MAKALAH PERADILAN ISLAM “ WILAYAH TAHKIM”
MAKALAH
PERADILAN ISLAM “ WILAYAH TAHKIM”
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas
terstruktur
Mata
Kuliah : Peradilan Islam
Dosen pengampu : Asep Saepullah, M.HI
Disusun Oleh Kelompok : 6
-
Fazar
Sodik ( 1415201019 )
-
Novi Fitriani(1415201039)
-
Rima Hermayani
( 1415201049 )
-
Khumaeroh ( 1415201029 )
Jurusan Ahwal
Al-Syakhsiyyah –A
Semester II
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI
ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik adalah fenomena yang tidak dapat
dihindarkan (invitable phenomenon) dalam kehidupan manusia karena ia memang
merupakan bagian yang inheren dari eksistensi manusia sendiri. Mulai dari
tingkat mikro, interpersonal sampai pada tingkat kelompok, organisasi,
komunitas dan negara.
Permulaan sengketa biasanya dari suatu situasi
adanya conflic of interest yang berasal dari berbagai faktor individual maupun
pengaruh lingkungan yang menguasai emosi para pihak.
Pada umumnya perkara perdata atau tindak pidana
bahkan persengketaan diselesaikan melalui jalur hukum (pengadilan) dan
jalur kekeluargaan (perdamaian). Yang sekiranya suatu perkara tersebut dapat
diselesaikan melalui jalur kekeluargaan, maka jalur itulah yang sebaiknya
dipilih. Namun bila tidak bisa, maka jalur pengadilanlah yang dipilih dengan
segala konsekuensinya.
Selain penyelesaian perkara melalui jalur hukum
dan jalur kekeluargaan tersebut maka ada jalur penyelesaian perkara lain yang
secara syar’i yang disebut dengan tahkim. Jalur tahkim ini biasanya dipakai untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa perdata nasional dan internasional dengan harapan dapat memberikan
putusan atau setidak-tidaknya sengketa diklarifikasi dengan mempersempit
persoalan tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian
Tahkim ?
2. Apa Landasan Hukum Tahkim ?
3. Bagaimana Kekuatan Putusan dalam Tahkim ?
4. Bagaimana Klasifikasi Tahkim (arbitrase).?
5. Apasajakah Bidang-bidang Tahkim ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Tahkim.
2. Mengetahui Landasan hukum Tahkim
3. Mengetahui fungsi Tahkim.
4. Mengetahui klasifikasi Tahkim (arbitrase).
5. Untuk
mengetahui Bidang-bidang Tahkim.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Tahkim
Tahkim dalam pengertian
bahasa arab, ialah” menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan
itu” Di dalam pengertian istilah ialah: dua orang atau lebih mentahkimkan
kepada seseorang di antara mereka untuk di selesaikan sengketa dan diterapkan
hukum syara atas sengketa mereka itu”maka kedudukan tahkim adalah lebih rendah
daripada kedudukan peradilan. karena hakim berhak memeriksa saling gugat yang
tak dapat dilakukan oleh seorang muhakkam, lantaran itu Abu Yusuf tidak
membolehkan kita mengadakan sesuatu syara terhadap tahkim itu. selain dari pada
itu hakim yang diberikan oleh muhkkam hanya berlaku bagi orang-orang yang
menerima putusannya, sedangkan putusan hakim harus berlaku walaupun tidak
diterima oleh orang yang bersangkutan.
Bentuk tahkim ini telah
dikenal oleh orang arab di massa jahiliyah. Hakamlah yang harus didengar
pendapatnya. Apabila terjadi sesuatu sengket, maka para pihak pergi kepada
hakim. Kebanyakan sengketa yang terjadi di kalangan orang arab adalah tentang,
Siapa yang lebih pandai memuji golonganya dan menjelekan golongan lain[1].
Sering benar anggota
masyarakat apabila timbul sesuatu kejadian di antara mereka, atau menghadapi
suatu hal yang musykil, pergi kepada orang-orang yang di anggap cerdik, tanpa
tekanan undang-undang, untuk meminta pendapat. Mereka tidak mengetahui hukum
agama terhadap peristiwa yang mereka hadapi itu. Dan mereka merasa tidak perlu
untuk mengadukan perkara mereka kepada hakim yang haus mereka turuti
putusannya, karena di samping peradilan ada lagi tahkim dan ifta[2].
Menurut kamus Al-munjid bahwa tahkim
adalah mengangkat seseorang sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan Salam
Madkur menyatakan dalam kitab Al-Qadha Fil Islam bahwa tahkim secara
terminologis berarti mengangkat seseorang atau lebih sebagai wasit atau juru
damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa guna menyelesaikan perkara
yang mereka selisihkan secara damai. Sedangkan istilah sekarang tahkim
dapat diterjemahkan sebagai arbitrase, dan orang yang bertindak sebagai
wasitnya disebut arbiter atau hakam[3].
2. Dasar Hukum
Tahkim
Dasar hukum bagi tahkim, ialah firman Allah Q.S. An-Nisa ayat 35.
Artinya: ”Jika kamu khawatir ada persengketaan di antara keduanya , maka
kirimlah seorang Hakam dari keluarga laki-laki dan seorang Hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri tersebut.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”.
QS. Al-Hujurat: 9
Dan apabila ada dua golongan orang
mukmin berperang, maka damaikalah antara keduanya. Jika salah satu dari
keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah
(golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada
perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil.( Q.S. Al-Hujurat Ayat 9)
Diriwayatkan oleh An Nasa’y bawhwa Abu syuriah menenangkan kepada
Rasulullah saw. Bahwa kaumnya telah berselisih dalam suatu perkara, lalu mereka
datang kepadanya dan diapun memutuskan perkara mereka. Putusan itu diterima
oleh kedua belah pihak mendengar itu Nabi pun berkata: Alangkah baiknya!
Rasulullah saw, sendiri telah pernah menerima putusan sa’ad ibnu
mu’adz mengenai bani Quraidhah.Demikian juga pertengkaran antara umar dengan
ubay bin ka’ab tentang suatu suatu kebun kurma,perkaranya ditahkimkan oleh zaid
bin tsabit.semua sahabat sepakat menerima putusan hakim dan membenarkan tahkim
ini[4].
Ini semuanya menunjukkan, bahwa islam membenarkan lembaga tahkim ini. Di tinjau
dari segi akal, dapat pula kita terima
tahkim ini karena orang-orang yang menyerahkan perkara kepada hakim mempunyai
wewenang terhadap dirinya sendiri.
3. Kekuatan Putusan dalam Tahkim (Arbitrase)
Sifat dan bentuk dalam penyelesaian sengketa yang
dilakukan oleh lembaga tahkim lebih cenderung memilih cara kekeluargaan dan
perdamaian. Dalam surah An-Nisa ayat 127 ditegaskan bahwa “berdamai itu lebih
baik”. Mengajak berdamai berarti mengajak kepada suatu kebaikan. Model
penyelesaian perkara seperti itu sudah menjadi komitmen para sahabat. Misalnya
Umar Ibn Khathab, dalam setiap menyelesaikan perkara senantiasa selalu
mengingatkan untuk mengutamakan “jalan damai”.
Dalam satu dustur Risalat al-qadha ditegaskan:
“perdamaian adalah boleh diantara umat islam, kecuali perdamaian yang
menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal. Ajaklah
orang-orang yang berselisih itu hingga damai[5]”. Dalam
kaitan itu, terdapat ungkapan yang menggambarkan tentang tingginya nilai
perdamaian: Al-Shulhu Sayyid Al-ahkam.
Apabila cara pemdekatan
dengan cara kekeluargaan dan perdamaian itu senantiasa ditawarkan dan menjadi
model lembaga tahkim dalam menyelesaikan sengketa maka tidak akan terlihat
adanya kesan yang menang dan yang kalah, yang dapat mewariskan karat dihati,
iri dengki, dendam kesumat, kebencian dan permusuhan diatara mereka. Semua
pihak sama-sama menjadi pihak yang menang karena diputuskan melalui kesepakatan
para pihak secara bersama-sama. Dengan demikian, putusan lembaga arbitrase
tampak lebih berasahabat, yang dapat menentramkan dan menyejukan hati para
pihak.
Berbeda dengan produk
peradilan resmi yang memiliki daya ikat dan daya paksa (fiat eksekusi), maka
kekuatan produk lembaga tahkim itu menjadi isu perdebatan. Namun demikian,
kebanyakan dari para ahli hukum islam (pengikut imam Hanafi, pengikut Imam
Hambali, Pengikut Imam Maliki, dan mayoritas dari pengikut Imam Syafi’i) menganggap bahwa putusan lembaga tahkim secara langsung adalah
mengikat kepada para pihak. Pengikatan itu sendiri telah terjadi ketika para
pihak memilih dan mengangkat kuasa tahkim sebagai juru penengah untuk
menyelesaikan sengketa mereka. Sedangkan menurut sebagia kecil pengikut Imam
Syafi’i, produk lembaga tahkim itu tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan
hukum, kecuali apabila mendapat persetujuan terlebih dahulu dari para pihak,
shingga dalam pelaksanaannya lebih mendasar pada kerelaan hati dan kesadaran hukum para pihak.
Keputusan hakam tidak sama dengan
keputusan qodhi (hakim)
Putusan yang diberikan oleh hakam, harus dilaksanakan orang yang
bersangkutan,menurut ahmad dan abu hanifah dan menurut suatu riwayat dari
asyafi’y. Tetapi menurut riwayat yang lain, hukum yang diberikan oleh hakam itu
tidak harus di turuti oleh yang bersangkutan. apabila seorang hakam telah
memberikan putusan, kemudian mereka pergi lagi mengajukan perkaranya kepada
hakam lain, lalu hakam yanglain ini memberikan putsan pula dengan tidak
mengetahui adanya putusan yang pertma dan putusanya itu berlawanan dengan
putusan yang pertama,maka apabila urusan itu diajukan kepada hakim,hendaklah
hakim menerapkan hukum yang sesuai dengan pendapatnya.Apabila suatu perkara
sudah diputuskan oleh seseorang hakam kemudian diajukan kepada hakim,maka hakim
boleh membenarkan putuan hakam itu jika sesuai dengan mazhabnya. Dan boleh dia
membatalkan putusanya itu jika berlawanan dengan mazhbanya[6].
4. Klasifikasi Tahkim
(Arbitrase)
Ditinjau dari segi jenisnya bahwa tahkim atau arbitrase dapat terbagi
menjadi tiga jenis diantaranya adalah:
1. Arbitrase
Nasional (umum)
Arbitrase nasional adalah arbitrase yang
bersifat umum dan dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai jenis konflik
akibat semua jenis kontrak perdata dan tunduk pada hukum nasional dalam suatu negara.
Indonesia telah mensahkan atau memiliki sebuah lembaga arbitrase nasional
yang bernama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI dibentuk
berdasarkan UU RI No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa.
2.
Arbitrase
khusus
Arbitrase khusus adalah arbitrase yang
menyelesaikan konflik secara khusus dalam bidang tertentu seperti bidang
ekonomi syariah atau keuangan, industri, olahraga dan sebagainya.
Arbitrase khusus lebih spesifik pada arbitrase syariah yang menyelesaikan
sengketa dalam bidang ekonomi syariah yang meliputi kegiatan ekonomi seperti bank
syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi
syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syaria, bisnis syariah dan
sebagainya. Majelis Ulama Indonesia mendirikan sebuah badan arbitrase muamalat
indonesia (BAMUI) pada tanggal 21 oktober 1993. Kemudian berdasarkan keputusan
MUI nomor kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 desember 2003 BAMUI resmi
dirubah menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang merupakan
badan yang berada dibawah MUI. Dan keputusan BASYARNAS tidak dilaksanakan
secara sukarela melainkan berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan Agama.
3.
Arbitrase
internasional
Arbitrase untuk menyelesaikan konflik yang
berdsarkan kontrak internasional dan tunduk pada hukum internasdional. Yaitu
proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase di luar wilayah RI,
dengan alasan untuk menghindari ketidak pastian yang berkaitan dengan proses
pengadilan (litigasi)di pengadilan nasional
Contoh penggunaan arbitrase internasioanl
adalah kasus kontrak antara pemertintah RI dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT).
Ketika terjadi perselisiahan mengenai kontrak tersebut, pemerintah meminta
UNCITRAL untuk menyelesaikan konflik tersebut, arbitrer UNCITRAL kemudian
memutuskan NNT melakukan one prestasi[7].
5. Bidang
–bidang tahkim
Di dalam AL Mughni, ibnu
Qudamah menerangkan,bahwa hukum yang ditetapkan oleh hukum berlaku dalam segala
rupa perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qadzaf, dan qishash. Dalam
hal-hal penguasa saja yang dapat memutuskanya. Pengikut-pengikut asy syafi’y
mempunyai dua pendapat dalam masalah ini.
Ibnu farhun dalam at
tabshirah mengatakan,bahwa putusan hakim itu berlaku dalam bidang-bidang
harta,tidak berlaku dalam bidang pidana, li’an,qishash,qadzaf,talak atau
menentukan keturunan .
Pihak-pihak yang
mentahkimkan itu boleh menolak putusan hakim,sebelum hakim itu mengeluarkan
putusanya.Hakim itu di pandang sebagai muqolid yang dituruti oleh kedua belah
pihak karenya mereka boleh memakzulkan (memecat) mukalladnya,sebelum mukallad
itu menjatuhkan hukum.tetapi apabila muqallad sudah menggambil putusanya,maka
putusanya itu berlaku,tidak dapat dibatalkan lagi.
Sebagai ulama-ulama
berpendapat,bahwa tidak perlu adanya kerelaan dari pihak sampai pada pada
ketika melaksanakan keterangan mereka masing-masing pada seorang hakim,kemudian
salah seorang ingin menarik kembali pentahkimanya sebelum memutuskan hakim,maka
hakim itu dapat terus memutuskan hukum dan saj hukumanya.
Menurut pendapat
sahnun, masing-masing pihak dapat menarik pentahkimanya, selama bulun ada
putusan. Menurut pendapat yang rajih dalam mazhab Malik, tidak disyaratkan
terus menerus adanya kerelaan dari kedua belah pihak sampai kepada diberikan
hukum. Tetapi apabila kedua-duanya menarik pentahkimanya sebelum hukum ditetapkan
maka penarikan itu di benarkan dan tak dapat lagi muhkam memutuskan perkara
tersebut.
Hakim boleh mendengar
keterangan saksi dan dapat pula memutuskan perkara dengan nukul,juga dengan
ikrar,karena semua itu adalah hukum yang sesuai dengan syara. Apabila pihak
yang dikalahkan mengingkari adanya ikrar padahal keterangan cukup,kemudian dia
menjauhkan perkaranya kepada hakim, maka hakim boleh menerima apa yang telah
ditetapkan oleh hakim selama orang yang berperkara itu masih dalam mentahkimkan
diri kepada sesuda dia tidak berhak lagi memutuskan perkara,oleh hakim tidak
harus didengar perkataan hakim itu.
BAB III
KESIMPULAN
Tahkim dan
arbitrase digunakan secara bergantian, karena pada dasarnya kedua kata tersebut
memiliki kesamaan makna. Bilamana istilah tahkim berasal dari bahasa arab
sedangkan arbitrase dari bahasa inggris (bahasa latin).
Tahkim adalah
mengangkat seseorang sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan Istilah arbitrase
berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
Jadi dapat
dibandingkan antara pengertian tahkim menurut hukum islam dan arbitrase menurut
kacamata para ahli jelaslah bahwa tahkim dan arbitrase tidak berbeda dan
hakikatnya serta tujuannnya adalah sama. Namun secara tekstual, konsep hukum
islam tentang tahkim hanya berlaku dalam masalah keluarga yaitu dalam persegketaan
suami-istri. Sedangkan konsep arbitrase menurut hukum positif berlaku
untuk berbagai bidang komersial seperti halnya perdagangan, industri bahkan
meluas hingga politik dan sebagainya.
Dasar hukum
tahkim dalam Al-Qur’an untuk dijadikan landasan pelaksanaan tahkim atau
arbitrase adalah QS. An-nisa : 35, QS.
Al-Hujurat: 9.
Adapun fungsinya adalah sebagai salah
satu Alternatif Penyelesaian Sengketa sehingga mampu menjadi solusi bagi
penyelesaian sengketa perdata nasional di Indonesia atau mampu menyelesaikan perselisihan atau
sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian atau
islah.
Tahkim atau arbitrase
dapat dibagi menjadi tiga dari segi jenisnya yaitu :
1. Arbitrase umum (nasional)
2. Arbitrase khusus (syariah)
3. Arbitrase internasional
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zaenal Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam,
dimuat dalam Majalah Himmah Vol. VII no. 18 Januari -April 2006
Mukhlas, Oyo Sunaryo, “Perkembangan
Peradilan Islam”, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
T.M.Hasby
Asy Shiddieqy Peradilan dan Hukum Acara
Islam. PT. Pustaka Rizki Putra. 2001: Semarang.
Basiq
Djalil. Peradilan Islam . 2012.
Amzah.: Jakarta
[1]
TM.Hasby Asy Shiddieqy Peradilan dan
Hukum Acara Islam. 2001. Hal : 82
[2]
Ibid Hal : 81
[3] Arifin, Zaenal Arbitrase
Dalam Perspektif Hukum Islam, dalam Majalah Himmah Vol. VII 18
Januari –April 2006
[4]
Al-Mabsuth XXI : 62
[5]
Makalah Peradilan Islam ( Sejarah Peradilan Islam pada masa Umar Bin Khatab)
[6]
TM.Hasby Asy Shiddieqy Peradilan dan
Hukum Acara Islam. 2001. Hal : 85
[7] Arifin, Zaenal Arbitrase Dalam Perspektif
Hukum Islam
Label: Makalah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda