Selasa, 22 Maret 2016

Sejarah Peradaban Islam pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq dan masa Umar bin Khaththab.



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Tidak ada sejarah yang lengkap. Begitulah fakta sejarah dunia mana pun. Kita hanya dapat mengetahui dari sumber-sumber yang berbeda-beda dalam penafsiran sejarah tersebut. Salah satunya sejarah Islam, banyak orang yang berniat menyelewengkan sejarah Islam, salah satunya para orientalis. Namun dengan adanya hal itu, kita diuji untuk bisa membedakan mana sejarah yang benar dan yang diselewengkan.
Dengan adanya sejarah, kita dapat mengetahui apa saja yang terjadi pada masa Rasulullah dan setelahnya, kita juga dapat mengambil banyak pelajaran penting  yang patut dicontoh untuk kemakmuran negeri kita sekarang ini.


1.2  Rumusan Masalah
1)      Bagaimana sejarah peradaban Islam pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq?
2)      Bagaimana sejarah peradaban Islam pada masa Umar bin Khaththab?


1.3  Tujuan Penulisan
1)      Untuk mengetahui dan memahami sejarah peradaban Islam pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq.
2)      Untuk mengetahui dan memahami sejarah peradaban Islam pada masa Umar bin Khaththab.





BAB II
PEMBAHASAN
2.1               KHALIFAH ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ
1. Kelahiran Abu Bakar Ash-Shiddiq
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafah bin Utsman bin Amr bin Masud bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin At-Taimi Al-Qurasyi. Dilahirkan pada tahun 573 M. Beliau dilahirkan di lingkungan suku yang berpengaruh dan suku yang melahirkan banyak tokoh-tokoh besar. Ayahnya bernama Utsman (Abu Kuhafah) bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Saad bin Laym bin Mun’ah bin Ka’ab bin Lu’ay, berasal dari suku Quraisy, sedangkan ibunya bernama Ummu Al-Khair Salmah binti Sahr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taym bin Murrah. Garis keturunannya bertemu pada neneknya, yaitu Ka’ab bin Sa’ad.
Abu Bakar merupakan orang yang pertama kali masuk Islam ketika Islam mulai di da’wahkan. Baginya, tidaklah sulit untuk mempercayai ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW., dikarenakan sejak kecil, ia telah mengenal keagungan Muhammad. Setelah masuk Islam, ia tidak segan untuk menumpahkan jiwa dan harta bendanya untuk Islam. Tercatat dalam sejarah bahwa  beliau pernah membela Nabi tatkala Nabi disakiti oleh suku Quraisy, menemani Rasul hijrah, membantu kaum yang lemah dan memerdekakannya (seperti Bilal), setia dalam setiap peperangan, dan lain-lain.
Pengorbanan beliau pada Islam tidak dapat diragukan, beliau juga pernah ditunjuk oleh Rasul sebagai penggantinya untuk mengimami shalat ketika Rasul sakit. Rasulullah SAW pun wafat tak lama setelah kejadian tersebut. Karena tidak ada pesan mengenai siapa penggantinya, di kemudian hari, pada saat jenazah Nabi belum dimakamkan diantara umat Islam, ada yang mengusulkan untuk cepat-cepat memikirkan pengganti Nabi. Itulah perselisihan pertama yang terjadi pasca-Nabi wafat. Perselisihan berlanjut ke perselisihan kedua di Saqifah bani Sa’idah, pada saat kaum Anshar menuntut diadakannya pemilihan Khalifah. Sikam kaum Anshar ini menunjukkan bahwa kaum Anshar lebih memiliki kepedulian dalam hal berpolitik dibandingkan dengan kaum Muhajirin.  Dalam hal ini terjadi perselisihan antara kaum Anshar, Muhajirin dan Bani Hasym.
Aturan-aturan yang jelas tentang pengganti Nabi tidak ditemukan. Yang ada hanyalah sebuah mandat yang diterima Abu Bakar menjelang wafatnya Nabi untuk menjadi pengganti Nabi dalam mengimami shalat. Sesuatu yang masih merupakan tanda tanya terhadap mandat tersebut.
Dalam pertemuan tersebut, sebelum kaum Muhajirin datang, golongan Khajraz telah sepakat mencalonkan Salad bin Ubadah sebagai pengganti Rasul. Akan tetapi, suku Aus belum menanggapi pandangan tesebut, sehingga terjadilah perdebatan diantara mereka dan pada akhirnya Sa’ad bin Ubadah yang tidak menginginkan adanya perpecahan mengatakan bahwa ini adalah awal dari perpecahan. Melihat situasi yang semakin memanas, Abu Ubaidah mengajak kaun Anshar untuk tenang dan toleran, kemudian Basyir bin Sa’ad Abi An-Nu’man bin Basyir berpidato dengan mengatakan agar tidak memperpanjang masalah ini.
Dalam keadaan yang sudah tenang, Abu Bakar berpdato. “Ini Umar dan Abu Ubaidah. Siapa yang kaum kehendaki diantara mereka berdua, maka bai’atlah”. Baik Umar maupun Ubaidah merasa keberatan atas ucapan Abu Bakar dengan mempertimbangkan berbagai alasan, diantaranya adalah ditunjuknya Abu Bakar sebagai pengganti Rasul dalam imam shalat dan ini membuat Abu Bakar lebih berhak menjadi pengganti Rasulullah SAW. Sebelum keduanya membai’at Abu Bakar, Basyir bin Sa’ad mendahuluinya, kemudian diikuti Umar dan Abu Ubaidah dan diikuti secara serentak oleh semua hadirin.
Dari paparan diatas terlihat bahwa Abu Bakar dipilih secara aklamasi walaupun tokoh-tokoh lain tidak ikut membai’atnya.

2. Abu Bakar : Peran dan Fungsinya
Sepak terjang pemerintahan Abu Bakar dapat dipahami dari pidato Abu Bakar ketika ia diangkat menjadi Khalifah. Berikut isi pidato Abu Bakar.
“Wahai manusia, sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu percayakan, padahal aku bukan orang yang terbaik diantara kamu. Apabila aku melaksanakan tugasku dengan baik, bantulah aku dan jika berbuat salah, luruskanlah aku. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan kedustaan adalah suatu penghianatan. Orang yang lemah diantara kamu adalah orang kuat bagiku sampai aku memenuhi hak-haknya dan orang kuat diantara kamu adalah lemah bagiku hingga aku mengambil haknya. Insha Allah. Janganlah salah seorang diantara kamu meninggalkan jihad. Sesungguhnya kaum yang tidak memenuhi panggilan jihad maka Allah akan menimpakan atas mereka suatu kehinaan. Patuhilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku tidak mentaati Allah dan Rasul-nya, sekali-kali janganlah kamu mentaatiku. Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kamu”.
Ucapannya saat dibai’at ini menunjukkan garis besar politik dan kebijaksanaan Abu Bakar dalam pemerintahan. Didalamnya terdapat prinsip kebebasan berpendapat, tuntutan ketaatan rakyat, mewujudkan keadilan dan mendorong masyarakat berjihad, serta sholat sebagai intisari taqwa.
a)                  Kebijaksanaan pengurusan terhadap agama
Pada awal pemerintahannya, ia diuji dengan adanya ancaman yang datang dari umat Islam sendiri yang menentang kepemimpinannya. Diantara perbuatan makar tersebut timbullah orang-orang murtad, orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat, orang-orang yang mengaku nabi dan pemberontakan dari beberapa kabilah.
b)                  Kebijaksanaan kenegaraan
·                     Bidang eksekutif
·                     Pertahanan dan keamanan
·                     Yudikatif
·                     Sosial ekonomi

Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengangkatan khalifah dalam kekhalifahan pertama berjalan dengan musyawarah dengan aklamasi menerima dan mengangkat Abu Bakar, walaupun diantara sahabat ada yang tidak ikut dalam pembai’atan dan pada akhirnya mereka melakukan sumpah setia. Dengan demikian, secara nyata, pengangkatan Abu Bakar disetujui.

3. Penyebaran Islam Pada Masa Abu Bakar
Setelah pergolakan dalam negeri berhasil dipadamkan (terutama memerangi orang-orang murtad), Khalifah Abu Bakar menghadapi kekuatan Persia dan Romawi yang setiap saat berkeinginan menghancurkan eksistensi Islam. Untuk menghadapi Persia, Abu Bakar mengirim tentara Islam dibawah pimpinan Khalid bin Walid dan Mutsanna bin Haritsah dan berhasil merebut beberapa daerah penting Irak dari kekuasaan Persia. Adapun untuk menghadapi Romawi, Abu Bakar memilih empat panglima Islam terbaik untuk memimpin beribu-ribu pasukan di empat front, yaitu Amr bin Ash difront Palestina, Yazid bin Abi Sufyan di front Damaskus, Abu Ubaidah di front Hims, dan Syurahbil bin Hasanah di front Yordania. Empat pasukan ini kemudian dibantu oleh Khalid bin Walid yang bertempur di front Siria. Perjuangan pasukan-pasukan tersebut, dan ekspedisi-ekspedisi militer berikutnya untuk membebaskan jazirah Arab dari penguasaan Romawi dan Persia baru tuntas pada masa pemerintahan Umar bin Khatab.
Fakta historis tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinannya telah lulus ujian menghadapi berbagai ancaman dan krisis yang timbul, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Artinya ia telah sukses membangun pranata sosial politik dan pertahanan keamanan pemerintahannya. Ia berhasil memobilisasi segala kekuatan yang ada untuk menciptakan pertahanan dan keamanan negara Madinah, menggalang persatuan umat Islam, mewujudkan keutuhan dan keberlangsungan negara Madinah dan Islam, menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang masih berserakan menjadi satu mushaf. Keberhasilan itu karena ada kedisiplinan, kepercayaan dan ketaatan yang tinggi dari rakyat terhadap integritas kepribadian dan kepemimpinannya.

4. Faktor Keberhasilan Khalifah Abu Bakar
Adapun faktor keberhasilan Abu Bakar adalah dalam membangun pranata sosial dibidang politik dan pertahanan keamanan. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari sikap keterbukaannya, yaitu memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada tokoh-tokoh sabahat untuk ikut membicarakan berbagai masalah sebelum ia mengambil keputusan  melalui forum musyawarah sebagai lembaga legislatif. Hal ini mendorong para tokoh sahabat, khususnya dan umumnya umat Islam, berpartisipasi aktif untuk melaksanakan berbagai keputusan yang dibuat.
Adapun tugas-tugas eksekutif ia delegasikan pada para sahabat, baik untuk pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan di Madinah maupun pemerintahan di daerah. Untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan di Madinah, ia mengangkat Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit sebagai Khatib (sekretaris) dan Abu Ubaidah sebagai bendaharawan untuk mengurus Baitul Mal. Dibidang kemiliteran, ia mengangkat panglima-panglima perang sebagimana disebut diatas. Untuk tugas yudikatif, ia mengangkat Umar bin Khatab sebagai hakim Agung.
Adapun urusan pemerintahan di luar kota Madinah, khalifah Abu Bakar membagi wilayah kekuasaan hukum negara Madinah menjadi beberapa provinsi, dan pada setiap provinsi ia menugaskan seorang amir atau wakil ( semacam gubernur );   a) Itab bin Asid, amir untuk Mekkah (diangkat pada masa Nabi); b) Utsman bin Abi Ash, amir untuk Thaif (diangkat pada masa Nabi); c) al-Muhajir bin Abi Umayah, amir untuk San’a; d) Ziad bin Labid, amir untuk Hadramaut; dan yang lainnya. Disamping sebagai pemimpin agama, amir juga sebagai hakim dan pelaksana tugas kepolisian. Namun demikian, setiap amir diberi hak untuk mengangkat pembantu-pembantunya, seperti katib, ‘amil dan sebagainya.

5. Peradaban Pada Masa Abu Bakar
Bentuk peradaban paling besar dan luar biasa dan merupakan satu kerja besar yang dilakukan pada masa pemerintahan Abu Bakar adalah penghimpunan al-Qur’an. Abu Bakar Ash-Shiddiq memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk menghimpun Al-Qur’an dari pelepah kurma, kulit binatang, dan dari hafalan kaum muslimin. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestarian Al-Qur’an setelah syahidnya beberapa orang penghafal al-Qur’an pada perang Yamamah. Umar-lah yang mengusulkan pertama kali penghimpunan al-Qur’an. Sejak itulah al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf. Masa inilah petama kali al-Qur’an di himpun.
Selain itu peradaban al-Qur’an yang terjadi pada praktek pemerintahan Abu Bakar terbagi beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut.
a.                   Dalam bidang pranata sosial ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial masyarakat. Untuk kemaslahatan rakyat, khalifah mengelola zakat, infak dan sedekah yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah (harta rampasan perang), dan jizyah dari warga negara non-muslim, sebagai sumber pendapatan Baitul Mal. Penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan negara ini dibagikan untuk kesejahteraan para tentara, gaji para pegawai negara, dan kepada rakyat yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan al-Qur’an.
b.                  Praktek pemerintahan Khalifah Abu Bakar terpenting lainnya ialah mengenai suksesi kepemimpinan atas inisiatifnya sendiri dengan menunjuk Umar bin Khattab untuk menggantikannya. Ada beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar untuk menunjuk atau mencalonkan Umar mejadi Khalifah. Faktor utama adalah kekhawatirannya akan terulang kembali peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Saidah yang nyaris menyult umat Islam ke jurang perpecahan, bila tidak menunjuk seseorang yang akan menggantikannya. Pada saat itu kaum Anshor dan Muhajirin saling mengklaim golongan yang berhak untuk menjadi Khalifah. Jika umat Islam terpecah dalam situasi demikian dalam memperebutkan jabatan khalifah, tentu akibatnya lebih fatal daripada menghadapi soal pemberontakan orang-orang murtad. Jadi, dengan adanya jalan penunjukkan itu, ia ingin ada kepastian yang akan menggantikannya sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi menimpa umat Islam. Artinya, dari segi politik dan pertahanan keamanan, Abu Bakar menghendaki adanya stabilitas politik dan keamanan bila pergantian pimpinan tiba saatnya. Mengapa pilihannya jatuh pada Umar? Karena menurut pendapatnya, Umar adalah sahabat senior yang mampu bijaksana dan memimpin  negara, Ia juga disegani oleh rakyat dan mempunyai sifat-sifat terpuji.
Dari penunjukkan Umar tersebut, ada beberapa hal yang perlu dicatat.
1.                  Abu Bakar dalam menunjuk Umar tidak meninggalkan asas musyawarah. Ia lebih dahulu mengadakan konsultasi untuk menetahui aspirasi rakyat melalui tokoh-tokoh kaum muslimin.
2.                  Abu Bakar tidak menunjuk salah seorang putranya atau kerabatnya, melainkan memilih seorang yang mempunyai nama dan mendapat tempat dihati masyarakat serta disegani oleh rakyat karena sifat-sifat terpuji yang dimilikinya.
3.                  Pengukuhan Umar menjadi khalifah sepeninggal Abu Bakar berjalan dengan baik dalam satu bai’at umum dan terbuka tanpa ada pertentangan diantara kaum muslimin, sehingga obsesi Abu Bakar untuk mempertahankan keutuhan umat Islam dengan cara penunjukkan itu terjamin.
Akhirnya, tatkala Abu Bakar merasa kematiannya sudah dekat dan sakitnya semakin parah, dia ingin untuk memberikan kekhilafahan kepada seseorang sehingga diharapkan manusia tidak banyak terlibat konflik, jatuhlah pilihannya kepada Umar bin Khatab. Dia meminta pertimbangan sahabat-sahabat senior dan mereka semua mendukung pilihan Abu Bakar. Dia menulis wasiat untuk itu, lalu Abu Bakar membai’at Umar. Beberapa hari setelah itu , Abu Bakar meninggal. Ini terjadi pada bulan Jumadil Akhir tahun 13 H/ 634 M.
Abu Bakar memanggil Utsman dan mendiktekan teks perintah yang menunjuk umar sebagai penggantinya. Beliau meninggal dunia pada hari Senin tanggal 23 Agustus 634 M. Salat jenazah dipimpin oleh Umar, dan beliau dimakamkan di rumah Aisyah, disamping makam Nabi. Beliau berusia 63 tahun ketika meninggal dunia, dan kekhilafahannya berlangsung selama 2 tahun 3 bulan 11 hari.




2.2  KHALIFAH UMAR IBN AL-KHATHTHAB
1. Kelahiran Umar ibn Al-Khaththab
            Umar ibn Al-Khaththab (583-644) yang memiliki nama lengkap Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abd Al-Uzza bin Ribaah bin Abdillah bin Qart bin Razail bin ‘adi bin Ka’ab bin Lu’ay adalah khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dia adalah salah seorang sahabat terbesar sepanjang sejarah sesudah Nabi Muhammad SAW. Kebesarannya terletak pada keberhasilannya, baik sebagai negarawan yang bijaksana maupun sebagai mujtahid yang ahli dalam membangun negara besar yang ditegakkan atas prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan persaudaraan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam banyak hal, Umar ibn Al-Khaththab dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif, bahkan genius.
            Peranan Umar dalam sejarah Islam masa permulaan merupakan yang paling menonjol karena perluasan wilayahnya, di samping kebijakan-kebijakan politiknya yang lain. Adanya penaklukan besar-besaran pada masa pemerintahan Umar merupakan fakta yang diakui kebenarannya oleh para sejarawan. Bahkan, ada yang mengatakan, kalau tidak karena penaklukan-penaklukan yang dilakukan pada masa Umar, Islam belum akan tersebar seperti sekarang.
2. Latar Belakang Kehidupan Umar Ibn Al-Khaththab
Umar ibn Al-Khaththab dilahirkan di Mekkah dari keturunan suku Quraisy yang terpandang dan terhormat. Ia lahir empat tahun sebelum terjadinya Perang Fijar atau sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Al-Khudari Bek, tiga belas tahun lebih muda dari Nabi Muhammad SAW.
Sebelum masuk Islam, Umar termasuk di antara kaum kafir Quraisy yang paling ditakuti oleh orang-orang yang sudah masuk Islam. Dia adalah musuh dan penentang Nabi Muhammad SAW yang paling ganas dan kejam, bahkan sangat besar keinginannya untuk membunuh Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Dia sering menyebar fitnah dan menuduh Nabi Muhammad sebagai penyair tukang tenung.
            Setelah Umar masuk agama Islam, pada bulan Dzulhijah enam tahun setelah kerasulan Nabi Muhammad SAW. Kepribadiannya bertolak belakang dengan keadaan sebelumnya. Dia berubah menjadi salah seorang yang gigih dan setia membela agama Islam. Bahkan, dia termasuk seorang sahabat yang terkemuka dan paling dekat dengan Nabi Muhammad SAW.
3. Pengangkatan Umar ibn Al-Khaththab Sebagai Khalifah
Abu Bakar sebelum meninggal pada tahun 634 M / 13 H menunjuk Umar ibn Al-Khaththab sebagai penggantinya. Kendatipun hal ini merupakan perbuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, tampaknya penunjukan ini bagi Abu Bakar merupakan hal yang wajar untuk dilakukan. Ada beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar untuk menunjuk Umar menjadi khalifah. Pertama, kekhawatirkan peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Sa’idah yang nyaris menyeret umat Islam ke jurang perpecahan akan terulang kembali, bila ia tidak menunjuk seorang yang akan menggantikannya. Kedua, kaum Anshar dan Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak menjadi khalifah. Ketiga, umat Islam pada saat itu baru saja selesai menumpas kaum murtad dan pembangkang. Sementara sebagian mujahidin sedang bertempur di luar kota Madinah melawan tentara Persia di satu pihak dan tentara Romawi di pihak lain.
Berangkat dari kondisi politik yang demikian, tampaknya tidak menguntungkan apabila pemilihan khalifah diserahkan sepenuhnya kepada umat secara langsung. Jika alternatif ini dipilih, besar kemungkinan akan timbul kontroversi berkepanjangan di kalangan umat Islam tentang siapa yang lebih proporsional menggantikan Abu Bakar. Kondisi demikin jelas akan melahirkan instabilitas politik yang akan membahayakan umat dan negara, mengingat bukan hal mustahil akan terjadi perang saudara dan kevakuman pimpinan. Hal ini akibatnya lebih fatal daripada pemberontakan orang-orang murtad.
Penunjukan Abu Bakar terhadap Umar yang dilakukan di saat ia mendadak jatuh sakit pada masa jabatannya merupakan suatu yang baru, tetapi harus dicatat bahwa penunjukan itu dilakukan dalam bentuk rekomendasi atau saran yang diserahkan pada persetujuan umat. Abu Bakar dalam menunjuk Umar sebagai pengganti tetap mengadakan musyawarah atau konsultasi terbatas dengan beberapa orang sahabat senior, antara lain Abdul Rahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Asid bin Hadhir, seorang tokoh Anshar. Konsultasi ini menghasilkan persetujuan atas pilihannya pada Umar secara objektif. Setelah itu, hasil konsultasi dengan beberapa orang sahabat senior itu masih ditawarkan kepada kaum muslimin yang sedang berkumpul di Masjid Nabawi. Apakah rela menerima orang yang dicalonkan sebagai penggantinya? Dalam pertemuan tersebut, kaum muslimin menerima dan menyetujui orang yang telah dicalonkan Abu Bakar. Setelah Abu Bakar mendapat persetujuan kaum muslimin atas pilihannya, ia memanggil Utsman bin Affan untuk menuliskan teks pengangkatan Umar (bai’at Umar).
Penulis menilai bahwa apa yang dilakukan Abu Bakar dalam suksesi kepemimpinan di negara Madinah pada saat itu merupakan langkah yang tepat. Dan apa yang dilakukan itu merupakan implementassi yang optimal terhadap prinsip musyawarah.
Sebagaimana Abu Bakar, Umar bin Khaththab begitu bai’at atau dilantik menjadi khalifah menyampaikan pidato penerimaan jabatannya di Masjid Nabi di hadapan kaum muslimin. Bagian dari pidatonya adalah: “Aku telah dipilih menjadi khalifah. Kerendahan hati Abu Bakar selaras dengan jiwanya yang terbaik di antara kamu dan lebih kuat terhadap kamu dan juga lebih mampu untuk memikul urusan kamu yang penting-penting. Aku diangkat dalam jabatan ini tidaklah sama dengan beliau. Andaikata aku tahu bahwa ada orang yang lebih kuat daripadaku untuk memikul jabatan ini, maka memberikan leherku untuk dipotong lebih aku sukai daripada memikul jabatan ini.” “Sesungguhnya Allah menguji kamu dengan aku dan mengujiku dengan kamu dan membiarkan aku memimpin kamu sesudah sahabatku. Maka demi Allah, bila ada suatu urusan dari urusan kamu dihadapkan kepadaku, maka janganlah urusan itu diurus oleh seseorang., selain aku dan janganlah seseorang menjauhkan diri dari aku, sehingga aku tidak dapat memilih orang yang benar dan memegang amanah. Jika mereka berbuat baik, tentu aku akan berbuat baik kepada mereka dan jika mereka berbuat jahat, maka tentu aku akan menghukum mereka.”
Pidato tersebut menggambarkan pandangan Umar bahwa jabatan khalifah adalah tugas yang berat sebagai amanah dan ujian. Antara pemimpin dan yang dipimpin harus terjalin hubungan timbal balik yang seimbang dalam melaksanakan tanggung jawab itu. Setiap urusan harus diurus dan diselesaikan oleh khalifah dengan baik. Khalifah harus memilih orang-orang yang benar dan bisa memegang amanah untuk membantunya. Hukum harus ditegakkan terhadap pelaku tanpa memandang dari pihak manapun.
Ekspansi Islam Masa Pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khaththab
            Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar (13 H./634 M.-23H./644 M.), sebagian besar ditandai oleh penaklukan-penaklukan untuk melebarkan pengaruh Islam ke luar Arab. Sejarah mencatat, Umar telah berhasil membebaskan negeri-negeri jajahan Imperium Romawi dan Persia yang dimulai dari awal pemerintahannya, bahkan sejak pemerintahan sebelumnya. Segala tindakan yang dilakukan untuk menghadapi dua kekuatan itu, jelas bukan hanya menyangkut kepentingan keagamaan saja, namun juga untuk kepentingan politik.
            Faktor-faktor yang melatarbelakangi timbulnya konflik antara umat Islam dengan bangsa Romawi dan Persia yang pada akhirnya mendorong umat Islam mengadakan penaklukan negeri Romawi dan Persia, serta negeri-negeri jajahannya karena: pertama, bangsa Romawi dan Persia tidak menaruh hormat terhadap maksud baik Islam; kedua, semenjak Islam masih lemah, Romawi dan Persia selalu berusaha menghancurkan Islam; ketiga, bangsa Romawi dan Persia sebagai negara yang subur dan terkenal kemakmurannya, tidak berkenan menjalin hubungan perdagangan dengan negeri-negeri Arab; keempat, bangsa Romawi dan Persia bersikap ceroboh menghasut suku-suku Badui untuk menentang pemerintahan Islam dan mendukung musuh-musuh Islam; dan kelima, letak geografis kekuasaan Romawi dan Persia sangat strategis untuk kepentingan keamanan dan pertahanan Islam.
            Tindakan pertama yang dilakukan Umar untuk menghadapi kekuatan Romawi-Persia adalah mengutus Saad Abi Waqqas untuk menaklukkan Persia dan menunjuk Abu Ubaidah bin Jarrah untuk menggantikan Khalid bin Walid sebagai panglima tertinggi yang sedang menghadapi kekuatan Romawi di Siria. Saad bin Abi Waqqas berangkat dari Madinah memimpin pasukan militer menuju Irak yang sedang dikuasai Persia. Pasukan yang dipimpin Saad bin Abi Waqqas berhasil menerobos pintu gerbang kekuatan Persia. Pertempuran antara keduanya tak dapat dielakkan lagi maka terjadi pertempuran lain di Qadasiyah pada tahun 635 M./14 H. Dalam pertempuran ini, pihak Persia berhasil dipukul mundur oleh kekuatan Islam-Arab yang dipimpin Saad bin Abi Waqqas.
            Pada tahun 637 M./16H., Persia bermaksud membalas kekalahannya, sehingga terjadi peperangan di Jakilah. Namun, maksud tersebut tidak dapat terwujud, bahkan pasukan Persia terdesak dan kota Hulwan dikuasai juga oleh pasukan Islam-Arab. Pertempuran terjadi di Nahawan pada tahun 642 M./21 H. Dalam pertempuran ini, pasukan Persia dapat ditundukkan secara mutlak. Dengan demikian, seluruh wilayah kekuasaan menjadi wilayah kekuasaan pemerintahan Islam.
            Kota Damaskus, salah satu pusat Siria yang paling penting jatuh di tangan pasukan Islam-Arab pada tahun 635 M./14 H. di bawah komando Abu Ubaidah. Ketika Romawi (Bizantium) memutuskan untuk melakukan serangan balasan secara besar-besaran terhadap para penyerang, pasukan Abu Ubaidah mampu menghadapinya dengan kekuatan penuh pada pertempuran Yarmuk pada tahun 16H./631 M.
            Mesir secara keseluruhan berada di bawah kekuasaan Islam-Arab setelah penyerahan Iskandariyah (alexandria), ibukota Mesir dan ibukota kedua bagi kekaisaran Romawi Timur pada tahun 642 M./21 H.
            Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Umar ibn Al-Khaththab, kekuatan dua adikuasa dunia dapat diruntuhkan. Hal ini sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan sejarah Islam.
4. Umar ibn Khaththab: Madinah Sebagai Negara Adikuasa  
            Semenjak penaklukan Persia dan Romawi, pemerintahan Islam menjadi adikuasa dunia yang memiliki wilayah kekuasaan luas, meliputi Semenanjung Arabia, Palestina, Siria, Irak, Persia dan Mesir.
            Umar ibn Al-Khaththab yang dikenal sebagai negarawan, administrator terampil dan pandai, dan seorang pembaharu membuat berbagai kebijakan mengenai pengelolaan wilayah kekuasaan yang luas, ia menata struktur kekuasaan dan administrasi pemerintahan negara Madinah berdasarkan semangat demokrasi.
            Untuk menunjang kelancaran administrasi dan operasional tugas-tugas eksekutif, Umar melengkapinya dengan beberapa jawatan, antara lain:
a. Dewan Al-Kharraj (Jawatan Pajak);
b. Dewan Al-Addats (Jawatan Kepolisian);
c. Nazar Al-Nafiat (jawatan Pekerjaan Umum);
d. Dewan Al-Jund (Jawatan Militer);
e. Bai’at Al-Mal (Lembaga Pembendaharaan Negara),
            Sebagaimana Rasulullah SAW dan Abu Bakar, Khalifah Umar juga sangat condong menanamkan semangat demokrasi secara intensif di kalangan rakyat, di kalangan para pemuka masyarakat, dan di kalangan para pejabat atau para administrator pemerintahan. Ia selalu mengadakan musyawarah dengan rakyat untuk memecahkan masalah-masalah umum dan kenegaraan yang dihadapi. Ia tidak bertindak sewenang-wenang dan memutuskan suatu urusan tanpa mengikutsertakan warga negara, baik warga negara muslim maupun warga negara non-muslim.
5. Peradaban Pada Masa Khalifah Umar
            Peradaban yang paling signifikan pada masa Umar, selain pola administratif pemerintahan, peperangan, dan sebagainya adalah pedoman dalam peradilan. Pemikiran Khalifah Umar bin Khaththab khususnya dalam peradilan yang masih berlaku sampai sekarang dikutip M. Fauzan, sebagai berikut.
Naskah Asas-Asas Hukum Acara
Dari Umar Amirul Mu’minin kepada Abdullah bin Qais, mudah-mudahan Allah melimpahkan kesejahteraan dan rahmat-Nya kepada engkau.
1. Kedudukan lembaga peradilan
Kedudukan lembaga peradilan di tengah-tengah masyarakat suatu negara hukumnya wajib (sangat urgen) dan sunnah yang harus diikuti/ dipatuhi.
2. Memahami kasus persoalan, baru memutuskannya
Pahami persoalan suatu kasus gugatan yang diajukan kepada Anda, dan ambillah keputusan setelah jelas persoalan mana yang benar dan mana yang salah. Karena sesungguhnya , suatu kebenaran yang tidak memperoleh perhatian hakim akan menajdi sia-sia.
3. Samakan pandangan anda kepada kedua belah pihak dan berlaku adillah
Dudukkan kedua belah pihak di majelis secara sama, pandangan mereka dengan pandangan yang sama, agar orang yang terhormat tidak melecehkan anda, dan orang yang lemah tidak merasa teraniaya.
4. Kewajiban pembuktian
Penggugat wajib membuktikan gugatannya, dan tergugat wajib membuktikan bantahannya.
5. Lembaga damai
Penyelesaian perkara secara damai dibenarkan, sepanjang tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
6. Penundaan persidangkan
Barang siapa menyatakan ada suatu hal yang tidak ada di tempatnya atau sesuatu keterangan, berilah tempo kepadanya untuk dilaluinya. Kemudian, jika dia memberi keterangan, hendaklah anda memberikan kepadanya haknya. Jika dia tidak mampu memberikan yang demikian, anda dapat memutuskan perkara yang merugikan haknya, karena yang demikian itu lebih mantap bagi keudzurannya (tak ada jalan baginya untuk mengatakan ini dan itu lagi), dan lebih menampakkan apa yang tersembunyi.
7. Kebenaran dan keadilan adalah masalah universal
Janganlah anda dihalangi oleh suatu putusan yang telah anda putuskan pada hari ini, kemudian anda tinjau kembali putusan itu lalu anda ditunjuk pada kebenaran untuk kembali pada kebenaran, karena kebenaran itu suatu hal yang qadim yang tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu. Kembali pada yang hak, lebih baik daripada terus bergelimang dalam kebatilan.
8. Kewajiban menggali hukum yang hidup dan melakukan penalaran logis.
Pergunakanlah kekuatan logis pada suatu kasus perkara yang diajukan kepada anda dengan menggali dan memahami hukum yang hidup, apabila hukum suatu perkara kurang jelas dalam Al-Quran dan Sunnah. Kemudian bandingkanlah permasalahan tersebut satu sama lain dan ketahuilah (kenalilah) hukum yang serupa, kemudian ambillah mana yang lebih mirip dengan kebenaran.
9. Orang Islam haruslah berlaku adil
Orang Islam dengan orang Islam lainnya haruslah adil, terkecuali orang yang sudah pernah menjadi saksi palsu atau pernah dijatuhi hukuman had atas orang yang diragukan tentang asal-usulnya, karena sesungguhnya Allah yang mengendalikan rahasia hamba dan menutupi hukuman atas mereka, terkecuali dengan ada keterangan dan sumpah.
10. Larangan bersidang ketika sedang emosional
Jauhilah diri anda dari marah, pikiran kacau, perasaan tidak senang, dan berlaku kasar terhadap para pihak. Karena kebenaran itu hanya berada di dalam jiwa yang tenang dan niat yang bersih.
             
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Peradaban Islam pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq yaitu sudah ada pemikiran untuk pengumpulan ayat Al-Quran menjadi sebuah Mushaf. Penghimpunan Al-Quran tersebut dilakukannya dengan cara mengumpulkan ayat al-quran yang berserakan di pelapah kurma, kulit binatang dan hafalan dari para penghafal Al-Quran dari kalangan umat Islam, karena kekhawatiran sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq akan hilangnya ayat Al-Quran sebab terbunuhnya para penghafal Al-Quran di medan perang.
Sedangkan Peradaban Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab itu lebih signifikan terhadap kepemerintahan negara pada masa itu, yaitu pola administratif pemerintahan peperangan, dan sebagainya dengan pedoman peradilan sehingga muncullah asas-asas yang dikeluarkan oleh sahabat Umar bin Khattab.











LITERATUR

1. Supriyadi, Dedi.2008.Sejarah Peradaban Islam.Bandung:Pustaka Setia.





0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda