Sabtu, 12 Maret 2016

MAKALAH PERADILAN ISLAM “ WILAYAH TAHKIM”



MAKALAH
PERADILAN ISLAM “ WILAYAH TAHKIM”
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
                               Mata Kuliah                     :  Peradilan Islam
                               Dosen pengampu              : Asep Saepullah, M.HI


   







Disusun Oleh Kelompok : 6
-          Fazar Sodik  ( 1415201019 )
-          Novi Fitriani(1415201039)
-          Rima Hermayani ( 1415201049 )
-          Khumaeroh ( 1415201029 )

Jurusan  Ahwal Al-Syakhsiyyah –A
Semester II

FAKULTAS SYARIAH DAN  EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON



2016
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

     Konflik adalah fenomena yang tidak dapat dihindarkan (invitable phenomenon) dalam kehidupan manusia karena ia memang merupakan bagian yang inheren dari eksistensi manusia sendiri. Mulai dari tingkat mikro, interpersonal sampai pada tingkat kelompok, organisasi, komunitas dan negara.
                 Permulaan sengketa biasanya dari suatu situasi adanya conflic of interest yang berasal dari berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan yang menguasai emosi para pihak.

                 Pada umumnya perkara perdata atau tindak pidana bahkan persengketaan  diselesaikan melalui jalur hukum (pengadilan) dan jalur kekeluargaan (perdamaian). Yang sekiranya suatu perkara tersebut dapat diselesaikan melalui jalur kekeluargaan, maka jalur itulah yang sebaiknya dipilih. Namun bila tidak bisa, maka jalur pengadilanlah yang dipilih dengan segala konsekuensinya.
                 Selain penyelesaian perkara melalui jalur hukum dan jalur kekeluargaan tersebut maka ada jalur penyelesaian perkara lain yang secara syar’i yang disebut dengan tahkim. Jalur tahkim ini  biasanya dipakai untuk menyelesaikan sengketa- sengketa perdata nasional dan internasional dengan harapan dapat memberikan putusan atau setidak-tidaknya sengketa diklarifikasi dengan mempersempit persoalan tersebut.




B.  Rumusan Masalah
      1.   Apa Pengertian Tahkim ?
      2.  Apa Landasan Hukum Tahkim ?
      3.    Bagaimana Kekuatan Putusan dalam Tahkim ?
      4.    Bagaimana Klasifikasi Tahkim (arbitrase).?
      5.   Apasajakah Bidang-bidang Tahkim ?

     C.  Tujuan Penulisan
     1.    Mengetahui pengertian Tahkim.
     2.    Mengetahui Landasan hukum Tahkim
          3.   Mengetahui fungsi Tahkim.
     4.    Mengetahui klasifikasi Tahkim (arbitrase).
     5.  Untuk mengetahui Bidang-bidang Tahkim.











BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Tahkim
       Tahkim dalam pengertian bahasa arab, ialah” menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu” Di dalam pengertian istilah ialah: dua orang atau lebih mentahkimkan kepada seseorang di antara mereka untuk di selesaikan sengketa dan diterapkan hukum syara atas sengketa mereka itu”maka kedudukan tahkim adalah lebih rendah daripada kedudukan peradilan. karena hakim berhak memeriksa saling gugat yang tak dapat dilakukan oleh seorang muhakkam, lantaran itu Abu Yusuf tidak membolehkan kita mengadakan sesuatu syara terhadap tahkim itu. selain dari pada itu hakim yang diberikan oleh muhkkam hanya berlaku bagi orang-orang yang menerima putusannya, sedangkan putusan hakim harus berlaku walaupun tidak diterima oleh orang yang bersangkutan.
       Bentuk tahkim ini telah dikenal oleh orang arab di massa jahiliyah. Hakamlah yang harus didengar pendapatnya. Apabila terjadi sesuatu sengket, maka para pihak pergi kepada hakim. Kebanyakan sengketa yang terjadi di kalangan orang arab adalah tentang, Siapa yang lebih pandai memuji golonganya dan menjelekan golongan lain[1].
       Sering benar anggota masyarakat apabila timbul sesuatu kejadian di antara mereka, atau menghadapi suatu hal yang musykil, pergi kepada orang-orang yang di anggap cerdik, tanpa tekanan undang-undang, untuk meminta pendapat. Mereka tidak mengetahui hukum agama terhadap peristiwa yang mereka hadapi itu. Dan mereka merasa tidak perlu untuk mengadukan perkara mereka kepada hakim yang haus mereka turuti putusannya, karena di samping peradilan ada lagi tahkim dan ifta[2].
       Menurut kamus Al-munjid bahwa tahkim adalah mengangkat seseorang sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan Salam Madkur menyatakan dalam kitab Al-Qadha Fil Islam bahwa tahkim secara terminologis berarti mengangkat seseorang atau lebih sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa guna menyelesaikan perkara yang mereka selisihkan secara damai. Sedangkan istilah sekarang tahkim  dapat diterjemahkan sebagai arbitrase, dan orang yang bertindak sebagai wasitnya disebut arbiter atau hakam[3].
2. Dasar Hukum Tahkim
Dasar hukum bagi tahkim, ialah firman Allah Q.S. An-Nisa ayat 35.
Artinya: ”Jika kamu khawatir ada persengketaan di antara keduanya , maka kirimlah seorang Hakam dari keluarga laki-laki dan seorang Hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri tersebut. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”.
QS. Al-Hujurat: 9
Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikalah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.( Q.S. Al-Hujurat Ayat 9)

Diriwayatkan oleh An Nasa’y bawhwa Abu syuriah menenangkan kepada Rasulullah saw. Bahwa kaumnya telah berselisih dalam suatu perkara, lalu mereka datang kepadanya dan diapun memutuskan perkara mereka. Putusan itu diterima oleh kedua belah pihak mendengar itu Nabi pun berkata: Alangkah baiknya!
Rasulullah saw, sendiri telah pernah menerima putusan sa’ad ibnu mu’adz mengenai bani Quraidhah.Demikian juga pertengkaran antara umar dengan ubay bin ka’ab tentang suatu suatu kebun kurma,perkaranya ditahkimkan oleh zaid bin tsabit.semua sahabat sepakat menerima putusan hakim dan membenarkan tahkim ini[4]. Ini semuanya menunjukkan, bahwa islam membenarkan lembaga tahkim ini. Di tinjau dari segi akal, dapat pula kita  terima tahkim ini karena orang-orang yang menyerahkan perkara kepada hakim mempunyai wewenang terhadap dirinya sendiri.

3.  Kekuatan Putusan dalam Tahkim (Arbitrase)

             Sifat dan bentuk dalam penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh lembaga tahkim lebih cenderung memilih cara kekeluargaan dan perdamaian. Dalam surah An-Nisa ayat 127 ditegaskan bahwa “berdamai itu lebih baik”. Mengajak berdamai berarti mengajak kepada suatu kebaikan. Model penyelesaian perkara seperti itu sudah menjadi komitmen para sahabat. Misalnya Umar Ibn Khathab, dalam setiap menyelesaikan perkara senantiasa selalu mengingatkan untuk mengutamakan “jalan damai”.
             Dalam satu dustur Risalat al-qadha ditegaskan: “perdamaian adalah boleh diantara umat islam, kecuali perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal. Ajaklah orang-orang yang berselisih itu hingga damai[5]”. Dalam kaitan itu, terdapat ungkapan yang menggambarkan tentang tingginya nilai perdamaian: Al-Shulhu Sayyid Al-ahkam.
Apabila cara pemdekatan dengan cara kekeluargaan dan perdamaian itu senantiasa ditawarkan dan menjadi model lembaga tahkim dalam menyelesaikan sengketa maka tidak akan terlihat adanya kesan yang menang dan yang kalah, yang dapat mewariskan karat dihati, iri dengki, dendam kesumat, kebencian dan permusuhan diatara mereka. Semua pihak sama-sama menjadi pihak yang menang karena diputuskan melalui kesepakatan para pihak secara bersama-sama. Dengan demikian, putusan lembaga arbitrase tampak lebih berasahabat, yang dapat menentramkan dan menyejukan hati para pihak.
Berbeda dengan produk peradilan resmi yang memiliki daya ikat dan daya paksa (fiat eksekusi), maka kekuatan produk lembaga tahkim itu menjadi isu perdebatan. Namun demikian, kebanyakan dari para ahli hukum islam (pengikut imam Hanafi, pengikut Imam Hambali, Pengikut Imam Maliki, dan mayoritas dari pengikut Imam Syafi’i) menganggap bahwa putusan lembaga tahkim secara langsung adalah mengikat kepada para pihak. Pengikatan itu sendiri telah terjadi ketika para pihak memilih dan mengangkat kuasa tahkim sebagai juru penengah untuk menyelesaikan sengketa mereka. Sedangkan menurut sebagia kecil pengikut Imam Syafi’i, produk lembaga tahkim itu tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, kecuali apabila mendapat persetujuan terlebih dahulu dari para pihak, shingga dalam pelaksanaannya lebih mendasar pada kerelaan hati dan kesadaran hukum para pihak.
        Keputusan hakam tidak sama dengan keputusan qodhi (hakim)
Putusan yang diberikan oleh hakam, harus dilaksanakan orang yang bersangkutan,menurut ahmad dan abu hanifah dan menurut suatu riwayat dari asyafi’y. Tetapi menurut riwayat yang lain, hukum yang diberikan oleh hakam itu tidak harus di turuti oleh yang bersangkutan. apabila seorang hakam telah memberikan putusan, kemudian mereka pergi lagi mengajukan perkaranya kepada hakam lain, lalu hakam yanglain ini memberikan putsan pula dengan tidak mengetahui adanya putusan yang pertma dan putusanya itu berlawanan dengan putusan yang pertama,maka apabila urusan itu diajukan kepada hakim,hendaklah hakim menerapkan hukum yang sesuai dengan pendapatnya.Apabila suatu perkara sudah diputuskan oleh seseorang hakam kemudian diajukan kepada hakim,maka hakim boleh membenarkan putuan hakam itu jika sesuai dengan mazhabnya. Dan boleh dia membatalkan putusanya itu jika berlawanan dengan mazhbanya[6].

4. Klasifikasi Tahkim (Arbitrase)
      Ditinjau dari segi jenisnya bahwa tahkim atau arbitrase dapat terbagi menjadi tiga jenis diantaranya adalah:

     1.    Arbitrase Nasional (umum)
Arbitrase nasional adalah arbitrase yang bersifat umum dan dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai jenis konflik akibat semua jenis kontrak perdata dan tunduk pada hukum nasional dalam suatu negara. Indonesia telah mensahkan atau memiliki sebuah  lembaga arbitrase nasional yang bernama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI dibentuk berdasarkan UU RI No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

2.    Arbitrase khusus
Arbitrase khusus adalah arbitrase yang menyelesaikan konflik secara khusus dalam bidang tertentu seperti bidang ekonomi syariah  atau keuangan, industri, olahraga dan sebagainya. Arbitrase khusus lebih spesifik pada arbitrase syariah yang menyelesaikan sengketa dalam bidang ekonomi syariah yang meliputi kegiatan ekonomi seperti bank syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syaria, bisnis syariah dan sebagainya. Majelis Ulama Indonesia mendirikan sebuah badan arbitrase muamalat indonesia (BAMUI) pada tanggal 21 oktober 1993. Kemudian berdasarkan keputusan MUI  nomor kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 desember 2003 BAMUI resmi dirubah menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang merupakan badan yang berada dibawah MUI. Dan keputusan BASYARNAS tidak dilaksanakan secara sukarela melainkan berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan Agama.

3.    Arbitrase internasional
Arbitrase untuk menyelesaikan konflik yang berdsarkan kontrak internasional dan tunduk pada hukum internasdional. Yaitu proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase di luar wilayah RI, dengan alasan untuk menghindari ketidak pastian yang berkaitan dengan proses pengadilan (litigasi)di pengadilan nasional
Contoh penggunaan arbitrase internasioanl adalah kasus kontrak antara pemertintah RI dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Ketika terjadi perselisiahan mengenai kontrak tersebut, pemerintah meminta UNCITRAL untuk menyelesaikan konflik tersebut, arbitrer UNCITRAL kemudian memutuskan NNT melakukan one prestasi[7].




5. Bidang –bidang tahkim
     Di dalam AL Mughni, ibnu Qudamah menerangkan,bahwa hukum yang ditetapkan oleh hukum berlaku dalam segala rupa perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qadzaf, dan qishash. Dalam hal-hal penguasa saja yang dapat memutuskanya. Pengikut-pengikut asy syafi’y mempunyai dua pendapat dalam masalah ini.
       Ibnu farhun dalam at tabshirah mengatakan,bahwa putusan hakim itu berlaku dalam bidang-bidang harta,tidak berlaku dalam bidang pidana, li’an,qishash,qadzaf,talak atau menentukan keturunan .
      Pihak-pihak yang mentahkimkan itu boleh menolak putusan hakim,sebelum hakim itu mengeluarkan putusanya.Hakim itu di pandang sebagai muqolid yang dituruti oleh kedua belah pihak karenya mereka boleh memakzulkan (memecat) mukalladnya,sebelum mukallad itu menjatuhkan hukum.tetapi apabila muqallad sudah menggambil putusanya,maka putusanya itu berlaku,tidak dapat dibatalkan lagi.
      Sebagai ulama-ulama berpendapat,bahwa tidak perlu adanya kerelaan dari pihak sampai pada pada ketika melaksanakan keterangan mereka masing-masing pada seorang hakim,kemudian salah seorang ingin menarik kembali pentahkimanya sebelum memutuskan hakim,maka hakim itu dapat terus memutuskan hukum dan saj hukumanya.
        Menurut pendapat sahnun, masing-masing pihak dapat menarik pentahkimanya, selama bulun ada putusan. Menurut pendapat yang rajih dalam mazhab Malik, tidak disyaratkan terus menerus adanya kerelaan dari kedua belah pihak sampai kepada diberikan hukum. Tetapi apabila kedua-duanya menarik pentahkimanya sebelum hukum ditetapkan maka penarikan itu di benarkan dan tak dapat lagi muhkam memutuskan perkara tersebut.
       Hakim boleh mendengar keterangan saksi dan dapat pula memutuskan perkara dengan nukul,juga dengan ikrar,karena semua itu adalah hukum yang sesuai dengan syara. Apabila pihak yang dikalahkan mengingkari adanya ikrar padahal keterangan cukup,kemudian dia menjauhkan perkaranya kepada hakim, maka hakim boleh menerima apa yang telah ditetapkan oleh hakim selama orang yang berperkara itu masih dalam mentahkimkan diri kepada sesuda dia tidak berhak lagi memutuskan perkara,oleh hakim tidak harus didengar perkataan hakim itu.








BAB III
KESIMPULAN

Tahkim dan arbitrase digunakan secara bergantian, karena pada dasarnya kedua kata tersebut memiliki kesamaan makna. Bilamana istilah tahkim berasal dari bahasa arab sedangkan arbitrase dari bahasa inggris (bahasa latin).
Tahkim adalah mengangkat seseorang sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
Jadi dapat dibandingkan antara pengertian tahkim menurut hukum islam dan arbitrase menurut kacamata para ahli jelaslah bahwa tahkim dan arbitrase tidak berbeda dan hakikatnya serta tujuannnya adalah sama. Namun secara tekstual, konsep hukum islam tentang tahkim hanya berlaku dalam masalah keluarga yaitu dalam persegketaan suami-istri. Sedangkan  konsep arbitrase menurut hukum positif berlaku untuk berbagai bidang komersial seperti halnya perdagangan, industri bahkan meluas hingga politik dan sebagainya.
Dasar hukum tahkim dalam Al-Qur’an untuk dijadikan landasan pelaksanaan tahkim atau arbitrase adalah QS. An-nisa : 35,  QS. Al-Hujurat: 9.
Adapun fungsinya adalah sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa sehingga mampu menjadi solusi bagi penyelesaian sengketa perdata nasional di Indonesia atau mampu menyelesaikan perselisihan atau sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian atau  islah.
Tahkim atau arbitrase dapat dibagi menjadi tiga dari segi jenisnya yaitu :
1.      Arbitrase umum (nasional)
2.      Arbitrase khusus (syariah)
3.      Arbitrase internasional



DAFTAR PUSTAKA

              Arifin, Zaenal Arbitrase Dalam Perspektif  Hukum Islam, dimuat dalam Majalah Himmah Vol. VII no. 18 Januari -April 2006
Mukhlas, Oyo Sunaryo, “Perkembangan Peradilan Islam”, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
T.M.Hasby Asy Shiddieqy Peradilan dan Hukum Acara Islam. PT. Pustaka Rizki Putra. 2001: Semarang.
Basiq Djalil. Peradilan Islam . 2012. Amzah.: Jakarta



[1] TM.Hasby Asy Shiddieqy Peradilan dan Hukum Acara Islam. 2001. Hal : 82
[2] Ibid Hal : 81
[3] Arifin, Zaenal Arbitrase Dalam Perspektif  Hukum Islam, dalam Majalah Himmah Vol. VII 18 Januari –April 2006
[4] Al-Mabsuth XXI : 62
[5] Makalah Peradilan Islam ( Sejarah Peradilan Islam pada masa Umar Bin Khatab)
[6] TM.Hasby Asy Shiddieqy Peradilan dan Hukum Acara Islam. 2001. Hal : 85
[7] Arifin, Zaenal Arbitrase Dalam Perspektif  Hukum Islam

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda