Sejarah Peradaban Islam pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan masa Umar bin Khaththab.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tidak ada sejarah yang lengkap. Begitulah fakta
sejarah dunia mana pun. Kita hanya dapat mengetahui dari sumber-sumber yang
berbeda-beda dalam penafsiran sejarah tersebut. Salah satunya sejarah Islam,
banyak orang yang berniat menyelewengkan sejarah Islam, salah satunya para
orientalis. Namun dengan adanya hal itu, kita diuji untuk bisa membedakan mana
sejarah yang benar dan yang diselewengkan.
Dengan adanya sejarah, kita dapat mengetahui apa saja
yang terjadi pada masa Rasulullah dan setelahnya, kita juga dapat mengambil
banyak pelajaran penting yang patut
dicontoh untuk kemakmuran negeri kita sekarang ini.
1.2 Rumusan Masalah
1)
Bagaimana
sejarah peradaban Islam pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq?
2)
Bagaimana
sejarah peradaban Islam pada masa Umar bin Khaththab?
1.3 Tujuan Penulisan
1)
Untuk mengetahui dan memahami sejarah peradaban Islam pada masa Abu Bakar
ash-Shiddiq.
2)
Untuk
mengetahui dan memahami sejarah peradaban Islam pada masa Umar bin Khaththab.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
KHALIFAH ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ
1. Kelahiran
Abu Bakar Ash-Shiddiq
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafah bin Utsman
bin Amr bin Masud bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr
bin At-Taimi Al-Qurasyi. Dilahirkan pada tahun 573 M. Beliau dilahirkan di
lingkungan suku yang berpengaruh dan suku yang melahirkan banyak tokoh-tokoh
besar. Ayahnya bernama Utsman (Abu Kuhafah) bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Saad
bin Laym bin Mun’ah bin Ka’ab bin Lu’ay, berasal dari suku Quraisy, sedangkan
ibunya bernama Ummu Al-Khair Salmah binti Sahr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taym bin
Murrah. Garis keturunannya bertemu pada neneknya, yaitu Ka’ab bin Sa’ad.
Abu Bakar merupakan orang yang pertama kali masuk Islam ketika
Islam mulai di da’wahkan. Baginya, tidaklah sulit untuk mempercayai ajaran yang
dibawa oleh Muhammad SAW., dikarenakan sejak kecil, ia telah mengenal keagungan
Muhammad. Setelah masuk Islam, ia tidak segan untuk menumpahkan jiwa dan harta
bendanya untuk Islam. Tercatat dalam sejarah bahwa beliau pernah membela Nabi tatkala Nabi
disakiti oleh suku Quraisy, menemani Rasul hijrah, membantu kaum yang lemah dan
memerdekakannya (seperti Bilal), setia dalam setiap peperangan, dan lain-lain.
Pengorbanan beliau pada Islam tidak dapat diragukan, beliau juga
pernah ditunjuk oleh Rasul sebagai penggantinya untuk mengimami shalat ketika
Rasul sakit. Rasulullah SAW pun wafat tak lama setelah kejadian tersebut. Karena
tidak ada pesan mengenai siapa penggantinya, di kemudian hari, pada saat
jenazah Nabi belum dimakamkan diantara umat Islam, ada yang mengusulkan untuk
cepat-cepat memikirkan pengganti Nabi. Itulah perselisihan pertama yang terjadi
pasca-Nabi wafat. Perselisihan berlanjut ke perselisihan kedua di Saqifah bani
Sa’idah, pada saat kaum Anshar menuntut diadakannya pemilihan Khalifah. Sikam
kaum Anshar ini menunjukkan bahwa kaum Anshar lebih memiliki kepedulian dalam
hal berpolitik dibandingkan dengan kaum Muhajirin. Dalam hal ini terjadi perselisihan antara kaum
Anshar, Muhajirin dan Bani Hasym.
Aturan-aturan yang jelas tentang pengganti Nabi tidak ditemukan.
Yang ada hanyalah sebuah mandat yang diterima Abu Bakar menjelang wafatnya Nabi
untuk menjadi pengganti Nabi dalam mengimami shalat. Sesuatu yang masih
merupakan tanda tanya terhadap mandat tersebut.
Dalam pertemuan tersebut, sebelum kaum Muhajirin datang, golongan
Khajraz telah sepakat mencalonkan Salad bin Ubadah sebagai pengganti Rasul.
Akan tetapi, suku Aus belum menanggapi pandangan tesebut, sehingga terjadilah
perdebatan diantara mereka dan pada akhirnya Sa’ad bin Ubadah yang tidak
menginginkan adanya perpecahan mengatakan bahwa ini adalah awal dari
perpecahan. Melihat situasi yang semakin memanas, Abu Ubaidah mengajak kaun
Anshar untuk tenang dan toleran, kemudian Basyir bin Sa’ad Abi An-Nu’man bin
Basyir berpidato dengan mengatakan agar tidak memperpanjang masalah ini.
Dalam keadaan yang sudah tenang, Abu Bakar berpdato. “Ini Umar dan
Abu Ubaidah. Siapa yang kaum kehendaki diantara mereka berdua, maka bai’atlah”.
Baik Umar maupun Ubaidah merasa keberatan atas ucapan Abu Bakar dengan
mempertimbangkan berbagai alasan, diantaranya adalah ditunjuknya Abu Bakar
sebagai pengganti Rasul dalam imam shalat dan ini membuat Abu Bakar lebih
berhak menjadi pengganti Rasulullah SAW. Sebelum keduanya membai’at Abu Bakar,
Basyir bin Sa’ad mendahuluinya, kemudian diikuti Umar dan Abu Ubaidah dan
diikuti secara serentak oleh semua hadirin.
Dari paparan diatas terlihat bahwa Abu Bakar dipilih secara
aklamasi walaupun tokoh-tokoh lain tidak ikut membai’atnya.
2. Abu Bakar :
Peran dan Fungsinya
Sepak terjang pemerintahan Abu Bakar dapat dipahami dari pidato Abu
Bakar ketika ia diangkat menjadi Khalifah. Berikut isi pidato Abu Bakar.
“Wahai manusia,
sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu percayakan, padahal aku bukan
orang yang terbaik diantara kamu. Apabila aku melaksanakan tugasku dengan baik,
bantulah aku dan jika berbuat salah, luruskanlah aku. Kebenaran adalah suatu
kepercayaan, dan kedustaan adalah suatu penghianatan. Orang yang lemah diantara
kamu adalah orang kuat bagiku sampai aku memenuhi hak-haknya dan orang kuat
diantara kamu adalah lemah bagiku hingga aku mengambil haknya. Insha Allah.
Janganlah salah seorang diantara kamu meninggalkan jihad. Sesungguhnya kaum
yang tidak memenuhi panggilan jihad maka Allah akan menimpakan atas mereka
suatu kehinaan. Patuhilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika
aku tidak mentaati Allah dan Rasul-nya, sekali-kali janganlah kamu mentaatiku.
Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kamu”.
Ucapannya saat dibai’at ini menunjukkan garis besar politik dan
kebijaksanaan Abu Bakar dalam pemerintahan. Didalamnya terdapat prinsip
kebebasan berpendapat, tuntutan ketaatan rakyat, mewujudkan keadilan dan
mendorong masyarakat berjihad, serta sholat sebagai intisari taqwa.
a)
Kebijaksanaan
pengurusan terhadap agama
Pada awal pemerintahannya, ia diuji dengan adanya ancaman yang
datang dari umat Islam sendiri yang menentang kepemimpinannya. Diantara
perbuatan makar tersebut timbullah orang-orang murtad, orang-orang yang tidak
mau mengeluarkan zakat, orang-orang yang mengaku nabi dan pemberontakan dari
beberapa kabilah.
b)
Kebijaksanaan
kenegaraan
·
Bidang
eksekutif
·
Pertahanan dan
keamanan
·
Yudikatif
·
Sosial ekonomi
Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
pengangkatan khalifah dalam kekhalifahan pertama berjalan dengan musyawarah
dengan aklamasi menerima dan mengangkat Abu Bakar, walaupun diantara sahabat
ada yang tidak ikut dalam pembai’atan dan pada akhirnya mereka melakukan sumpah
setia. Dengan demikian, secara nyata, pengangkatan Abu Bakar disetujui.
3. Penyebaran Islam
Pada Masa Abu Bakar
Setelah pergolakan dalam negeri berhasil dipadamkan (terutama
memerangi orang-orang murtad), Khalifah Abu Bakar menghadapi kekuatan Persia
dan Romawi yang setiap saat berkeinginan menghancurkan eksistensi Islam. Untuk
menghadapi Persia, Abu Bakar mengirim tentara Islam dibawah pimpinan Khalid bin
Walid dan Mutsanna bin Haritsah dan berhasil merebut beberapa daerah penting
Irak dari kekuasaan Persia. Adapun untuk menghadapi Romawi, Abu Bakar memilih
empat panglima Islam terbaik untuk memimpin beribu-ribu pasukan di empat front,
yaitu Amr bin Ash difront Palestina, Yazid bin Abi Sufyan di front Damaskus,
Abu Ubaidah di front Hims, dan Syurahbil bin Hasanah di front Yordania. Empat
pasukan ini kemudian dibantu oleh Khalid bin Walid yang bertempur di front Siria.
Perjuangan pasukan-pasukan tersebut, dan ekspedisi-ekspedisi militer berikutnya
untuk membebaskan jazirah Arab dari penguasaan Romawi dan Persia baru tuntas
pada masa pemerintahan Umar bin Khatab.
Fakta historis tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinannya telah
lulus ujian menghadapi berbagai ancaman dan krisis yang timbul, baik yang
berasal dari dalam maupun dari luar. Artinya ia telah sukses membangun pranata
sosial politik dan pertahanan keamanan pemerintahannya. Ia berhasil
memobilisasi segala kekuatan yang ada untuk menciptakan pertahanan dan keamanan
negara Madinah, menggalang persatuan umat Islam, mewujudkan keutuhan dan
keberlangsungan negara Madinah dan Islam, menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang
masih berserakan menjadi satu mushaf. Keberhasilan itu karena ada kedisiplinan,
kepercayaan dan ketaatan yang tinggi dari rakyat terhadap integritas
kepribadian dan kepemimpinannya.
4. Faktor Keberhasilan
Khalifah Abu Bakar
Adapun faktor keberhasilan Abu Bakar adalah dalam membangun pranata
sosial dibidang politik dan pertahanan keamanan. Keberhasilan tersebut tidak
lepas dari sikap keterbukaannya, yaitu memberikan hak dan kesempatan yang sama
kepada tokoh-tokoh sabahat untuk ikut membicarakan berbagai masalah sebelum ia
mengambil keputusan melalui forum musyawarah
sebagai lembaga legislatif. Hal ini mendorong para tokoh sahabat, khususnya dan
umumnya umat Islam, berpartisipasi aktif untuk melaksanakan berbagai keputusan
yang dibuat.
Adapun tugas-tugas eksekutif ia delegasikan pada para sahabat, baik
untuk pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan di Madinah maupun pemerintahan di
daerah. Untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan di Madinah, ia mengangkat
Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit sebagai Khatib
(sekretaris) dan Abu Ubaidah sebagai bendaharawan untuk mengurus Baitul Mal.
Dibidang kemiliteran, ia mengangkat panglima-panglima perang sebagimana disebut
diatas. Untuk tugas yudikatif, ia mengangkat Umar bin Khatab sebagai hakim
Agung.
Adapun urusan pemerintahan di luar kota Madinah, khalifah Abu Bakar
membagi wilayah kekuasaan hukum negara Madinah menjadi beberapa provinsi, dan
pada setiap provinsi ia menugaskan seorang amir atau wakil ( semacam gubernur
); a) Itab bin Asid, amir untuk Mekkah
(diangkat pada masa Nabi); b) Utsman bin Abi Ash, amir untuk Thaif (diangkat
pada masa Nabi); c) al-Muhajir bin Abi Umayah, amir untuk San’a; d) Ziad bin
Labid, amir untuk Hadramaut; dan yang lainnya. Disamping sebagai pemimpin
agama, amir juga sebagai hakim dan pelaksana tugas kepolisian. Namun demikian,
setiap amir diberi hak untuk mengangkat pembantu-pembantunya, seperti katib,
‘amil dan sebagainya.
5. Peradaban Pada
Masa Abu Bakar
Bentuk peradaban paling besar dan luar biasa dan merupakan satu
kerja besar yang dilakukan pada masa pemerintahan Abu Bakar adalah penghimpunan
al-Qur’an. Abu Bakar Ash-Shiddiq memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk
menghimpun Al-Qur’an dari pelepah kurma, kulit binatang, dan dari hafalan kaum
muslimin. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestarian Al-Qur’an setelah
syahidnya beberapa orang penghafal al-Qur’an pada perang Yamamah. Umar-lah yang
mengusulkan pertama kali penghimpunan al-Qur’an. Sejak itulah al-Qur’an
dikumpulkan dalam satu mushaf. Masa inilah petama kali al-Qur’an di himpun.
Selain itu peradaban al-Qur’an yang terjadi pada praktek
pemerintahan Abu Bakar terbagi beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut.
a.
Dalam bidang
pranata sosial ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial
masyarakat. Untuk kemaslahatan rakyat, khalifah mengelola zakat, infak dan
sedekah yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah (harta rampasan perang), dan
jizyah dari warga negara non-muslim, sebagai sumber pendapatan Baitul Mal. Penghasilan
yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan negara ini dibagikan untuk
kesejahteraan para tentara, gaji para pegawai negara, dan kepada rakyat yang
berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan al-Qur’an.
b.
Praktek
pemerintahan Khalifah Abu Bakar terpenting lainnya ialah mengenai suksesi
kepemimpinan atas inisiatifnya sendiri dengan menunjuk Umar bin Khattab untuk
menggantikannya. Ada beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar untuk menunjuk
atau mencalonkan Umar mejadi Khalifah. Faktor utama adalah kekhawatirannya akan
terulang kembali peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Saidah yang
nyaris menyult umat Islam ke jurang perpecahan, bila tidak menunjuk seseorang
yang akan menggantikannya. Pada saat itu kaum Anshor dan Muhajirin saling
mengklaim golongan yang berhak untuk menjadi Khalifah. Jika umat Islam terpecah
dalam situasi demikian dalam memperebutkan jabatan khalifah, tentu akibatnya
lebih fatal daripada menghadapi soal pemberontakan orang-orang murtad. Jadi,
dengan adanya jalan penunjukkan itu, ia ingin ada kepastian yang akan
menggantikannya sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi menimpa
umat Islam. Artinya, dari segi politik dan pertahanan keamanan, Abu Bakar
menghendaki adanya stabilitas politik dan keamanan bila pergantian pimpinan
tiba saatnya. Mengapa pilihannya jatuh pada Umar? Karena menurut pendapatnya,
Umar adalah sahabat senior yang mampu bijaksana dan memimpin negara, Ia juga disegani oleh rakyat dan
mempunyai sifat-sifat terpuji.
Dari penunjukkan Umar tersebut, ada beberapa hal yang perlu
dicatat.
1.
Abu Bakar dalam
menunjuk Umar tidak meninggalkan asas musyawarah. Ia lebih dahulu mengadakan
konsultasi untuk menetahui aspirasi rakyat melalui tokoh-tokoh kaum muslimin.
2.
Abu Bakar tidak
menunjuk salah seorang putranya atau kerabatnya, melainkan memilih seorang yang
mempunyai nama dan mendapat tempat dihati masyarakat serta disegani oleh rakyat
karena sifat-sifat terpuji yang dimilikinya.
3.
Pengukuhan Umar
menjadi khalifah sepeninggal Abu Bakar berjalan dengan baik dalam satu bai’at
umum dan terbuka tanpa ada pertentangan diantara kaum muslimin, sehingga obsesi
Abu Bakar untuk mempertahankan keutuhan umat Islam dengan cara penunjukkan itu
terjamin.
Akhirnya, tatkala Abu Bakar merasa kematiannya sudah dekat dan
sakitnya semakin parah, dia ingin untuk memberikan kekhilafahan kepada
seseorang sehingga diharapkan manusia tidak banyak terlibat konflik, jatuhlah
pilihannya kepada Umar bin Khatab. Dia meminta pertimbangan sahabat-sahabat
senior dan mereka semua mendukung pilihan Abu Bakar. Dia menulis wasiat untuk
itu, lalu Abu Bakar membai’at Umar. Beberapa hari setelah itu , Abu Bakar
meninggal. Ini terjadi pada bulan Jumadil Akhir tahun 13 H/ 634 M.
Abu Bakar memanggil Utsman dan mendiktekan teks perintah yang
menunjuk umar sebagai penggantinya. Beliau meninggal dunia pada hari Senin
tanggal 23 Agustus 634 M. Salat jenazah dipimpin oleh Umar, dan beliau
dimakamkan di rumah Aisyah, disamping makam Nabi. Beliau berusia 63 tahun
ketika meninggal dunia, dan kekhilafahannya berlangsung selama 2 tahun 3 bulan
11 hari.
2.2
KHALIFAH UMAR
IBN AL-KHATHTHAB
1. Kelahiran
Umar ibn Al-Khaththab
Umar ibn
Al-Khaththab (583-644) yang memiliki nama lengkap Umar bin Khaththab bin Nufail
bin Abd Al-Uzza bin Ribaah bin Abdillah bin Qart bin Razail bin ‘adi bin Ka’ab
bin Lu’ay adalah khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dia
adalah salah seorang sahabat terbesar sepanjang sejarah sesudah Nabi Muhammad
SAW. Kebesarannya terletak pada keberhasilannya, baik sebagai negarawan yang
bijaksana maupun sebagai mujtahid yang ahli dalam membangun negara besar yang
ditegakkan atas prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan persaudaraan yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam banyak hal, Umar ibn Al-Khaththab
dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif, bahkan genius.
Peranan Umar dalam
sejarah Islam masa permulaan merupakan yang paling menonjol karena perluasan
wilayahnya, di samping kebijakan-kebijakan politiknya yang lain. Adanya
penaklukan besar-besaran pada masa pemerintahan Umar merupakan fakta yang
diakui kebenarannya oleh para sejarawan. Bahkan, ada yang mengatakan, kalau
tidak karena penaklukan-penaklukan yang dilakukan pada masa Umar, Islam belum
akan tersebar seperti sekarang.
2. Latar
Belakang Kehidupan Umar Ibn Al-Khaththab
Umar ibn Al-Khaththab dilahirkan di Mekkah dari keturunan suku
Quraisy yang terpandang dan terhormat. Ia lahir empat tahun sebelum terjadinya
Perang Fijar atau sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Al-Khudari Bek, tiga
belas tahun lebih muda dari Nabi Muhammad SAW.
Sebelum masuk Islam, Umar termasuk di antara kaum kafir Quraisy
yang paling ditakuti oleh orang-orang yang sudah masuk Islam. Dia adalah musuh
dan penentang Nabi Muhammad SAW yang paling ganas dan kejam, bahkan sangat
besar keinginannya untuk membunuh Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Dia
sering menyebar fitnah dan menuduh Nabi Muhammad sebagai penyair tukang tenung.
Setelah Umar masuk
agama Islam, pada bulan Dzulhijah enam tahun setelah kerasulan Nabi Muhammad
SAW. Kepribadiannya bertolak belakang dengan keadaan sebelumnya. Dia berubah
menjadi salah seorang yang gigih dan setia membela agama Islam. Bahkan, dia
termasuk seorang sahabat yang terkemuka dan paling dekat dengan Nabi Muhammad
SAW.
3. Pengangkatan
Umar ibn Al-Khaththab Sebagai Khalifah
Abu Bakar sebelum meninggal pada tahun 634 M / 13 H menunjuk Umar
ibn Al-Khaththab sebagai penggantinya. Kendatipun hal ini merupakan perbuatan
yang belum pernah terjadi sebelumnya, tampaknya penunjukan ini bagi Abu Bakar
merupakan hal yang wajar untuk dilakukan. Ada beberapa faktor yang mendorong
Abu Bakar untuk menunjuk Umar menjadi khalifah. Pertama, kekhawatirkan
peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Sa’idah yang nyaris menyeret
umat Islam ke jurang perpecahan akan terulang kembali, bila ia tidak menunjuk
seorang yang akan menggantikannya. Kedua, kaum Anshar dan Muhajirin saling
mengklaim sebagai golongan yang berhak menjadi khalifah. Ketiga, umat Islam
pada saat itu baru saja selesai menumpas kaum murtad dan pembangkang. Sementara
sebagian mujahidin sedang bertempur di luar kota Madinah melawan tentara Persia
di satu pihak dan tentara Romawi di pihak lain.
Berangkat dari kondisi politik yang demikian, tampaknya tidak
menguntungkan apabila pemilihan khalifah diserahkan sepenuhnya kepada umat
secara langsung. Jika alternatif ini dipilih, besar kemungkinan akan timbul
kontroversi berkepanjangan di kalangan umat Islam tentang siapa yang lebih
proporsional menggantikan Abu Bakar. Kondisi demikin jelas akan melahirkan
instabilitas politik yang akan membahayakan umat dan negara, mengingat bukan
hal mustahil akan terjadi perang saudara dan kevakuman pimpinan. Hal ini
akibatnya lebih fatal daripada pemberontakan orang-orang murtad.
Penunjukan Abu Bakar terhadap Umar yang dilakukan di saat ia
mendadak jatuh sakit pada masa jabatannya merupakan suatu yang baru, tetapi
harus dicatat bahwa penunjukan itu dilakukan dalam bentuk rekomendasi atau
saran yang diserahkan pada persetujuan umat. Abu Bakar dalam menunjuk Umar
sebagai pengganti tetap mengadakan musyawarah atau konsultasi terbatas dengan
beberapa orang sahabat senior, antara lain Abdul Rahman bin Auf, Utsman bin
Affan, dan Asid bin Hadhir, seorang tokoh Anshar. Konsultasi ini menghasilkan
persetujuan atas pilihannya pada Umar secara objektif. Setelah itu, hasil
konsultasi dengan beberapa orang sahabat senior itu masih ditawarkan kepada
kaum muslimin yang sedang berkumpul di Masjid Nabawi. Apakah rela menerima
orang yang dicalonkan sebagai penggantinya? Dalam pertemuan tersebut, kaum
muslimin menerima dan menyetujui orang yang telah dicalonkan Abu Bakar. Setelah
Abu Bakar mendapat persetujuan kaum muslimin atas pilihannya, ia memanggil
Utsman bin Affan untuk menuliskan teks pengangkatan Umar (bai’at Umar).
Penulis menilai bahwa apa yang dilakukan Abu Bakar dalam suksesi
kepemimpinan di negara Madinah pada saat itu merupakan langkah yang tepat. Dan
apa yang dilakukan itu merupakan implementassi yang optimal terhadap prinsip
musyawarah.
Sebagaimana Abu Bakar, Umar bin Khaththab begitu bai’at atau
dilantik menjadi khalifah menyampaikan pidato penerimaan jabatannya di Masjid
Nabi di hadapan kaum muslimin. Bagian dari pidatonya adalah: “Aku telah dipilih
menjadi khalifah. Kerendahan hati Abu Bakar selaras dengan jiwanya yang terbaik
di antara kamu dan lebih kuat terhadap kamu dan juga lebih mampu untuk memikul
urusan kamu yang penting-penting. Aku diangkat dalam jabatan ini tidaklah sama
dengan beliau. Andaikata aku tahu bahwa ada orang yang lebih kuat daripadaku
untuk memikul jabatan ini, maka memberikan leherku untuk dipotong lebih aku
sukai daripada memikul jabatan ini.” “Sesungguhnya Allah menguji kamu dengan
aku dan mengujiku dengan kamu dan membiarkan aku memimpin kamu sesudah
sahabatku. Maka demi Allah, bila ada suatu urusan dari urusan kamu dihadapkan
kepadaku, maka janganlah urusan itu diurus oleh seseorang., selain aku dan
janganlah seseorang menjauhkan diri dari aku, sehingga aku tidak dapat memilih
orang yang benar dan memegang amanah. Jika mereka berbuat baik, tentu aku akan
berbuat baik kepada mereka dan jika mereka berbuat jahat, maka tentu aku akan
menghukum mereka.”
Pidato tersebut menggambarkan pandangan Umar bahwa jabatan khalifah
adalah tugas yang berat sebagai amanah dan ujian. Antara pemimpin dan yang
dipimpin harus terjalin hubungan timbal balik yang seimbang dalam melaksanakan
tanggung jawab itu. Setiap urusan harus diurus dan diselesaikan oleh khalifah
dengan baik. Khalifah harus memilih orang-orang yang benar dan bisa memegang
amanah untuk membantunya. Hukum harus ditegakkan terhadap pelaku tanpa memandang
dari pihak manapun.
Ekspansi Islam
Masa Pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khaththab
Selama sepuluh
tahun pemerintahan Umar (13 H./634 M.-23H./644 M.), sebagian besar ditandai
oleh penaklukan-penaklukan untuk melebarkan pengaruh Islam ke luar Arab.
Sejarah mencatat, Umar telah berhasil membebaskan negeri-negeri jajahan
Imperium Romawi dan Persia yang dimulai dari awal pemerintahannya, bahkan sejak
pemerintahan sebelumnya. Segala tindakan yang dilakukan untuk menghadapi dua
kekuatan itu, jelas bukan hanya menyangkut kepentingan keagamaan saja, namun
juga untuk kepentingan politik.
Faktor-faktor yang
melatarbelakangi timbulnya konflik antara umat Islam dengan bangsa Romawi dan
Persia yang pada akhirnya mendorong umat Islam mengadakan penaklukan negeri
Romawi dan Persia, serta negeri-negeri jajahannya karena: pertama, bangsa
Romawi dan Persia tidak menaruh hormat terhadap maksud baik Islam; kedua,
semenjak Islam masih lemah, Romawi dan Persia selalu berusaha menghancurkan
Islam; ketiga, bangsa Romawi dan Persia sebagai negara yang subur dan terkenal
kemakmurannya, tidak berkenan menjalin hubungan perdagangan dengan
negeri-negeri Arab; keempat, bangsa Romawi dan Persia bersikap ceroboh
menghasut suku-suku Badui untuk menentang pemerintahan Islam dan mendukung
musuh-musuh Islam; dan kelima, letak geografis kekuasaan Romawi dan Persia
sangat strategis untuk kepentingan keamanan dan pertahanan Islam.
Tindakan pertama
yang dilakukan Umar untuk menghadapi kekuatan Romawi-Persia adalah mengutus
Saad Abi Waqqas untuk menaklukkan Persia dan menunjuk Abu Ubaidah bin Jarrah
untuk menggantikan Khalid bin Walid sebagai panglima tertinggi yang sedang
menghadapi kekuatan Romawi di Siria. Saad bin Abi Waqqas berangkat dari Madinah
memimpin pasukan militer menuju Irak yang sedang dikuasai Persia. Pasukan yang
dipimpin Saad bin Abi Waqqas berhasil menerobos pintu gerbang kekuatan Persia.
Pertempuran antara keduanya tak dapat dielakkan lagi maka terjadi pertempuran
lain di Qadasiyah pada tahun 635 M./14 H. Dalam pertempuran ini, pihak Persia
berhasil dipukul mundur oleh kekuatan Islam-Arab yang dipimpin Saad bin Abi Waqqas.
Pada tahun 637
M./16H., Persia bermaksud membalas kekalahannya, sehingga terjadi peperangan di
Jakilah. Namun, maksud tersebut tidak dapat terwujud, bahkan pasukan Persia
terdesak dan kota Hulwan dikuasai juga oleh pasukan Islam-Arab. Pertempuran
terjadi di Nahawan pada tahun 642 M./21 H. Dalam pertempuran ini, pasukan
Persia dapat ditundukkan secara mutlak. Dengan demikian, seluruh wilayah
kekuasaan menjadi wilayah kekuasaan pemerintahan Islam.
Kota Damaskus,
salah satu pusat Siria yang paling penting jatuh di tangan pasukan Islam-Arab
pada tahun 635 M./14 H. di bawah komando Abu Ubaidah. Ketika Romawi (Bizantium)
memutuskan untuk melakukan serangan balasan secara besar-besaran terhadap para
penyerang, pasukan Abu Ubaidah mampu menghadapinya dengan kekuatan penuh pada
pertempuran Yarmuk pada tahun 16H./631 M.
Mesir secara
keseluruhan berada di bawah kekuasaan Islam-Arab setelah penyerahan
Iskandariyah (alexandria), ibukota Mesir dan ibukota kedua bagi kekaisaran
Romawi Timur pada tahun 642 M./21 H.
Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Umar ibn Al-Khaththab, kekuatan
dua adikuasa dunia dapat diruntuhkan. Hal ini sangat besar pengaruhnya bagi
perkembangan sejarah Islam.
4. Umar ibn
Khaththab: Madinah Sebagai Negara Adikuasa
Semenjak penaklukan Persia dan Romawi, pemerintahan Islam menjadi
adikuasa dunia yang memiliki wilayah kekuasaan luas, meliputi Semenanjung
Arabia, Palestina, Siria, Irak, Persia dan Mesir.
Umar ibn
Al-Khaththab yang dikenal sebagai negarawan, administrator terampil dan pandai,
dan seorang pembaharu membuat berbagai kebijakan mengenai pengelolaan wilayah
kekuasaan yang luas, ia menata struktur kekuasaan dan administrasi pemerintahan
negara Madinah berdasarkan semangat demokrasi.
Untuk menunjang
kelancaran administrasi dan operasional tugas-tugas eksekutif, Umar
melengkapinya dengan beberapa jawatan, antara lain:
a. Dewan Al-Kharraj (Jawatan Pajak);
b. Dewan Al-Addats (Jawatan Kepolisian);
c. Nazar Al-Nafiat (jawatan Pekerjaan Umum);
d. Dewan Al-Jund (Jawatan Militer);
e. Bai’at Al-Mal (Lembaga Pembendaharaan Negara),
Sebagaimana
Rasulullah SAW dan Abu Bakar, Khalifah Umar juga sangat condong menanamkan
semangat demokrasi secara intensif di kalangan rakyat, di kalangan para pemuka
masyarakat, dan di kalangan para pejabat atau para administrator pemerintahan.
Ia selalu mengadakan musyawarah dengan rakyat untuk memecahkan masalah-masalah
umum dan kenegaraan yang dihadapi. Ia tidak bertindak sewenang-wenang dan
memutuskan suatu urusan tanpa mengikutsertakan warga negara, baik warga negara
muslim maupun warga negara non-muslim.
5. Peradaban Pada
Masa Khalifah Umar
Peradaban yang
paling signifikan pada masa Umar, selain pola administratif pemerintahan,
peperangan, dan sebagainya adalah pedoman dalam peradilan. Pemikiran Khalifah
Umar bin Khaththab khususnya dalam peradilan yang masih berlaku sampai sekarang
dikutip M. Fauzan, sebagai berikut.
Naskah
Asas-Asas Hukum Acara
Dari Umar Amirul Mu’minin kepada Abdullah bin Qais, mudah-mudahan
Allah melimpahkan kesejahteraan dan rahmat-Nya kepada engkau.
1. Kedudukan lembaga
peradilan
Kedudukan lembaga peradilan di tengah-tengah masyarakat suatu
negara hukumnya wajib (sangat urgen) dan sunnah yang harus diikuti/ dipatuhi.
2. Memahami kasus persoalan,
baru memutuskannya
Pahami persoalan suatu kasus gugatan yang diajukan kepada Anda, dan
ambillah keputusan setelah jelas persoalan mana yang benar dan mana yang salah.
Karena sesungguhnya , suatu kebenaran yang tidak memperoleh perhatian hakim
akan menajdi sia-sia.
3. Samakan pandangan anda
kepada kedua belah pihak dan berlaku adillah
Dudukkan kedua belah pihak di majelis secara sama, pandangan mereka
dengan pandangan yang sama, agar orang yang terhormat tidak melecehkan anda,
dan orang yang lemah tidak merasa teraniaya.
4. Kewajiban pembuktian
Penggugat wajib membuktikan gugatannya, dan tergugat wajib
membuktikan bantahannya.
5. Lembaga damai
Penyelesaian perkara secara damai dibenarkan, sepanjang tidak
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
6. Penundaan persidangkan
Barang siapa menyatakan ada suatu hal yang tidak ada di tempatnya
atau sesuatu keterangan, berilah tempo kepadanya untuk dilaluinya. Kemudian,
jika dia memberi keterangan, hendaklah anda memberikan kepadanya haknya. Jika
dia tidak mampu memberikan yang demikian, anda dapat memutuskan perkara yang
merugikan haknya, karena yang demikian itu lebih mantap bagi keudzurannya (tak
ada jalan baginya untuk mengatakan ini dan itu lagi), dan lebih menampakkan apa
yang tersembunyi.
7. Kebenaran dan keadilan
adalah masalah universal
Janganlah anda dihalangi oleh suatu putusan yang telah anda
putuskan pada hari ini, kemudian anda tinjau kembali putusan itu lalu anda
ditunjuk pada kebenaran untuk kembali pada kebenaran, karena kebenaran itu
suatu hal yang qadim yang tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu. Kembali pada
yang hak, lebih baik daripada terus bergelimang dalam kebatilan.
8. Kewajiban menggali hukum
yang hidup dan melakukan penalaran logis.
Pergunakanlah kekuatan logis pada suatu kasus perkara yang diajukan
kepada anda dengan menggali dan memahami hukum yang hidup, apabila hukum suatu
perkara kurang jelas dalam Al-Quran dan Sunnah. Kemudian bandingkanlah
permasalahan tersebut satu sama lain dan ketahuilah (kenalilah) hukum yang
serupa, kemudian ambillah mana yang lebih mirip dengan kebenaran.
9. Orang Islam haruslah
berlaku adil
Orang Islam dengan orang Islam lainnya haruslah adil, terkecuali
orang yang sudah pernah menjadi saksi palsu atau pernah dijatuhi hukuman had
atas orang yang diragukan tentang asal-usulnya, karena sesungguhnya Allah yang
mengendalikan rahasia hamba dan menutupi hukuman atas mereka, terkecuali dengan
ada keterangan dan sumpah.
10. Larangan bersidang ketika
sedang emosional
Jauhilah diri anda dari marah, pikiran kacau, perasaan tidak
senang, dan berlaku kasar terhadap para pihak. Karena kebenaran itu hanya
berada di dalam jiwa yang tenang dan niat yang bersih.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Peradaban Islam pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq yaitu
sudah ada pemikiran untuk pengumpulan ayat Al-Quran menjadi sebuah Mushaf.
Penghimpunan Al-Quran tersebut dilakukannya dengan cara mengumpulkan ayat
al-quran yang berserakan di pelapah kurma, kulit binatang dan hafalan dari para
penghafal Al-Quran dari kalangan umat Islam, karena kekhawatiran sahabat Abu
Bakar Ash-Shiddiq akan hilangnya ayat Al-Quran sebab terbunuhnya para penghafal
Al-Quran di medan perang.
Sedangkan Peradaban Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab itu
lebih signifikan terhadap kepemerintahan negara pada masa itu, yaitu pola
administratif pemerintahan peperangan, dan sebagainya dengan pedoman peradilan
sehingga muncullah asas-asas yang dikeluarkan oleh sahabat Umar bin Khattab.
LITERATUR
1.
Supriyadi, Dedi.2008.Sejarah Peradaban
Islam.Bandung:Pustaka Setia.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda