Jumat, 18 Maret 2016

ILMU KALAM JABARIYAH & QADARIYAH




JABARIYAH & QADARIYAH
1. JABARIYAH
A. Pengertian Jabariyah
          Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghoh), itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-insan majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran. Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Sementara dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semua oleh qadha dan qadar Tuhan.
B. Sejarah Jabariyah
Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Namun, dalam perkembangannya, paham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya di antaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar.
Mengenai kemunculan paham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. 
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaranhidup. Akhirnya mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism.
Sebenarnya benih-benih paham al-jabar sudah muncul jauh sebelum tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini, salah satunya yaitu pada suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
            Paparan di atas menjelaskan bahwa bibit paham al-jabar telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, al-jabar sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah.
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit. Namun, tanpa pengaruh asing itu, paham al-jabar akan muncul juga di kalangan umat Islam. Di dalam Al-Quran sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham ini, misalnya quran surat Al-An’am ayat 111, quran surat Ash-Shaffat ayat 96, quran surat Al-Anfal ayat 17 dan quran surat Al-Insan ayat 30. 

C. Para Pemuka Jabariyah dan Doktrin-Doktrinnya
          Menurut Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Di antara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Di antara pemuka Jabariyah ekstrim adalah berikut ini.
a. Jahm bin Shofwan
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut.
1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
    kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini
    lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman,
    kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan (nahyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.
2. Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal itu, pendapatnya sama
    dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
4. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan
manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat
dengan indera mata di akhirat kelak.
            Dengan demikian, dalam beberapa hal, pendapat Jahm hampir sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan Al-Asy’ari.
b. Ja’d bin Dirham
            Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut:
1. Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat
disifatkan kepada Allah.
2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan
mendengar.
3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisitin). Menurut paham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah sebagai berikut ini.

a. An-Najjar
            Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori
Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najjar tidak lagi seperti
wayang yang gerakannya bergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan
dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat
Tuhan.
b. Adh-Dhirar
            Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkn perbuatan-perbuatannya.
            Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.

2. QADARIYAH
A. Pengertian Qadariyah
            Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa qadariyahdipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari penegrtian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
            Seharusnya, sebutan qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut paham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama qadariyah. Hadits itu berbunyi “Kaum Qadariyah adalah majussinya umat ini.

B. Sejarah Qadariyah
            Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.
            Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan paham qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil paham ini. Orang Irak yang dimaksud,sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan.
            Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa paham qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M. Hasan Al-Basri (642-728) adalah anak seorang tahanan di Irak. Ia lahir di Madinah, tetapi pada tahun 657, pergi ke Basrah dan tinggal di sana sampai akhir hayatnya.
            Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan ad-Dhimasyqi, menurut Watt, adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri. Kalau seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraaka kelak di akhirat, itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
            Paham takdir dalam pandangan qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam paham qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah.
            Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Akan tetapi, manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif. 

C. Doktrin-doktrinnya        
Dengan pemahaman seperti ini, kaum qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri. Banyak ayat Al-Quran yang dapat mendukung pendapat ini, salah satunya yaitu quran surat Al-Kahfi ayat 29, quran surat Ali Imran ayat 165 dan quran surat Ar-Ra’d ayat 11

KESIMPULAN:
Berdasarkan pemahaman kami sebagai pemakalah, kami dapat menarik kesimpulan bahwa antara jabariyah dan qodariyah adalah dua hal yang sangat berbeda. Jabariyah memberikan pemahaman bahwa setiap perbuatan manusia merupakan atas dasar kehendak Tuhan, meskipun di dalam makalah ini dijabarkan pula mengenai pembagian jabariyah. Jabariyah yaitu jabariyah ekstrim dan jabariyah moderat. Berbeda dengan jabariyah, qadariyah memiliki pemahaman bahwa setiap perbuatan manusia adalah murni atas dasar kehendak manusia tersebut, tidak ada campur tangan Tuhan di dalamnya.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda