses
melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama.[8]
Adapula yang mendefinisikannya sebagai suatu proses yang terjadi dalam segala
sektor kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang lepas dari dominasi
lembaga-lembagaan simbol-simbol keagamaan[9].
Dari berbagai pengertian yang
dikemukakan di atas menunjukkan bahwa makna Sekularisasi Ilmu Pengetahuan
adalah suatu proses pelepasan / pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama
sebagai landasan berpikir.
LATAR BELAKANG LAHIRNYA SEKULARISASI
Sekuler adalah kata sifat yang
menggambarkan suatu keadaan dimana ia telah memisahkan kehidupan duniawi dari
pengaruh agama atau hal-hal yang berbau perihal spiritual. Sedangkan
sekularisme adalah suatu paham yang ingin memisahkan atau menetralisir semua bidang
kehidupan seperti politik dan keanekaragaman, ekonomi, hukum, sosial-budaya dan
ilmu pengetahuan teknologi dari pengaruh agama atau hal-hal yang ghaib.[10]
Sekularisasi sering diartikan
sebagai pemisahan antara urusan Negara (politik) dan urusan agama atau
pemisahan antara urusan duniawi dan ukhrawi (akhirat).[11]
Dalam dekadenya, sekularisasi yang muncul pada abad pertengahan ini ingin
memberi suatu penempatan yang pas, dimana yang memang urusan duniawi dan mana
yang urusan agama.
Sekularisasi
atau pemisahan antara ilmu atau sains dengan agama mempunyai sejarah panjang
dan gelap. Eropa abad pertengahan merupakan
masa-masa suram bagi berkembangnya nalar kritis manusia. Kekuasaan berada
dibawah otoritas gereja. Mempertanyakan otoritas gereja sama dengan mempertanyakan
otoritas Tuhan. Pembacaan terhadap realitas sepenuhnya merujuk pada kitab suci,
sedangkan kitab suci pada masa itu dibaca secara harafiah. Sehingga sampai
kini, kaum agama yang membaca kitab sucinya secara literal atau harafiah kerap
dijuluki kaum skripturalis. Kaum ilmuwan yang menemukan fakta yang berbeda
dengan kitab suci kerap dikucilkan bahkan dituduh ateis.
Sekularisasi berasal dari dunia
barat kristiani, yang muncul dengan diserukan oleh para pemikir bebas agar
mereka terlepas dari ikatan gereja, para pemuka agama dan pendetanya. Pada
awalnya agama Kristiani lahir di dunia Timur, namun warna Kristiani amat tebal
menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini sejak kekaisaran Romawi
Konstantin yang agung (280–337M) yang melegalisasikan dalam dalam wilayah
imperiumnya serta mendorong penyebarannya merata ke benua Eropa, terutama di
abad pertengahan warna Kristiani meyelimuti kehidupan Barat baik politik,
ekonomi, sosial, budaya, serta ilmu pengetahuan.[12]
Pada dasarnya sekularisasi yang diusung
Barat ini berasal dari sebuah kekecewaan atau lebih tepatnya penyangkalan akan
sebuah konsep yang melulu berasal dari Tuhan, yang dalam arti jauh terjangkau
oleh rasio. Padahal dalam skala-skala tertentu tidak semua mengenai suatu hal
tidak dapat terjangkau oleh akal manusia. Peran agama (gereja) di Barat yang
mengkristal kedalam segala aspek kehidupan. Sehingga ketika logika (rasio
berfikir) mengenai suatu hal yang di dunia ini masih dapat dijangkau oleh
akal mereka (kaum gerejawan) tidak dapat menerima hal tersebut.
Gambaran gereja (baca : pemuka agama
atau pendeta) pada saat itu datang dengan membawa pemikiran menentang akal dan
rasio dengan mempertahankan kebekuannya melawan ilu dan kebebasan, tampil
dengan menghadapi kemajuan. Sikap keras para aktifis gereja dalam menentang
para ahli pikir (ilmuan) yang menorehkan hasil penelitian ilmiyah dan nalarnya
karena dinilai bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Hingga gereja memusuhi
orang-orang yang menyampaikan teori ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan
ajarannya, seperti berpendapat bahwa bumi ini bulat dianggap sebuah kekafiran
atau keluar dari agama. Kepicikan berpikir gereja terhadap orang-orang yang
mengemukakan teori atau pandangan keilmuan yang bertentangan dengan ajarannya
ternyata melahirkan bentuk kekejaman dengan menyiksa jenazah ilmuan dan
membakarnya, yang hidup pun tidak kalah penyiksaan yang diterimanya. Sehingga
para ahli pikir menuntut dipisahkannya urusan agama dari kehidupan sosial dan
pemerintahan agar terhindar dari beragamnya penyiksaan tersebut.
Dengan terlepasnya dari para ahli
pikir dari tirani gereja, melahirkan sekularisasi di Barat. Pertentangan ini
pun berakhir dengan membagi ”hidup” menjadi dua bagian, sebagian diserahkan
kepada agama sebagian lagi diserahkan ke pemerintah (penguasa). Sebagaimana
ungkapan Isa al Masih dalam Injil : sebagian untuk Allah dan sebagian untuk
kaisar. Artinya masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar
mengatur kehidupan dunia, masyarakat, pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang
diwakili gereja berada pada bagian agama atau rohani, sehingga tidak ada
intervensi antar keduanya. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan dalam kitab
tetap ditempatkan sebagai kebutuhan dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan
ajaran Kristiani yang mengatakan manusia itu sebagai gambaran dan rupa Tuhan
sedangkan Tuhan sendiri merupakan sumber terang dan pengetahuan. Oleh karena
itu Tuhan menghendaki supaya kenal padanya dan meyelidiki segala yang
diciptaka-Nya, sehingga dapat memperoleh pengetahuan.
Sekularisasi secara formal
diperkenalkan oleh G.J Holyoake (1817 – 1906 M), merupakan reaksinya terhadap
tindakan gereja-gereja yang bersifat otoriter terhadap sains. Sedangkan Galeleo
(lahir 1564 M) dipandang sebagai pahlawan sekularisai ilmu penetahuan. Wujud
orientasi aliran ini adalah pembebasan berpikir di luar ajaran agama, sehingga
mereka mengambil kesimpulan bahwa ilmuan bebas berfikir sesuai dengan
profesinya dan bagi agamawan yang tidak respon diberikan kebebasan mengatur
urusan akhirat.
Suatu faham atau aliran terdapat
ajaran pokok sebagai landasan dalam berfikir termasuk sekularisasi, atau
sebagai acuan dalam melindungi pemahaman suatu tema yang distatemenka. Adapun
ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan yaitu:[13]
a.
Prinsip-prinsip esensial dalam mencari
kemajuan dengan alat material semata-mata.
b.
Etika dan moralitas didasarkan pada
kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan metafisika, segalanya ditentukan
oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang bersifat vaiditas.
c.
Masih mengakui agama pada batas
tertentu dengan ketentuan, agama tidak boleh mengatur urusan dunia melainkan
hanya mengatur tentang akhirat belaka.
d.
Menekankan perlunya toleransi semua
golongan masyarakat tanpa mengenal perbedaan agama.
e.
Menjunjung tinggi penggunaan rasio
dan kecerdasan.
Prinsip rasio dan kecerdasan yang
sangat dijunjung tinggi oleh penganut sekularis, karena ilmu pengetahuan bisa
berkembang dengan akal pikiran dan penalaran yang tinggi. Dan rasiolah yang
melahirkan kebahagian menuju kemajuan, sedangkan agama tidak mampu menjelaskan
secara rasio terhadap ilmu pengetahuan karena ia adalah keyakinan.
B. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan Ditinjaui dari
Epistimologi, Aksiologi
1. Sekularisasi ilmu pengetahuan ditinjau dari epistimologi
Secara formal epistemologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk
rasionalisme dan empirisme. Di mana memandang ilmu pengetahuan berdasarkan
pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan “iman” sebagai
penilai.
Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme,
membuat sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan
mentaati aturannya sendiri dengan menghindarkan ilmu pengetahuan selalu terkait
dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif guna
menjaga realitas ilmu pengetahuan sebagai suatu yang independen dan
objektif. Rasio pun dianggap sebagai
alat pengetahuan yang objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak
pernah berubah-ubah, dan dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah
harus melalui pengalaman.
Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah
memandang alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah benda
mati yang netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri. Sehingga
manusia dengan segala daya dan upayanya yang dimilikinya mengeksploitasi alam
untuk kepentingan manusia semata[14].
Apabila dilihat dari realita bahwa ilmu pengetahuan mulai berkembang pada
tahapan ontologis, manusia berpendapat
bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang
menguasai gejala-gejala empiris. Sehingga dalam menghadapi masalah tertentu,
manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang
menungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu untuk kemudian dan menelaah dan
mencari pemecahan jawabannya. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut maka ilmu
pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pemikiran yang
berdasarkan pada penalaran. Dalam hal ini ilmu pengetahuan menyadari bahwa
masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat kongkrit yan terdapat
dalam dunia nyata, sehingga secara ilmu pengetahuan, masalah yang dikajinya
hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkuan pengalaman manusia. Hal
ini harus kita sadari karena inilah yang
memisahkan daerah ilmu pengetahuan dan agama[15].
Lebih jauh lagi Norcholis Madjid
mengemukakan bahwa dalam proses penduniawian
terjadi pemberian perhatian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada
kehidupan duniawi ini.[16] Ketika lebih
memperhatikan kehidupan duniawi itu, telah tercakup pula sikap yang objektif
dalam menelaah hukum-hukum yang
menguasainya, dan mengadakan penyimpulan-penyimpulan yang jujur. Pengetahuan
mutlak diperlukan guna memperoleh ketepatan setinggi-tingginya dalam memecahkan
masalah-masalahnya. Dan disinilah sebenarnya letak peranan ilmu pengetahuan.
Ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan yaitu prinsip-prinsip esensial
dalam mencari kemajuan dengan alat material semata-mata. Etika dan moralitas
didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan metafisika,
segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang
bersifat vaiditas.
Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan agama tidak boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur
tentang akhirat belaka. Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat
tanpa mengenal perbedaan agama. Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan
kecerdasan. Satu hal yang serta kaitannya
dengan rasionalisasi yang merupakan salah satu
ciri dari sekularisasi ialah
upaya untuk mencari cara yang secara teknis efesien demi mengurangi resiko
dalam berbagai hal yang bersifat duniawi. Salah satu bentuknya yang nyata ialah
teknologi. Mesin-mesin yang berteknologi tinggi dan efesien serta berbagai prosedur
telah dirancang untuk mengurangi ketidakpastian, dan akibatnya hal ini telah
mengurangi ketergantungan kepada keyakinan agama. Wilayah dimana agama
menawarkan penjelasan yang bersifat doktriner
dan hasil yang hampir pasti serta dapat diprediksi kini menjadi hilang
maknanya. Petani-petani yantg inovatif menemukan bahwa rotasi panen ternyata
lebih ditentukan oleh tindakan membersihkan tanah dari semak-semak dan parasit
dibandingkan memanjatkan doa. Perkembangan rasionalitas teknis secara perlahan
menggantikan pengaruh supernatural dan pertimbangan moral, dan hal ini meluas
di berbagai bidang kehidupan.
Satu hal yang perlu diterangkan dalam hubungannya dengan sekularisasi ini,
yaitu konsep Islam tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Mengingkari
adanya konsep yang cukup tegas itu, hayalah terbit dari gejala kecendrungan
apologetis. Keterangan tentang hari agama dalam
kitab suci, kita semuanya mengetahuinya. Dan secara tegas dalam kitab
suci Al-Qur’an di Surah Al-Infithar (82) ayat 17-19. Menarik kesimpulan dari
ayat ini, maka hari agama ialah masa ketika hukum-hukum yang mengatur hubungan
antar manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku adalah hubungan antara
manusia dengan Tuhan, yang terjadi sepenuhnya secara individual. Dengan perkataan
lain, pada waktu itu tidak berlaku lagi
hukum-hukum sekuler atau dunia, dan yang berlaku ialah hukum-hukum
ukhrawi.[17]
Sebaliknya, pada hari dunia yang sekarang sedang kita jalani ini, belum
berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan kita ialah
hukum-hukum kemasyarakatan manusia. Memang hukum-hukum itu bukan ciptaan
manusia sendiri, melanikan juga ciptaan Tuhan (sunnatullah), tetapi hukum itu tidak diterangkan sebagai
doktrin-doktrin agama. Dan manusia sendirilah yang harus berusaha memahaminya,
dengan bekal kecerdasan yang telah dianugerahkan kepadanya, kemudian
memanfaatkan pengetahuannya itu untuk mengatur perikehidupan masyarakatnya
lebih lanjut. Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dengan
rasionalisme dan empirisme, sebab inti sekularisasi adalah pemahaman masalah
dunia dengan mengarahkan kecerdasan rasio. Konsekwensi epistimologi sekuler
dari segi aksiologi menyebabkan ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya
diberikan oleh manusia pemakainya.
Masalah nilai dalam perkembangan ilmu sudah disoroti, terutama pada masa
Copernicus pada abad ke-16 yang mwengemukakan bahwa bumi mengelilingi matahari
sedangkan agama pada waktu itu
menyebutkan matahari yang mengelilingi bumi. Timbullah suatu konflik antara
ilmu yang ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, dengan sikap yang
berpendapat bahwa ilmu harus didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam
ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan seperti agama. Perkembangan selanjutnya,
para ilmuan berhasil memperoleh kemenangan agar ilmu bebas nilai. Artinya ilmu
mempunyai otonomi untuk berkembang dengan tidak dipengaruhi nilai-nilai yang
bersifat dogmatis, karena bebas nilai maka ilmu tidak boleh mempunyai tanggung
jawab moral. Akhirnya ilmu berkembang untuk ilmu, mempunyai kebebasan bergerak
kemanapun arahnya.[18]
2. Sekularisasi
ilmu pengetahuan ditinjau dari aksiologi
Perkembangan ilmu pengetahuan
melahirkan berbagai macam dampaknya terhadap kehidupan manusia dan
lingkungannya, di satu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban manusia,
namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai
kemanusiaan, bahkan eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat materialistisme,
naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari
nilai-nilai spiritual, moral, dan etika sebagai proses mendunianya kehidupan manusia, globalisasi mendorong
persebaran dan pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas
geografis. Proses ini mengakibatkan terjadinya transformasi peradaban dunia
dalam proses moderenisasi dan industrialisasi yang dahsyat, yang menciptkan
perubahan pada struktur dan pranata masyarakat.[19]
Gambaran di atas adalah bagian kenyataan yang secara tidak langsung dihasilkan
oleh adanya sekularisasi ilmu pengetahuan.
Sebagai akibat dari moderenisasi dan industrialisasi adalah munculnya
masyarakat modern atau masyarakat industrial. Masyarakat modern memiliki
pandangan dunia (world view) yang
bertolak dari suatu anggapan tentang kekuasaan manusia (antroposentrisme),
yaitu bahwa manusia merupakan pusat kehidupan. Dalam pandangan ini, manusia
mempunyai kekuasaan untuk menentukan kehidupannya sendiri. Paham tentang
kekuasaan manusia atau antroposentrisme ini melahirkan pandangan kemanusiaan
sekuler yang menekankan rasionalitas (kekuasaan akal-pikiran), individualitas
(kekuasaan diri-pribadi), materialitas (kekuasaan harta benda), dan relativitas
(kekuasaan nilai kenisbian). Retasan-retasan faham atau pandangan di atas
setidaknya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh semangat sekularissi ilmu
pengetahuan. Dengan demikian sekularisasi ilmu pengetahuan dengan sendirinya
telah keluar dari radius jangkau definisi ilmu induknya dan sekaligus
mengerdilkan peran agama dengan cara menjauhi atau melepaskannya.
Proses sekularisasi terus berlanjut sejalan dengan perkembangan
industrialisasi yang cepat, disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta
persaingan ekonomi yang semakin yang meluas. Karena itu, Hendrik Kramer,
sebagaimana dikutib oleh Sutan Alisjahbana dan Amsar Bakhtiar, mengatakan bahwa
semua agama di zaman modern sedang mengalami suatu krisis yang amat dalam.
Setiap orang di zaman ini yang melihat dan mengamati kehidupan serta
perkembangan agama dengan bermacam-macam alirannya, kesangsiannya dan
pertentangan di antara pengikut-pengikutnya, tidak dapat dengan jujur berkata
lain daipada itu.[20]
Selanjutnya juga terjadi pertentangan-pertentangan antara ilmu-ilmu eksakta dan
ilmu-ilmu sosial bahkan terjadi pengkaplingan ilmu pengetahuan dan masing-masing
kapling bersikukuh dengan keangkuhannya masing-masing. Namun menurut
Abdurrahman Mas’ud, yang menjadi persoalan sebenarnya bukan pada keterpisahan
dari berbagai disiplin, karena hal ini merupakan konsekuensi diri ke dalam
kajian suatu ilmu, melainkan terletak pada terlepasnya dimensi moral dan ide
moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yaitu untuk
kesejahteraan umat manusia. Ilmu ekonomi menekankan bagaimana mendaptkan
keuntungan dan mengajarkan keserakahan, ilmu politik mengajarkan bagaimana
mendapatkan kekuasaan dan pemaksaan. Di bidang teknologi misalnya lebih
menekankan bagaimana mengeksploitasi resource
alam dan manusia, dan di bidang kedokteran menekankan bagaimana mengeksploitasi
jasad manusia.
Setelah ditemukan kemajuan teknologi yang begitu hebat, ternyata tanpa
disadari teknologi itupun memenjarakan manusia. Artinya, penjara manusia tidak
berkurang dengan kemajuan teknologi tetapi semakin bertambah. Pada konteks
inilah manusia perlu disadarkan dari penjara yang bernama teknologi. Dia harus
sadar bahwa teknologi bukanlah tujuan, tetapi sekedar sarana untuk memudahkan
urusan. Oleh karena itu dalam beberapa kesempatan perlu membebaskan anak-anak
dari pengaruh layar agar mereka tidak tergantung dan terpenjara oleh layar. Kebenaran
yang disuguhkan oleh layar adalah kebenaran nisbi, yang sangat ditentukan oleh
subjektifitas seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini juga dimungkinkan
karena proses produksi yang tidak sempurna atau cenderung manipulatif.
Menurut Mahdi Ghulsyani,[21]
dengan bantuan ilmu seorang muslim, dengan berbagai cara dan upaya dapat ber-taqarrub kepada Allah. Pertama,dia dapat meningkatkan
pengetahuannya kepada Allah. Kedua, dia dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan
merealisasikan tujuan-tujuannya. Ketiga,dia
dapat membimbing orang lain. Keempat, dia dapat memecahkann berbagai problem masyarakat manusia. Empat hal di
atas jika dikaji lebih dalam ternyata tersirat posisi kriteria ilmu yang
bermanfaat, jika empat hal yang disandarkan kepada pemiliknya itu benar-benar
ada maka bisa dipastikan ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bermanfaat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sekularisasi
Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan / pembebasan ilmu dari setiap
pengaruh agama sebagai landasan berpikir. Sekularisasi lahir dari pemberontakan ahli pikir terhadap tindakan gereja
yang sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki
kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya.
Dari segi epistemologi, sekularisasi ilmu pengetahuan terjadi berada pada
tataran atau ranah rasionalisme dan empirisme, di mana memandang ilmu
pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan
keyakinan iman sebagai penilai.
Dalam pandangan aksiologi, sekularisasi ilmu pengetahuan telah melahirkan
terjadinya pergeseran nilai yakni dalam hal terlepasnya dimensi moral dan ide
moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yakni untuk
kesejahteraan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsar. Filsafat Agama. Cet.
II; Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Hadiwijono, Harun. Sari sejarah
Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius , 1980.
Mahmud, Natsir. Epistimologi
dan Studi Kontemporer. Makassar : tp, 2000.
Majid, Nurcholis. Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan. Cet I; Bandung: PT.Mizan Pustaka, 2008.
Nasution, Harun. Islam Rasional
Gagasan dan Pemikiran. Cet.V; Bandung: Mizan, 1998.
Nihaya. Filsafat Umum dari
Yunani sampai Modern. Makassar: Berkah Utami, 1999.
Qardhawi, Yusuf. at-Tathahurufu
al-‘Ilman fi Mujaahawati terj. oleh Nahbani Idris dengan judul Sekuler
Ekstrim. Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2000.
Rusli Karim, Muh. Agama
Modernisasi dan Sekularisasi. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
S. Praja, Juhaya. Aliran-aliran
Filsafat dan Etika. Cet.I; Bogor: Kencana, 2003.
Soetrino dan SRDm Rita Hanafie. Filsafat
Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakart: Andi Ofset, 2007.
Syamsuddin, Din. Etika Agama
dalam Membangun Masyarakat Madani. Cet. II; Ciputat: Logos, 2002.
[1] Muh. Rusli
Karim, Agama Modernisasi dan Sekularisasi, (Cet.I; Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1994), h. 113.
[4] Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1981), h. 20.
[6] Yusup Qardhawi, at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati,
diterjemahkan oleh Nahbani Idris dengan judul Sekuler Ekstrim, (Jakarta
: Pustaka al-Kautsar, 2000), h. 1.
[7]
Tim penyusun
Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Ed.III
(Cet.II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1015.
[10] Nihaya, Filsafat
Umum :dari Yunani sampai Modern, (Makassar: Berkah Utami, 1999), h. 12.
[11] Yusup Qardhawi, at-Tathahurufu al-‘Ilman fi
Mujaahawati, diterjemahkan oleh Nahbani Idris dengan judul Sekuler Ekstrim,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000), h.7.
[12] G. J. Holyoake (1817-1906 M). lahir
di Birmingham Inggris, anak seorang pekerja keras. Pendidikannya berawal dari
agama, namun kehidupan remajanya diliputi oleh situasi politik dan sosial
ditempat kelahirannya yang keras, membentuk pribadi yang betsikap gerakan
protes terhadap sosial dan politik.
[13]
Nihaya, Filsafat Umum : dari
Yunani sampai Modern, (Makasar:
BerkahUtami, 1999), h.136.
[14]
Natsir Mahmud, Epistimologi dan Study
Kontemporer, (Makassar : tp, 2000), h. 1.
[15] Soetrino dan
SRDm Rita Hanafie, Filsafat ilmu dan metodologi penelitian, (Yogyakarta:
Andi Ofset, 2007), h. 47.
[16]
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholis
Madjid tentang Sekularisme, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1997, cet.II), h.25.
[17] Nurcholis
Majid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan , (Edisi Baru, Cet I; Bandung:
PT.Mizan Pustaka, 2008), h. 262
[19]
Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun
Masyarakat Madani, (Cet. II; Ciputat: Logos, 2002), h. 170.
[21]
Lihat Mahdi Ghulsyani, The Holy Qur’an and
The Sciences of Nature terj. oleh Agus Effendi, (Cet. X; Bandung:
Mizan, 1998), h. 55-56.
Label: Makalah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda