MAKALAH “ PERADILAN AGAMA DI INDONESIA “
MAKALAH
“ PERADILAN AGAMA DI INDONESIA “
Tugas ini diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Pengantar Hukum Islam di Indonesia
Dosen Pengampu : Ahmad Rofii, MA, LL.M
Disusun oleh kelompok XI :
Fazar Sodik ( 1415201019 )
Muhammad Solihan ( 1415201065 )
Jurusan
AL-AHWAL
AL-SYAKHSHIYYAH - A
FAKULTAS
SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
IAIN
SYEKH NURJATI CIREBON
2016
1. A. Pengertian Qadha
Pengertian Qadha menurut Jalal Syaraf, qadha adalah
lembaga Negara yang bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum,
menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan masalah wakaf.[1] Qadha bisa berarti “
memutuskan, melaksanakan, dan menyelesaikan”[2]. Al-Qadha secara
bahasa juga memiliki beberapa
pengertian, yakni 1). sifat kehakiman yag mewajibkan hukum syara dilaksanakan.
2). Menyelesaikan kasus yang timbul dalam masyarakat dan memutuskan pertikaian
dengan adil dan benar. 3). Menyelesaikan segala perselisihan dan pertengkaran
yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulullah.
Kemudian
kata qadha digunakan dalam bahasa Indonesia, dimana dikatakan bahwa peradilan
berasal dari suku kata adil, yang secara terminology diartikan sebagai “ segala
sesuatu mengenai perkara peradilan”[3]
B. Pengertian Mahkamah
Pengertian mahkamah menurut KBBI ( Kamus Besar Bahasa
Indonesia ) yaitu badan memutuskan hukum atas suatu perkara atau pelanggaran
C. Pengertian
Peradilan
Menurut Soedikno Mertokusumo, pada dasarnya peradilan
buka semata-mata badan tetapi juga terkait dengan pengertian yang abstrak,
yaitu memberikan keadilan. Atas dasar itu, maka Sjahran Basah berpendapat bahwa
penggunaan istilah pengadilan itu ditunjukan kepada badan atau wadah yang
memberikan peradilan, sedangkan peradilan menunjuk pada proses un.tuk
memberikan peradilan dalam rangka menegakan hukum ata het reschtspeken.[4]
Jika kata Pengadilan dan Peradilan disatukan dalam
kata agama, maka pengertian peradilan agama adalah ” Kekuasaan Negara dalam
memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara
orang-orang yang beragama islam untuk menegakan hukum dan keadilan. Dalam
konteks penegakan hukum dan keadilan inilah kemudian dirasakan pentingnya
keberadaan peradilan yang memiliki kemampuan dan wewenang dalam menyelesaikan
konflik, keberadaan peradilan pada
perkembangannya se jalan dengan perkembangan masyarakat dan pola hukum Negara.[5]
2. A. Kelembagaan Peradilan Agama
Peradilan agama adalah proses pemberian
keadilan berdasarkan hukum islam kepada orang-orang islam yang dilakukan di
pengadilan agama dan pengadilan tinggi Agama. Peradilan Agama dalam system
peradilan nasional Indonesia, disamping peradilan umum, peradilan militer,
peradilan tata usaha Negara. Merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan
kehakiman dalam Negara Republik Indonesia. Keempat lembaga peradilan itu
mempunyai kedudukan yang sama sederajat dengan kekuasaan yang berbeda.
Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama
itu merupakan peristiwa penting bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum
nasional, tetapi juga bagi umat Islam di Indonesia. Dengan disahkannya
undang-undang peradilan Agama sebagai salah satu badan kekuasaan kehakiman yang
mandiri di tanah air kita. Dalam menegakkan hukum berdasarkan hukum Islam bagi
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara (perdata) di
bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah yang telah
menjadi hukum positif di tanah air kita. Dengan undang-undang ini, pemeluk
agama Islam yang menjadi bagian terbesar penduduk Indonesia, diberi kesempatan
untuk mentaati hukum Islam yang menjadi
bagian mutlak agamanya, sesuai dengan jiwa pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 terutama ayat (2)
nya[6]
Dengan disahkannya UU peradilan Agama,
perubahan penting dan mendasar telah terjadi dalam lingkungan Peradilan Agama.
Di antaranya dapat disebut hal-hal berikut :
1. Peradilan
Agama telah menjadi pengadilan mandiri, kedudukanya benar-benar telah sejajar
dan sederajat dengan peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha
Negara.
2. Nama, susunan, wewenang ( Kekuasan) dan hukum
acaranya telah sama dan seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi
Hukum acara Peradilan Agama akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan
kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkunan Peradilan Agama.
B. Kekuasaan / kompetensi Peradilan Agama
Bab III mengatur “kekuasaan” pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama. Dalam Pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang 1. Perkawinan 2. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam. 3. Wakap dan shadaqah.[7].
Kekuasaan atau
kewenangan mengadili suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama
diatur secara khusus dalam UU nomor 7 tahun 1989 yo. UU nomor 3 tahun 2006.
Kekuasaan peradilan agama dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Kekuasaan
absolut ( kompetensi absolut)
2. Kekuasaan
relative ( kompetensi relative)[8]
Kekuasaan pengadilan Agama adalah kekuasaan atau
kewenangan mengadili dari badan peradilan Agama atas perkara perdata
tertentu secara mutlak hanya pengadilan
di lingkungan peradilan Agama yang berwenang mengadili dan tidak dapat di adili
oleh badan peradilan yang lain.
kekuasaan pengadilan dalam dalam lingkungan peradilan Agama secara tegas
semula ditentukan dalam pasal 49 dan 50 UU nomor 7 tahun 1989 kemudian pasal 49 dan 50 di ubah
bunyinya dengan UU nomor 3 tahun 2006.
1. (
Kekuasaan absolut )Bidang perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama
a. Perkara
di bidang perkawinan
Menurut penjelasan pasal
49 huruf ( a ) UU nomor 3 tahun 2006 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam UU mengenai perkawinan yang
berlaku, yang dilakukan menurut Syari’at Islam antara lain :
1. Ijin
beristri dari seorang
2. Ijin
melangsungkan perkawinan bagi yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua
atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.
3. Dispensasi
kawin
4. Pencegahan
perkawinan
5. Penolakan
perkawinan oleh Pegawai Pencatatan Sipil
6. Pembatalan
perkawinan
7. Gugatan
kelalaian atas kewajiban suami atau istri
8. Perceraian
karena talak
9. Gugatan
perceraian
10. Penyelesaian
harta bersama
11. Penguasaan
anak-anak
12. Ibu
dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bila mana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya.[9]
b.
Perkara di bidang
Waris
Dalam penjeasan pasal 49 huruf (b) UU nomor 3 tahun
2006, yang dimaksud dengan “ waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan harta peninggalan, penentan bagian masing-masing ahli waris
dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan bagi masing-masing ahli waris[10].
c.
Perkara di bidang
Wasiat
Dalam penjelasan pasal
49 huruf (c) UU Nomor 3 Tahun 2006, yang dimaksud dengan “wasiat’ adalah
perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memeberikan wasiat meninggal
dunia[11].
d.
Perkara di bidang
Hibah
Dalam penjelasan pasal
49 huruf (d ) UU Nomor 3 Tahun 2006, yang dimaksud dengan “ hibah” adalah pemberian suatu benda secara sukarela
dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan
hukum untuk dimiliki[12].
e.
Perkara di bidang
Wakaf
Dalam pasal 49
huruf (e) UU Nomor 3 Tahun 2006, yang dimaksud dengan “Wakaf” adalah perbuatan
seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk di manfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentinganya guna keperluan ibadah dan
kesejahtraan umum menurut syari’ah.
f.
Perkara di bidang
Zakat
Dalam pasal 49
huruf (f ) UU Nomor 3 Tahun 2006, yang dimaksud musldengan “Zakat” adalah harta yang wajib
disisihkan oleh seseorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang
muslim sesuai dengan ketentuan Syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.
g.
Perkara di bidang
infaq
Dalam pasal 49
huruf (g) UU Nomor 3 Tahun 2006, yang dimaksud dengan “ Infaq” perbuatan seseorang memberian sesuatu kepada
orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, atau
menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas dan karena Allah
SWT.
h.
Perkara di bidang
Shadaqah
Dalam pasal 49 huruf (h) UU Nomor 3 Tahun 2006, yang
dimaksud dengan “ Shadaqah“ adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu
kepada orang lain atau lembaga badan hukum secara sepontan dan sukarela tanpa
dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah SWT.
i.
Perkara di bidang
Ekonomi Syari’ah
Dalam pasal 49
huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006, yang dimaksud dengan “ Ekonomi Syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip Syari’ah, diantaranya meliputi :
1.
Bank Syari’ah
2.
Lembaga keuangan
Mikro syari’ah
3.
Asuransi syaria’ah
4.
Re asuransi
syari’ah
5.
Reksa dana
syari’ah
6.
Obligasi syari’ah
dan surat-surat berharga berjangka menengah syariah.
7.
Sekuritas syari’ah
8.
Pembiyaan syari’ah
9.
Pengadaian
syari’ah
10. Dana pension
lembaga keuangan syari’ah
2.
Kekuasaan Relatif
Secara umum yang dimaksud kekuasaan relative diartikan
kekuasaan (kewenangan) mengadili oleh suatu pengadilan atas jenis perkara
tertentu yang tidak dapat diadili oleh pengadilan lain dalam satu lingkungan
badan peradilan, semata –mata dibatasi oleh wilayah hukum pengadilan itu[13].
C. Hukum acara di
lingkungan Pengadilan Agama
Hukum Acara peradilan
Agama diatur dalam Bab IV bagian pertama mengatur hal-hal yang bersifat Umum
diantaranya disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan Agama adalah hukum acara perdata yag berlaku pada acara
pengadilan Umum, kecuali tentang hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam
undang-undang ini. Hal-hal yang diatur khusu dalam peradilan Agama disebutkan
dalam bagian kedua undang-undang ini yaitu : pemeriksaan sengketa perkawinan
yang mengenai. Cerai, talak, cerai gugat, cerai karena alasan zina. Kalau kita
lihat jelas undang-undang ini berupaya melindungi dan meningkatkan kedudukan
wanita, dengan jalan memberikan hak yang sama kepada istri dalam memajukan
gugatan dan melakukan pembelaan di muka pengadilan. Selain itu perlu kita catat
pula bahwa dibagian pertama Bab IV ini disebutkan pula bahwa tiap penetapan dan
putusan Peradilan Agama ( harus) dimulai dengan kalimat Bismillah’hirohmanirohim dengan kata-kata Demi Keadilan
Berdasarkan tuhan YME. Penyebutan kata Bismilahirohmanirohim pada setiap
penetapan dan putusan peradilan agama, selain menunjukan ciri khusus
pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang satu ini[14].
D. Mahkamah
Syari’ah di Aceh
Salah satu ke khususan yang
di berikan Negara Indonesia kepada Provinsi Aceh adalah hak dan peluang untuk
membentuk Mahkamah Syar’iyah sebagai Peradilan Syariat Islam. Hal ini
dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya
disebut UU Pemerintahan Aceh), khususnya dalam Pasal 128 ayat (2) yang
menyebutkan bahwa ”Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh.
Mahkamah Syar’iyah
memiliki kekuasaan untuk melaksanakan wewenang Peradilan Agama dan juga
memiliki kekuasaan untuk melaksanakan sebahagian wewenang Peradilan Umum.
1.
Mahkamah Syar’iyah
memiliki kekuasaan yang lebih luas dibandingkan dengan Peradilan Agama, seperti
yang dikatakan oleh Tim Lindsey and Cate Summer
2.
Kekuasaan Pengadilan Agama dibatasi oleh
undang-undang hanya beberapa aspek dari hukum Islam. Namun demikian Mahkamah
Syar’iyah tetap merupakan bagian dari sistem peradilan nasional. Hal ini secara
tegas telah dinyatakan dalam UU Pemerintah
Aceh pasal 128 ayat (1)[15].
Mahkamah Syar’iyah juga
menganut tiga tingkat peradilan, yakni tingkat pertama, tingkat banding dan
tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Syar’iyah di Aceh telah lebih luas
dalam melaksanakan kewajiban penetapan hukum-hukum Islam, terhadap
perkara-perkara hukum keluarga (al-akhwal al-syakhshiyah), mu'amalah (hukum perdata)
serta hukum jinayat (pidana).
Mahkamah Syar’iyah juga
berwenang mengadili dan memutuskan perkara- perkara jarimah (tindak pidana), seperti
penyebaran aliran sesat (bidang aqidah), tidak shalat Jumat tiga kali
berturut-turut tanpa uzur syar'i (bidang ibadah), menyediakan fasilitas/peluang
kepada orang muslim tanpa uzur syar'i untuk tidak berpuasa (bidang ibadah),
makan minum di tempat umum di siang hari di bulan puasa (bidang ibadah), dan
tidak berbusana Islami (bidang syiar Islam). Mahkamah Syar’iyah dipercayakan
pula untuk mengadili perkara-perkara tindak pidana dalam pengelolaan zakat.
Sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.
Tindak pidana dimaksud, meliputi
tidak membayar zakat setelah jatuh tempo, membuat surat palsu atau memalsukan
surat baitul mal, serta menyelewengkan pengelolaan zakat. Adapun hukum materil dalam
bidang mu’amalah (perdata pada umumnya) yang telah ditetapkan pula menjadi
wewenang Mahkamah Syar’iyah, sampai saat ini belum disusun qanunnya. Oleh
karena itu wewenang di bidang tersebut belum dapat dilaksanakan, kecuali
beberapa perkara perdata yang sejak dulu telah menjadi wewenang Pengadilan Agama,
seperti masalah wakaf, hibah,wasiat dan sadaqah[16].
Daftar Pustaka
Ali,
Daud M. Hukum Islam. 2013. Jakarta : PT RajaGrafindo.
Artikel, Efa Laela Fakhrim, Yusrizal. kewenangan
Mahkamah Syari’yah di Aceh dihubungkan dengan sisitem peradilan di Indonesia.
Afandi.
Peradilan Agama, Setrategi
& Taktik Membela Perkara di Pengadilan Agama, 2009. Malang: Setara.
Arif, Jaenal. Peradilan
Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. 2008. Jakarta : Kencana.
T.M. Shiddieqy, Ash Hasbi. Peradilan & Hukum Acara Islam. 2001. Semarang : PT. Pustaka
Rizki Putra.
Somad, Abd. Hukum
Islam Penoramaa Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia edisi Revisi. 2012.
Jakarta : Kencana.
[1] Muhammad Jalal Syaraf, Fikr
al-Siyasi fi al-Islami.
[2]
Ahmad W. Munawwir, ( Kamus
Arab-Indonesia), (Jakarta:Pustaka Progresif 1996)
[3]
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, (Jakarta, PN Balai Pustaka, 1984)
[4]
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam
Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2008. Hal. 253-254
[6]
Muhammad Daud Ali, Hukum islam , (
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2013.) Hal. 278-279
[7]
Ibid Hal. 286
[8]
Afandi. Peradilan Agama , (Malang:
Setara. 2009)
[9]
Ibid hal : 69
[10]
Afandi. Peradilan Agama, Setrategi
& Taktik Membela Perkara di Pengadilan Agama, (Malang: Setara. 2009)
Hal : 68
[11]
Ibid Hal : 68
[12]
Ibid Hal : 69
[13]
Ibid Hal : 70
[14]
Muhammad Daud Ali, Hukum islam , (
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2013.) Hal. 289-290
[15]
Artikel, Efa Laela Fakhrim, Yusrizal. kewenangan Mahkamah Syari’yah di Aceh
dihubungkan dengan sisitem peradilan di Indonesia. Hal : 2-3
[16][16]
Ibid, Hal : 4-5
Label: Makalah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda