Kamis, 24 Maret 2016

MAKALAH “ PERADILAN AGAMA DI INDONESIA “



MAKALAH
“ PERADILAN AGAMA DI INDONESIA “

Tugas ini diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Pengantar Hukum Islam di Indonesia
Dosen Pengampu : Ahmad Rofii, MA, LL.M





 







  
Disusun oleh kelompok XI :
Fazar Sodik ( 1415201019 )
Muhammad Solihan ( 1415201065 )

Jurusan
AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH - A




FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2016


1.      A. Pengertian Qadha
Pengertian Qadha menurut Jalal Syaraf, qadha adalah lembaga Negara yang bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan masalah wakaf.[1] Qadha bisa berarti “ memutuskan, melaksanakan, dan menyelesaikan”[2]. Al-Qadha secara bahasa  juga memiliki beberapa pengertian, yakni 1). sifat kehakiman yag mewajibkan hukum syara dilaksanakan. 2). Menyelesaikan kasus yang timbul dalam masyarakat dan memutuskan pertikaian dengan adil dan benar. 3). Menyelesaikan segala perselisihan dan pertengkaran yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulullah.

Kemudian kata qadha digunakan dalam bahasa Indonesia, dimana dikatakan bahwa peradilan berasal dari suku kata adil, yang secara terminology diartikan sebagai “ segala sesuatu mengenai perkara peradilan”[3]
           
            B. Pengertian Mahkamah
Pengertian mahkamah menurut KBBI ( Kamus Besar Bahasa Indonesia ) yaitu badan memutuskan hukum atas suatu perkara atau pelanggaran

            C. Pengertian Peradilan 
Menurut Soedikno Mertokusumo, pada dasarnya peradilan buka semata-mata badan tetapi juga terkait dengan pengertian yang abstrak, yaitu memberikan keadilan. Atas dasar itu, maka Sjahran Basah berpendapat bahwa penggunaan istilah pengadilan itu ditunjukan kepada badan atau wadah yang memberikan peradilan, sedangkan peradilan menunjuk pada proses un.tuk memberikan peradilan dalam rangka menegakan hukum ata het reschtspeken.[4]
Jika kata Pengadilan dan Peradilan disatukan dalam kata agama, maka pengertian peradilan agama adalah ” Kekuasaan Negara dalam memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama islam untuk menegakan hukum dan keadilan. Dalam konteks penegakan hukum dan keadilan inilah kemudian dirasakan pentingnya keberadaan peradilan yang memiliki kemampuan dan wewenang dalam menyelesaikan konflik, keberadaan peradilan  pada perkembangannya se jalan dengan perkembangan masyarakat dan pola hukum Negara.[5]

2.      A. Kelembagaan Peradilan Agama

Peradilan agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum islam kepada orang-orang islam yang dilakukan di pengadilan agama dan pengadilan tinggi Agama. Peradilan Agama dalam system peradilan nasional Indonesia, disamping peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha Negara. Merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam Negara Republik Indonesia. Keempat lembaga peradilan itu mempunyai kedudukan yang sama sederajat dengan kekuasaan yang berbeda.
Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama itu merupakan peristiwa penting bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum nasional, tetapi juga bagi umat Islam di Indonesia. Dengan disahkannya undang-undang peradilan Agama sebagai salah satu badan kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air kita. Dalam menegakkan hukum berdasarkan hukum Islam bagi pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara (perdata) di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah yang telah menjadi hukum positif di tanah air kita. Dengan undang-undang ini, pemeluk agama Islam yang menjadi bagian terbesar penduduk Indonesia, diberi kesempatan untuk mentaati hukum Islam yang  menjadi bagian mutlak agamanya, sesuai dengan jiwa pasal 29  Undang-Undang Dasar 1945 terutama ayat (2) nya[6]
Dengan disahkannya UU peradilan Agama, perubahan penting dan mendasar telah terjadi dalam lingkungan Peradilan Agama. Di antaranya dapat disebut hal-hal berikut :
1.      Peradilan Agama telah menjadi pengadilan mandiri, kedudukanya benar-benar telah sejajar dan sederajat dengan peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara.
2.       Nama, susunan, wewenang ( Kekuasan) dan hukum acaranya telah sama dan seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi Hukum acara Peradilan Agama akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkunan Peradilan Agama.
 B. Kekuasaan / kompetensi Peradilan Agama
Bab III mengatur “kekuasaan” pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Dalam Pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang 1. Perkawinan 2. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. 3. Wakap dan shadaqah.[7].
Kekuasaan atau  kewenangan mengadili suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama diatur secara khusus dalam UU nomor 7 tahun 1989 yo. UU nomor 3 tahun 2006. Kekuasaan peradilan agama dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1.      Kekuasaan absolut ( kompetensi absolut)
2.      Kekuasaan relative ( kompetensi relative)[8]
Kekuasaan pengadilan Agama adalah kekuasaan atau kewenangan mengadili dari badan peradilan Agama atas perkara perdata tertentu  secara mutlak hanya pengadilan di lingkungan peradilan Agama yang berwenang mengadili dan tidak dapat di adili oleh badan peradilan yang lain.  kekuasaan pengadilan dalam dalam lingkungan peradilan Agama secara tegas semula ditentukan dalam pasal 49 dan 50 UU nomor  7 tahun 1989 kemudian pasal 49 dan 50 di ubah bunyinya dengan UU nomor 3 tahun 2006.
1.      ( Kekuasaan absolut )Bidang perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama
a.       Perkara di bidang perkawinan
Menurut penjelasan pasal 49 huruf ( a ) UU nomor 3 tahun 2006 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam UU mengenai perkawinan yang berlaku, yang dilakukan menurut Syari’at Islam antara lain :
1.      Ijin beristri dari seorang
2.      Ijin melangsungkan perkawinan bagi yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.
3.      Dispensasi kawin
4.      Pencegahan perkawinan
5.      Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatatan Sipil
6.      Pembatalan perkawinan
7.      Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri
8.      Perceraian karena talak
9.      Gugatan perceraian
10.  Penyelesaian harta bersama
11.  Penguasaan anak-anak
12.  Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bila mana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya.[9]





b.      Perkara di bidang Waris
Dalam penjeasan pasal 49 huruf (b) UU nomor 3 tahun 2006, yang dimaksud dengan “ waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagi masing-masing ahli waris[10].

c.       Perkara di bidang Wasiat
Dalam penjelasan  pasal  49 huruf (c) UU Nomor 3 Tahun 2006, yang dimaksud dengan “wasiat’ adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memeberikan wasiat meninggal dunia[11].
d.      Perkara di bidang Hibah
Dalam penjelasan pasal  49 huruf (d ) UU Nomor 3 Tahun 2006, yang dimaksud dengan “ hibah”  adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki[12].

e.       Perkara di bidang Wakaf
Dalam pasal  49 huruf (e) UU Nomor 3 Tahun 2006, yang dimaksud dengan “Wakaf” adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk di manfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentinganya guna keperluan ibadah dan kesejahtraan umum menurut syari’ah.


f.       Perkara di bidang Zakat
Dalam pasal  49 huruf (f ) UU Nomor 3 Tahun 2006, yang dimaksud  musldengan “Zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh seseorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan Syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

g.      Perkara di bidang infaq
Dalam pasal  49 huruf (g) UU Nomor 3 Tahun 2006, yang dimaksud dengan            “ Infaq” perbuatan seseorang memberian sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas dan karena Allah SWT.

h.      Perkara di bidang Shadaqah
Dalam pasal  49 huruf (h) UU Nomor 3 Tahun 2006, yang dimaksud dengan “ Shadaqah“ adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga badan hukum secara sepontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah SWT.
i.        Perkara di bidang Ekonomi Syari’ah
Dalam pasal  49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006, yang dimaksud dengan “ Ekonomi Syari’ah”  adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip Syari’ah, diantaranya meliputi :
1.      Bank Syari’ah
2.      Lembaga keuangan Mikro syari’ah
3.      Asuransi syaria’ah
4.      Re asuransi syari’ah
5.      Reksa dana syari’ah
6.      Obligasi syari’ah dan surat-surat berharga berjangka menengah syariah.
7.      Sekuritas syari’ah
8.      Pembiyaan syari’ah
9.      Pengadaian syari’ah
10.   Dana pension lembaga keuangan syari’ah

2.      Kekuasaan Relatif
Secara umum yang dimaksud kekuasaan relative diartikan kekuasaan (kewenangan) mengadili oleh suatu pengadilan atas jenis perkara tertentu yang tidak dapat diadili oleh pengadilan lain dalam satu lingkungan badan peradilan, semata –mata dibatasi oleh wilayah hukum pengadilan itu[13].

C. Hukum acara di lingkungan Pengadilan Agama
Hukum Acara peradilan Agama diatur dalam Bab IV bagian pertama mengatur hal-hal yang bersifat Umum diantaranya disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama adalah hukum acara perdata yag berlaku pada acara pengadilan Umum, kecuali tentang hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Hal-hal yang diatur khusu dalam peradilan Agama disebutkan dalam bagian kedua undang-undang ini yaitu : pemeriksaan sengketa perkawinan yang mengenai. Cerai, talak, cerai gugat, cerai karena alasan zina. Kalau kita lihat jelas undang-undang ini berupaya melindungi dan meningkatkan kedudukan wanita, dengan jalan memberikan hak yang sama kepada istri dalam memajukan gugatan dan melakukan pembelaan di muka pengadilan. Selain itu perlu kita catat pula bahwa dibagian pertama Bab IV ini disebutkan pula bahwa tiap penetapan dan putusan Peradilan Agama ( harus) dimulai dengan kalimat Bismillah’hirohmanirohim dengan kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan tuhan YME. Penyebutan kata Bismilahirohmanirohim pada setiap penetapan dan putusan peradilan agama, selain menunjukan ciri khusus pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang satu ini[14].
D. Mahkamah Syari’ah di Aceh
Salah satu ke khususan yang di berikan Negara Indonesia kepada Provinsi Aceh adalah hak dan peluang untuk membentuk Mahkamah Syar’iyah sebagai Peradilan Syariat Islam. Hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Aceh), khususnya dalam Pasal 128 ayat (2) yang menyebutkan bahwa ”Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang  yang beragama Islam dan berada di Aceh.
Mahkamah Syar’iyah memiliki kekuasaan untuk melaksanakan wewenang Peradilan Agama dan juga memiliki kekuasaan untuk melaksanakan sebahagian wewenang Peradilan Umum.
1.      Mahkamah Syar’iyah memiliki kekuasaan yang lebih luas dibandingkan dengan Peradilan Agama, seperti yang dikatakan oleh Tim Lindsey and Cate Summer
2.       Kekuasaan Pengadilan Agama dibatasi oleh undang-undang hanya beberapa aspek dari hukum Islam. Namun demikian Mahkamah Syar’iyah tetap merupakan bagian dari sistem peradilan nasional. Hal ini secara tegas telah dinyatakan dalam UU Pemerintah  Aceh pasal 128 ayat (1)[15].
Mahkamah Syar’iyah juga menganut tiga tingkat peradilan, yakni tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Syar’iyah di Aceh telah lebih luas dalam melaksanakan kewajiban penetapan hukum-hukum Islam, terhadap perkara-perkara hukum keluarga (al-akhwal al-syakhshiyah), mu'amalah (hukum perdata) serta hukum jinayat (pidana).
Mahkamah Syar’iyah juga berwenang mengadili dan memutuskan perkara- perkara jarimah (tindak pidana), seperti penyebaran aliran sesat (bidang aqidah), tidak shalat Jumat tiga kali berturut-turut tanpa uzur syar'i (bidang ibadah), menyediakan fasilitas/peluang kepada orang muslim tanpa uzur syar'i untuk tidak berpuasa (bidang ibadah), makan minum di tempat umum di siang hari di bulan puasa (bidang ibadah), dan tidak berbusana Islami (bidang syiar Islam). Mahkamah Syar’iyah dipercayakan pula untuk mengadili perkara-perkara tindak pidana dalam pengelolaan zakat. Sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.
Tindak pidana dimaksud, meliputi tidak membayar zakat setelah jatuh tempo, membuat surat palsu atau memalsukan surat baitul mal, serta menyelewengkan pengelolaan zakat. Adapun hukum materil dalam bidang mu’amalah (perdata pada umumnya) yang telah ditetapkan pula menjadi wewenang Mahkamah Syar’iyah, sampai saat ini belum disusun qanunnya. Oleh karena itu wewenang di bidang tersebut belum dapat dilaksanakan, kecuali beberapa perkara perdata yang sejak dulu telah menjadi wewenang Pengadilan Agama, seperti masalah wakaf, hibah,wasiat dan sadaqah[16].











Daftar Pustaka

            Ali, Daud M. Hukum Islam. 2013. Jakarta : PT RajaGrafindo.
Artikel, Efa Laela Fakhrim, Yusrizal.  kewenangan Mahkamah Syari’yah di Aceh dihubungkan dengan sisitem peradilan di Indonesia.
Afandi. Peradilan Agama,  Setrategi & Taktik Membela Perkara di Pengadilan Agama, 2009. Malang: Setara.
Arif, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. 2008. Jakarta : Kencana.
T.M. Shiddieqy, Ash Hasbi. Peradilan & Hukum Acara Islam. 2001. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.
Somad, Abd. Hukum Islam Penoramaa Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia edisi Revisi. 2012. Jakarta : Kencana.


[1] Muhammad Jalal Syaraf, Fikr al-Siyasi fi al-Islami.
[2] Ahmad W. Munawwir, ( Kamus Arab-Indonesia), (Jakarta:Pustaka Progresif 1996)
[3] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, PN Balai Pustaka, 1984)
[4] Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2008. Hal. 253-254
[5] Ibid  hal.  254
[6] Muhammad Daud Ali, Hukum islam , ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2013.) Hal. 278-279
[7] Ibid Hal. 286
[8] Afandi. Peradilan Agama , (Malang: Setara. 2009)
[9] Ibid hal : 69
[10] Afandi. Peradilan Agama,  Setrategi & Taktik Membela Perkara di Pengadilan Agama, (Malang: Setara. 2009) Hal : 68
[11] Ibid Hal : 68
[12] Ibid Hal : 69
[13] Ibid Hal : 70
[14] Muhammad Daud Ali, Hukum islam , ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2013.) Hal. 289-290
[15] Artikel, Efa Laela Fakhrim, Yusrizal.  kewenangan Mahkamah Syari’yah di Aceh dihubungkan dengan sisitem peradilan di Indonesia. Hal : 2-3
[16][16] Ibid, Hal : 4-5

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda