RESUME ULUMUL QURAN
RESUME
Ulumul Quran
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata
Kuliah “ Ulumul Quran”
Dosen
Pengampu: Akhmad Shodikin, M.HI
Nama
: Fazar
Sodik ( 1415201019 )
Jurusan
: Al-
Akhwal Al- Syakhsiyah – A
Semester
2
FAKULTAS
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
SYEKH
NURJATI CIREBON
TAHUN
2016
BAB I
PENGERTIAN
AL-QUR’AN
1. Pengertian Etimologi (bahasa)
Secara bahasa Al-Quran berasal dari
bahasa Arab , yaitu qaraa-yaqrau-quraanan yang berarti bacaan. Hal itu
dijelaskan sendiri oleh Al-Quran dalam Surah Al-Qiyamah ayat 17-18
Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya
itu (QS.
Al-Qiyamaah 17-18)
2. Pengertian secara terminology (istilah)
a. Menurut Manna’ Al-Qhattan
كَلَامُ
اللهِ المُنَزًّلُ عَلَي مُحَمَّدٍ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اَلْمُتَعَبَدُ بِتِلَاوَتِهِ
“Kitab
Allah yang diturnkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang membacanya
memperoleh pahala”.
b. Menurut Al-Jurjani
هُوَ
اَلْمُنَزَّلُ عَلَى الرَّسُولِ المَكْتُوبِ فِى الْمَصَاحِفِ اَلْمَنْقُولُ
عَنْهُ نَقْلًا مُتَوَاتِرًا بِلَا شُبْهَةٍ
“Yang
diturunkan kepada Rasulullah SAW., ditulis dalam mushaf, dan diriwayatkan
secara mutawattir tanpa keraguan”.
c. Menurut kalangan pakar ushul fiqh,
fiqh, dan bahasa Arab
كَلَامُ
اللهِ المُنَزَّلُ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ ص.م اَلْمُعْجِزِ اَلْمُتَعَبَّدُ
بِتِلَاوَتِهِ اَلْمَنْقُولُ بِالتَّوَاتُرِ اَلْمَكْتُوبِ فِى اَلْمَصَاحِفِ مِنْ
اَوَّلِ سُوْرَةٍ اَلْفَاتِحَةِ اِلَى سُورَةٍ النَّاسِ
“kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad. Lafadz-lafadznya mengandung
mukjizat, membacanya mempunyai ibadah, diturunkan secara mutawattir, dan
ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai pada surat
An-Nass”.
3. Sifat-Sifat Al-Qur’an
1. Al-quran
adalah ash-shirath al-mustaqim (jalan lurus)
Al-quran adalah jalan
yang lurus yang mengantarkan orang yang senantiasa membaca dan mengamalkannya
kepada surga yang penuh kenikmatan. Allah berfirman
“dan sungguh, inilah jalanku yang lurus maka
ikutilah” (QS. Al-an’am : 153).
2. Al-qur’an
adalah al-mizan
Al qur’an merupakan
tmbangan, ynag merupakan pemutus dan sebagai tmpat mengajukan hukum. Allah
berfieman
“kemudian jika kamu
berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah pada Allah dan rasul.”
(QS. An nisa : 59)
“kembali pada Allah ”
artinya adalah kembali pada Al qur’an, sedangkan “kembali pada rasul” adalah
kembali pada as-sunah.
3. Al-qur’an
adalah Al-‘urwatul wutsqa
Al-qur’an adalah tali
yang sangat kuat. Sebagaimana firman Allah
“Tidak ada paksaan dalam
(menganut) agama (islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan
yang benar dan jalan yang sesat thaghut dan beriman kepada Allah,maka sungguh
ia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus.
Allah maha mendengar, maha mengetahui.” (QS. Al-baqarah : 256).
4. Al-qur’an
adalah an-nural mubin
Al-qur’an merupakan kitab
yang diturunkan sebagai cahaya yang terang benderang. Al-qur’an disifati
sebagai cahaya, yakni sebagai cahaya yang bterang
“dan demikianlah kami wahyukan
kepadamu (Muhammad) ruh (Al-qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya engkau
belum mengenal apakah kitab (Al-qur’an) dan apakah iman itu, tetapi kami
jadikan Al-qur’an itu cahaya,dengan itu kami memberi siapa yang kami kehendaki
diantara hamba-hamba kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia)
kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-syura : 52).
4. Perbedaan Qur’an Dengan Hadits
Qudsi
1.
Ketika seseorang membaca hadits qudsi
hanya sekedar membaca, maka hal itu tidak dianggap sebagai ibadah kepada Allah.
Berbeda dengan Al-qur’an yang jika dibaca maka tiap huruf akan diganjar pahala.
Dan setiap hurufnya yang akan dibahas dengan 10 kebaikan.
2.
Allah menentang siapa yang membuat semisal
Al-qur’an dan hal ini tidak dijumpai pada hadits qudsi.
3.
Al-qur’an disyari’atkan dibaca di dalam
salat, dan shalat tidak sah jika tanpa bacaan qur’an (AL-Fatihah) dan hal ini
tidak ada dalam hadits qudsi.
4.
Mushaf Al-qur’an tidak boleh disentuh
kecuali oleh orang yang dalam keadaan suci (telah berwudhu) berbeda dengan
hadits qudsi yang jika dikumpulkan menjadi satu buku maka boleh menyentuh
walaupun dalam keadaan belum berwudhu.
5.
Al-qur’an tidak boleh dibaca oleh
seseorang yang sedang keadaan sedang junub (berhadas besar) ia hanya bisa
membacanya ketika mandi junub (mandi wajib) atas pendapat yang palin kuat. Dan
hal ini berbeda dengan hadits qudsi.
BAB
II
WAHYU
A. Arti Wahyu
Al-Wahy (wahyu) adalah
kata mashdar (infinitife). Yaitu; tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu dikatakan, “Wahyu ialah
informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus
ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain.
1. Ilham
al-fithri li al-insan
(ilham yang menjadi fitrah manusia). Seperti wahyu ibu Nabi Musa.
“ Dan kami wahyu kan (ilhamkan) kepada Ibu Musa; “
susuilah dia...” (Al-Qashash:7).
2. Ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu
kepada lebah
“ Dan Tuhan mu telah mewahyukan kepada lebah; buatlah
sarang dibukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan dirumah-rumah yang didirikan
manusia” (an-nahl:68).
3. Isyarat yang cepat melalui isyarat, seperti isyarat
Zakariah yang diceritakan Al-Qur’an
“ maka keluarlah dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada
mereka; hendaklah kamu bertasbih diwaktu pagi dan petang” (maryam:11)
4. apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatNya berupa
suatu perintah untuk dikerjakan
“ ingatlah ketika tuhan mu mewahyu kan kepada para
malaikat, sesungguhnya aku bersama kamu, maka teguhkan lah pendirian
orang-orang yang beriman”. (Al-Anfal:12)
C. Cara Penurunan Wahyu
Allah
menurunkan wahyu kepada para Rasul-Nya dengan dua cara; ada yang melalui
perantaraan dan ada yang tidak melalui perantaraan.
Yang pertama; melalui jibril, malaikat
membawa wahyu.
Yang kedua;
tanpa melalui perantaraan. Di antaranya ialah, mimpi yang benar dalam tidur.
A. Mimpi yang benar dalam tidur. Aisyah
Radhiyaallahu anha berkata, “sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada
rasulullah SAW adalah mimpi yang benar di dalam tidur. Beliau tidaklah melihat
mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari.”
Kondisi semacam
ini pada dasarnya sebagai persiapan bagi Rasulullah untuk menerima wahyu dalam
keadaan sadar, tidak tidur. Di antara alasan yang menunjukan bahwa mimpi yang
benar bagi para Nabi adalah wahyu yang
wajib diikuti, ialah mimpi Nabi Ibrahim agar menyembelih anaknya, Ismail.
B. Kalam Ilahi dari
balik tabir tanpa melalui perantara. Seperti yang terjadi pada Musa Alaihissalam, “dan tatkala Musa datang
untuk munajat dengan Kami diwaktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah
berfirman langsung kepadanya, Musa berkata, ‘Wahai Tuhan, tampakkanlah Diri-Mu
kepadaku agar aku dapat melihatmu’.” (Al-A’raf: 143)
“Dan Allah telah
berbicara kepada Musa secara langsung” (an-Nisaa: 164)
Demikian
menurut pendapat yang paling shahih, Allah juga pernah berbicara secara
langsung kepada Rasul kita Muhammad pada malam Isra’ Mi’raj
Penyampaian wahyu oleh Malaikat
kapada Rasul
Pertama; datang
dengan suatu suara seperti suara lonceng, yaitu suara yang amat kuat yang dapat
mempengaruhi kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima
pengaruh itu. cara ini adalah yang paling berat bagi Rasul. Apabila wahyu yang
turun pada Rasulullah dengan cara ini’ biasanya beliau mengumpulkan segala
kekuatan dan kesadaraanya untuk menerima, menghafal, dan memahaminya. Terkadang
suara itu seperti kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan di dalam
hadits,
“Apabila
Allah menghendaki suatu urusan dilangit, maka para malaikat memukul-mukulkan
sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemerincingnya mata rantai
di atas batu-batu yang licin” (HR. Al-Bukhari)
Kedua; Malaikat
menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki. Cara seperti ini lebih ringan
dari pada cara sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dan
pendengar. Beliau mendengarkan apa yang disampaikan pembawa wahyu itu dengan
senang, dan merasa tenang seperti seseorang yang sedang berhadapan dengan
saudaranya sendiri.
BAB
III
MAKKI
& MADANI
- Pengertian
Makki dan Madani
Secara bahasa Makki adalah
Mekkah dan Madani adalah Madinah. "Menurut
Syaih Sayyid Alawi Bin Sayyid Abbas Al-Maliki dalam bukunya Faidzul
Khobir Wa Kholasotu At-taqrin".
مَكِيَّةُ: مَانَزَلَ قَبْلَ الهِجْرَةِ وَإِنْ نَزَلَ بِغَيْرِ مَكَّةَ
مَدَنِيًّةُ: مَانَزَلَ بَعْدَ الهِجْرَةِ وَإِنْ نَزَلَ
بِغَيْرِالمَدِيْنَةِ
Makkiyah
adalah ayat atau surat yang diturunkan sebelum hijrah, sekalipun turun diselain
kota Makkah. Dan Madaniyah adalah ayat atau surat yang turun setelah hijrah,
sekalipun turun dikota Madinah.
Para
ulama berbeda pendapat tentang makkiyah dan madaniyyah, dan dalam hal ini
terbagi atas tiga pendapat, sebagai berikut :
Pertama, pendapat paling mashur,
surah makkiyah yaitu wahyu yang turun sebelum nabi Muhammad saw hijrah,
sedangkan surah madaniyah yaitu wahyu yang turun setelah hijrah nabi Muhammad
saw. Pada tahun fathul makkah atau tahun “haji
wada”, ketika Nabi sedang berada dikediaman atau sedang bepergian. Ini
adalah pendapat paling shahih dalam pengertian keduanya.
Kedua, Makkiyah yaitu wahyu yang
turun di makkah al mukarromah walaupun setelah hijrah, sedangkan madaniyyah
yaitu wahyu yang turun di madinah al-munawaroh.
Ketiga, Makkiyah yaitu wahyu yang
turun karena obyek pembicaraan yang dituju untuk penduduk makkah al mukaromah,
sedangkan madaniyyah yaitu wahyu yang turun karena obyek pembicaraan yang
dituju untuk penduduk madinah al- munawwaroh.
- Ciri-ciri Makki dan Madani
v
Ciri Makki:
1.
Setiap
surah yang di dalamnya mengandung “sajdah” maka surah itu Makki.
2.
Setiap
surah yang mengandung lafal kalla, berarti
Makki. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur’an. Dan
disebutkan sebanyak tiga puluh kali dalam lima belas surah.
3.
Setiap
surah yang mengandung ya ayyuhan nas dan
tidak mengandung ya ayyuhal lazina
amanur-ka u wasjudu. Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa
ayat tersebut adalah ayat Makki.
4.
Setiap
surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makki, kecuali
surah Baqarah.
5.
Setiap
surah yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makki, kecuali surah Baqarah.
6.
Setiap
surah yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lain-lainnya, adalah Makki,
kecuali surah Baqarah dan Ali Imran. Sedang surah Ra’d masih diperselisihkan.
Ini
adalah dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri tema dan gaya bahasa dapatlah
diringkas sebagai berikut:
1.
Ajakan
kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah,
kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan
siksaannya, surga dan nikmat-nya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan
menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
2.
Peletakan
dasar-dasar umum bagi perundnag-undangan dan akhlak mulia yang menajdi dasar
terbentuknya suatu masyarakat, dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam
penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, penguburan hidup-hidup
bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.
3.
Menyebutkan
kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga
mengetahui nasib orang yang mendusatakan sebelum mereka, dan sebagai hiburan
buat Rasulullah sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin
akan menang.
4.
Suku
katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya
singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan
hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah, seperti
surah-surah yang pendek-pendek. Dan perkecualiannya hanya sedikit.
v Ciri Madani
1.
Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madani.
2.
Setiap surah yang di dalamnya disebutkan
orang-orang munafik adalah Madani, kecuali surah al-‘Ankabut adalah Makki.
3.
Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog
dengan Ahli Kitab adalah Madani.
Ini dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri khas tema dan gaya bahasa
dapatlah diringkaskan sebagai berikut:
1.
Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad,
hubungan social, hubungan internasional, baik di waktu damai maupun perang,
kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
2.
Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi
dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai
penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap
kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa
dengki di antara sesame mereka.
3.
Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisis
kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
4.
Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan
gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.
C. Faedah Makki dan Madani
Faedah mengetahui
Makki dan Madani adalah dapat meembantu dalam menafsirkan Al-Qur’an,
meresapi gaya bahasa Al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode
berdakwah. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Al-Qur’an.
BAB
IV
ASBABUN
NUZUL
A.
Pengertian Asbabun Nuzul
Secara Etimologi, sebab Asbab An-Nuzul adalah
sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadi sesuatu. Meskipun segala fenomena
yang melatar belakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbabun nuzul, namun
dalam pemakaiannya, ungkapan asbabun nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan
sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an.
B.
Urgensi dan kegunaan Asban An-Nuzul
Dalam uraian yang lebih rinci Az-Zarqoni mengemukakan
urgensi Asbabun Nuzul dalam memahami Al-Qu’an, sebagai berikut:
1.
Membantu dalam
memahami sekaligus mengatasi ketidak
pastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-Qu’an.
2.
Mengatasi keraguan
ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3.
Menghususkan hukum
yang terkandung dalam hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an, bagi ulama
yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus
(khusus as-sabab) dan bukan lafadz yang bersifat umum.
4.
Mengidentifikasikan
pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an yang turun. Memudahkan untuk menghafal
dan memahami ayat, serta untuk mamntapkan wahyu kedalam hati yang
mendengarkannya.
BAB V
TURUNNYA AL QURAN
DENGAN TUJUH HURUF
A.
Kontroversi
pengertian tujuh huruf
Tujuh adalah angka yang terletak
antara enam dan delapan. Ahruf adalah jama’ dari harf. Tentu yang dimaksud
disini bukan tujuh huruf dalam arti huruf hijaiyah karena jelas-jelas al-qur’an
tidak hanya terdiri dari tujuh huruf saja.
Dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat diantaranya :
1. Tujuh
macam bahasa dari bahasa-bahasa arab mengenai satu makna
Dengan pengertian ini
jika bahasa mereka berbeda dalam mengungkapkan satu makna, makna al-qur’an pun
diturunkan.
2. Tujuh
macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dengan mana al-qur’an hal
Dengan pengertian bahwa
kata-kata dalam al-qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari tujuh macam
bahasa arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa quraisy.
3. Tujuh
wajah
Yaitu amr atau perintah,
nahyu atau larangan, wa’ad atau janji, wa’id atau ancaman, jadal atau
perdeatan, qashash atau kisah-kisah, dan matsal tujuh huruf yaitu perumpamaan.
4. Tujuh
macam hal yang di dalamnya terjadi perbedaan, yaitu:
a. Perbedaan
kata benda
b. Perbedaan
perubahan bentuk kata kerja dalam bentuk kata kerja masa lampau, masa sekarang
dan perintah.
c. I’rob
d. Perbedaan
dengan mengurangi dan menambah
e. Perbedaan
dengan mendahulukan dan mengakhirkan baik terjadi pada huruf maupun kata.
f. Perbedaan
dengan penggantian
g. Perbedaan
lahjah atau logat
5. Yang
dimaksud tujuh huruf bukanlah bilangan tujuh secara harfiyah tetapi bilangan
tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang arab.
Dengan demikian maka tujuh huruf adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan
al-qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang arab yang
telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi.
6. Yang
dimaksud tujuh huruf adalah qiraat tujuh
B.
Keberadaan
tujuh huruf dalam al-qur’an
Menurut ibn jarir
at-thabari bahwa mushaf utsman hanya mencakup satu huruf saja tersebut.
Tujuh huruf itu hanya ada pada masa rasulullah SAW, abu bakar dan umar dan awal
kekhalifahan Utsman, umat islam berpendapat perlunya menyatukan umat islam
untuk menuliskan al-qur’an dalam satu huruf saja dari tujuh huruf tersebut.
C.
Hikmah
Nuzul al-qur’an dalam tujuh huruf
a. Untuk
memudahkan bacaan dan hafalan
b. Bukti
kemukjizatannya al-qur’an dari aspek bahasa.
c. Kemukjizatan
qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya.
d. Qur’an
turun dengan tujuh huruf yang masing-masing huruf atau dialek tersebut ternyata
mengandung tambahan makna yang memperluas peluang penafsiran dan istinbath
hukum.
e. Bagi
orang yang tidak memahami secara baik bahasa arab dan sastranya maka keberadaan
tujuh huruf ini tidak akan terasa luar biasa.
BAB VI
TUJUH HURUF
A.
Dasar-Dasar
acuan nujul qur’an dalam tujuh huruf
Bangsa arab mempunyai
aneka ragam lahjah atau logat dalam berbahasa. Di antara semua logat tersebut,
lahjah quraisylah yang paling unggul.
B. Kontroversi pengertian tujuh huruf
Tujuh
adalah angka yang terletak antara enam dan delapan. Ahruf adalah jama’
dari harf. Tentu yang dimaksud disini bukan tujuh huruf dalam arti huruf
hijaiyah karena jelas-jelas al-qur’an tidak hanya terdiri dari tujuh huruf
saja.
Dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat diantaranya :
1. Tujuh
macam bahasa dari bahasa-bahasa arab mengenai satu makna
Dengan pengertian ini
jika bahasa mereka berbeda dalam mengungkapkan satu makna, makna al-qur’an pun
diturunkan.
2. Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab
dengan mana al-qur’an hal
Dengan pengertian bahwa
kata-kata dalam al-qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari tujuh macam
bahasa arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa quraisy.
3. Tujuh
wajah
Yaitu amr atau perintah, nahyu atau
larangan, wa’ad atau janji, wa’id atau ancaman, jadal atau perdeatan, qashash
atau kisah-kisah, dan matsal tujuh huruf yaitu perumpamaan.
4. Tujuh macam hal
yang di dalamnya terjadi perbedaan, yaitu:
h. Perbedaan
kata benda
i.
Perbedaan perubahan bentuk kata kerja
dalam bentuk kata kerja masa lampau, masa sekarang dan perintah.
j.
I’rob
k. Perbedaan
dengan mengurangi dan menambah
l.
Perbedaan dengan mendahulukan dan
mengakhirkan baik terjadi pada huruf maupun kata.
m. Perbedaan
dengan penggantian
n. Perbedaan
lahjah atau logat
5. Yang
dimaksud tujuh huruf bukanlah bilangan tujuh secara harfiyah tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang
kesempurnaan menurut kebiasaan orang arab
C. Hikmah Nuzul al-qur’an dalam tujuh huruf
1.
Untuk
memudahkan bacaan dan hafalan
4. Bukti
kemukjizatannya al-qur’an dari aspek bahasa.
5. Kemukjizatan
qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya.
6. Qur’an
turun dengan tujuh huruf yang masing-masing huruf atau dialek tersebut ternyata
mengandung tambahan makna yang memperluas peluang penafsiran dan istinbath
hukum.
7. Bagi
orang yang tidak memahami secara baik bahasa arab dan sastranya maka keberadaan
tujuh huruf ini tidak akan terasa luar biasa.
D.
Keberadaan tujuh huruf dalam al-qur’an
Menurut ibn jarir at-thabari bahwa mushaf utsman hanya mencakup
satu huruf saja tersebut.
Tujuh huruf itu hanya ada pada masa rasulullah SAW, abu bakar dan umar dan awal kekhalifahan Utsman, umat
islam berpendapat perlunya menyatukan umat islam
untuk menuliskan al-qur’an dalam satu huruf saja dari tujuh huruf tersebut.
BAB
VII
QIRA’AT
A. Pengertian
Qira’at
Qira’at
yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi
atau sebagaimana di ucapkan para
sahabat di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya. Qira’at al-Qur’an
diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW,baik secara fi’liyah maupun
taqririyah. Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at
dan adakalanya memiliki beberapa versi.
B. Syarat-Syarat Qira’at yang Muktabar
1. Kesesuaian qira’at tersebut dengan kaidah bahasa Arab
sekalipun dalam satu segi, baik fasih maupun lebih fasih. Sebab, qira’at adalah
Sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan
berdasarkan pada isnad, bukan rasio.
2. Qira’at sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani,
meskipun hanya sekadar mendekati saja. Sebab, dalam penulisannya mushaf-mushaf
itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm yang sesuai dengan
bermacam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui.
3. Qira’at itu sanadnya harus shahih, sebab qira’at
merupakan Sunnah yag diikuti yang didasarkan pada penukilan dan keshahihan riwayat.
Seringkali ahli bahasa Arab mengingkari dari aturan atau lemah menurut kaidah
bahasa, namun demikian para imam qira’at bertanggung jawab atas pengingkaran
mereka itu.
Itulah
beberapa patokan qira’at yang shahih. Apabila ketiga syarat diatas telah terpenuhi,
maka qira’at tersebut adalah qira’at yang shaih. Dan bila salah satu syarat
atau lebih tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah,
syadz atau batil.
C. Tingkatan Qira’at
1) Mutawatir, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh
sejumlah periwayat yang banyak dari sejumlah periwayat yang banyak pula
sehingga tidak mungkin mereka sepakat berdusta dalam tiap tingkatan sampai
kepada Rasul. Qira’at ini sah dibaca di dalam dan diluar shalat.
2) Masyhur, yaitu qira’at yang sanadnya sahih. Akan
tetapi, jumlah periwayatnya tidak sampai sebanyak periwayat mutawatir. Menurut
Al-Zarqani dan Shubhi Al-Shalih, kedua macam tingkatan mutawatir dan masyhur
sah bacaannya dan wajib meyakininya serta tidak mengingkari sedikit pun
daripadanya.
3) Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih. Akan tetapi
qira’at ini menyalahi tulisan mushaf Utsmani atau kaidah bahasa Arab atau tidak
masyhur seperti kemasyhuran tersebut diatas. Qira’at ini tidak sah dibaca
sebagai riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Hakim dari jalur Ashil Al-Jahdari dari
Abi Bakrah bahwa Nabi SAW.
4) Syaz, yaitu qira’at yang sanadnya tidak sahih, seperti
qira’at. Terjadinya kejanggalan pada qira’at nya.
5) Maudu’, yaitu qira’at yang dibangsakan kepada
seseorang tanpa dasar, seperti qira’at yang dihimpun oleh Muhammad bin Ja’far
Al-Khuza’i (wafat 408 H) dan dibangsakan kepada Abu Hanifah
6) Mudraj, yaitu qira’at yang didalamnya terdapat kata
atau kalimat tambahan yang biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat Al-Qur’an
seperti qira’at Sa’d bin Abi Waqqas.
D.
Macam Macam Qira’at
A.
Qira’at Sab’ah
Yaitu tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para
imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu
Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir
abad ke-2 hijrah.
B.
Qira’at Syazzat
Yaitu
qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi
menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima
eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya,
dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at
yang terkenal diakui kegunaannya
D. Kegunaan Mempelajari Qiraat
1) Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan
padahal Kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2) Meringankan
umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Qur’an.
3) Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan makna
(ijaz)-nya, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hokum syariat tertentu
tanpa perlu pengulangan lafazh.
4) Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global
dalam qira’at lain.
BAB VIII
METODE TAFSIR DAN CORAK PENAFSIRANNYA
A. METODE TAFSIR
Jika dilihat
dari segi cara bagaimana mufassir menjelaskan makna ayat-ayat Alquran, tafsir
dapat dikategorikan dalam beberapa macam,yaitu tahlili, muqaran, mujmal, dan
mawdhi’i.
1. Metode Tahlili (Metode Analisis)
Tafsir tahlili
(analisis) ialah menafsirkan al-Quran berdasarkan susunan ayat dan surah yang
terdapat dalam mushaf .
Seorang mufassir,
dengan menggunakan metode ini, menganalisis setiap kosakata atau lafal dari
aspek bahasa dan makna. Analisis dari aspek bahasa meliputi keindahan susunan
kalimat, ijaz, badi, ma’ani, bayan, haqiqat, majaz, kinayah, isti’arah, dan
lain sebagainya.dan dari aspek makna meliputi sasaran yang dituju oleh ayat,
hukum, akidah, moral, ,perintah, larangan, relevansi ayat sebelum dan
sesudahnya, hikmah dan lain sebagainya.
Metode tahlili
merupakan cara yang dipergunakan oleh para mufassir klasik masa lalu. Di antara
buku tafsir yang menggunakan metode tahlili adalah tafsir Al-Qurthubi, Ibnu
Katsir, Tfsir Ibnu Jarir, dsb.
Penafsiran dengan
metode ini dilakukan secara berurutan dan berkesinambungan terhadap ayat demi
ayat dan surah demi surah, sesuai dengan urutannya yang terdapat dalam mushaf
‘Utsmani yang ada sekarang. Mulai dari surah Al-fatihah sampai dengan akhir
surah An-Nas.
2. Muqarran (Metode Komparasi/Perbandingan)
Secara harfiah
muqaran berarti perbandingan. Secara istilah, tafsir muqaran adalah suatu
metode atau teknik menafsirkan Al-quran dengan cara memperbandingkan pendapat
seorang mufassir dengan mufassir lainnya mengenai tafsir sejumlah ayat.
Namun
menurut Baidan (1995: 65), metode komparatif (muqaran) adalah sbb:
a. Memperbandingkan teks (nash) ayat-ayat
Al-quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau
lebih; dan atau memiliki redaksi yang berbeda tentang satu kasus yang sama;
b. Memperbandingkan ayat Al-quran dengan
Hadis, yang sepintas terlihat bertentangan.
c. Memperbandingkan berbagai pendapat ulama
tafsir dalam menafsirkan suatu ayat.
Ada
beberapa tahap yang dilalui dalam menggunakan metode tafsir muqaran yang
memperbandingkan tafsir para ulama tersebut, yaitu sbb;
a. Menentukan sejumlah ayat yang akan
ditafsirkan.
b. Mengumpulkan dan mengemukakan pendapat
para ulama tafsir mengenai pengertian ayat tersebut, baik ulama salaf maupun
ulama khalaf dan baik berdasarkan riwayat maupun ijtihad.
c. Melakukan analisis perbandingan terhadap
pendapat-pendapat para mufassir itu dengan menjelaskan corak penafsiran,
kecenderungan dan pengaruh mazhab yang dianutnya yang tergambar dalam
penafsiran ayat tersebut.
d. Mementukan sikap dengan menerima
penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat
diterimanya. Jika tafsir muqaran itu
memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis, maka proses yang
perlu dilalui oleh myufassir adalah menentukan ayat-ayat atau hadis yan akan
diperbandingkan itu. Penentuan itu bisa didasarkan tema atau lainnya.
3. Ijmali (Metode Global)
Secara harfiah,
kata ijmali yang berarti menyebutkan sesuatu secara tidak terperinci. maka
tafsir ijmali dapat diartikan kepada penjelasan maksud ayat Alquran secara umum
dengan tidak memperincinya, atau penjelasan singkat tentang pesan-pesan Ilahi
yang terkandung dalam suatu ayat.
Tafsir ijmali
biasanya menjelasakan makna ayat secara berurutan; ayat demi ayat dan surah
demi surah sesuai dengan urutan dalam Mushaf Usmani. Dan terkadang mufassir
juga menjelaskan sebab turunnya ayat.
4. Mawdhu’i (metode tematik)
Tafsir dengan
metode mawdhi’i adalah menjelaskan konsep Alquran tentang suatu masalah/tema
tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Alquran yang membicarakan tema
tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara komprehensif,
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbabun
nuzulnya, munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para mufassir tentang
makna masing-masing ayat secara parsial, serta aspek-aspek lainnya yang
dipandang penting. Ayat-ayat tersbut dipandang sebagai satu kesatuan yang
integral membicarakan suatu tema (maudhu’) tertentu didukung oleh
berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasional.
Aplikasi
metode maudhu’i bisa dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini;
a. Menetapkan masalah yang akan dibahas.
b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan
masalah tersebut.
c. Menyusun urutan kronologis turunnya
ayat-ayat disertai pengetahuan tentang sebab nuzulnya.
d. Memahami korelasi (munasabah) ayat-ayat
tersebut dalam surahnya masing-masing.
e. Menyusun outline (kerangka
pembahasan yang sistematis)
f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis
yang relevan dengan masalah yang dikaji.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan
agar tidak terjadi kontradiksi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
l
Menghimpun
ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama;
l
Mengkompromikan
antara ayat yang ‘aam (umum) dengan ayat yang khash (khusus),
yang muthlaq dengan muqayyad atau ayat-ayat yang sepintas
kelihatan bertentangan; sehingga semuanya terfokus pada satu kesatuan konsep,
tanpa adanya perbedaan atau pemaksaan (Al-Farmawi dalam Quraisy Shihab, 1992:
114-115)
B.
CORAK TAFSIR
Corak penafsiran yang dimaksud
dalam hal ini adalahbidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini
terjadi karena mufassir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda,
sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin
ilmu yang dikuasainya. Di antarnya sbb:
a. Tafsir Shufi, yaitu suatu karya tafsir yang diwarnai oleh teori
atau pemikiran tasawuf, baik tasawuf teoritis (at-tasawuf an-nazhari) maupun
tasawuf praktis (at-tashawuf al-’amali).
v
Tasawuf
teoritis (at-tasawuf an-nazhari) adalah tasawuf teori yang didasarkan atas pengkajian dan teori-teori
tasawuf seperti wadah al-wujud, al-hulul, dan al-ittihad. Tasawuf nazari
selalu mengaitkan penafsirannya dengan teori tasawuf untuk mendukung teorinya
itu.
v
Tasawuf
praktis ( at-tasawuf al-’amali) adalah tasawuf yang didasarkan atas zuhud dan menghabiskan waktu dalam
rangka ketaatan kepada Allah, seperti kesungguhan dalam melawan hawa nafsu dan
berdzikir kepada Allah serta segala sesuatu yang dapat mendukung kedua hal
tersebut. Tafsir Shufi ‘amali selalu melihat suatu ayat dari keharusan
manusia berhati-hati dengan hawa nafsu dan keharusan banyak melakukan berdzikir
kepada Allah, walaupun secara zahir ayat itu tidak menunjukkan kepada hal
tersebut.
Nama-nama kitab tafsir yang
termasuk corak shufi ini adalah;
1. Tafsir Al-Quran Al-’Azhim, karya Sahl bin Abdillah Al-Tustari.
Dikenal dengan Tafsir Al-Tustary.
2. Haqaiq At-Tafsir, karya Abu Addirrahman al-silmi, terkenal
dengan sebutan tafsir Al-Silmi.
3. Al-Kasyf wa Al-bayan, karya Ahmad bin Ibrahim Al-Naisabury,
terkenal dengan nama Tafsir Al-Naisabury.
4. Tafsir Ibnu’Araby, karya Muhyidin Ibnu Araby, terkenal dengan
nama Tafsir Ibnu ‘Araby.
5. Ruh Al-Ma’ani, karya Shihabuddin Muhammad Al-alusy, terkenal
dengan nama tafsir Al-Alusiy (Al-Shabuny, 1985: 2001)
6. ‘Ara’is Al-Bayan fi Haqaiq Al-Quran karya Abu Muhammad Asy-Syirazy.
b. Tafsir Falsafi, yaitu suatu karya tafsir yang bercorak
filsafat. Artinya, dalam menjelaskan makna suatu ayat, mufassir mengutip atau
merujuk pendapat para filsuf. Persoalan yang diperbincangkan dalam suatu ayat
dimaknai atau didefinisikan berdasarkan pandangan para ahli filsafat. Makna
suatu ayat ditakwilkan sehingga sesuai dengan pandangan mereka.dari segi sumber
penafsiranya tafsir bercorak Falsafi ini termasuk tafsir bil Ra’yi.
Adapun
kitab-kitab tafsir yang termasuk kategori tafsir falsafi ini diantara lain :
1)
Tanzih
al-Qur’an ‘An Al-Matha’in, karya Al-Qadhi Abdul Jabbar. Tafsir ini bercorak
kalam aliran Mu’tazilah. Dilihat dari segi metode yang digunakannya, tafsir ini
termasuk tafsir ijmaly, sedangkan dari sumber penafsirannya ia lebih banyak
menggunakan akal, karena itu termasuk Tafsir bil Ra’yi.
2)
Mir’at
al-Anwar wa Misykat al-Asrar, karya Abdul Lathif. Dikenal denan tafsir
al-Misykat yang bercorak kalam aliran Syi’ah.
3)
Al-Tibyan
al-Jami’ li Kulli ‘Ulum al-Qur’an, karya Abu Ja’faar Muhammad bin al-Hasan bin
‘Ali Al-Thusi. Tafsir ini bercorak kalam aliran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.
c. Tafsir Fiqhi, yaitu penafsiran Al-Quran yang bercorak fiqh. Di
antara isi kandungan Al-Quran adalah penjelasan mengenai hukum, baik ibadah
maupun muamalah. Ketentuan-ketentuan hukum tersebut harus ditaati oleh manusia.
Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak Fiqh ini termasuk tafsir Bil
Ma’tsur.
Dalam penafsiran Al-Quran, ada
di antara mufassir yang lebih tertarik dengan ayat-ayat hukum tersebut,
sehingga ayat-ayat hukum menjadi perhatian dan komentar lebih banyak dari yang
lainnya. Bahkan ada di antara mereka yang menulis tafsir khusus ayat-ayat
hukum, seperti Muhammad Ali Ash-Shabuni dengan karyanya Rawa’i’u Al-bayan:
Tafsir ayat Al-Ahkam min Al-Quran, dan Al-Jashah dengan karyanya Ahkam
Al-Quran.
Nama-nama kitab tafsir yang
termasuk corak ini adalah;
- Ahkam Al-Quran karya
Al-Jashashah. Tafsir ini merupakan tafsir yang penting dalam mazhab
hanafi.
- Ahkam Al-Qur’an karya Ibnu ‘Arabi. Kitab tafsir ini menjadi rujukan penting dalam Ilmu
Fiqh bagi pengikut madzhab Maliki.
- Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an karya Imam al-Qurthubiy. Kitab ini dikenal dengan kitab al_qurthubiy,
yang pendapat-pendapatnya tentang fiqh cenderung pada pemikiran madzhab
Maliki.
- Tafsir ayat al-ahkam karya Muhammad al-Sayis.
- Tafsir Ayat al-Ahkam karya Manna’ Al-Qaththan.
- Tafsir Adhwa’ al-Bayyan, karya Syeikh Muhammad Al-Syinqiti.
d. Tafsir ‘Ilmi, yaitu penafsiran Alquran yang bercorak ilmu pengetahuan
modern, khususnya sains eksakta. Penafsiran Alquran yang bercorak ilmi ini
selalu mengutip teori-teori ilmiah yang berkaitan dengan ayat yang sedang
ditafsirkan. Dan dalam menjelaskannya, mufassir menggunakan pendekatan ilmiah
dengan menjelaskan ayat Alquran sesuai dengan teori ilmiah yang merupakan hasil
penemuan para ilmuan melalui penelitian yang mereka lakukan.Dari segi sumber
penafsirannya, tafsir bercorak ‘Ilmi ini juga termasuk Tafsir bil Ra’yi dan
contoh kitab tafsir yang bercorak ‘Ilmi adalah kitab tafsir
al-Jawahir, karya Thanthawi Jauhari.
e. Tafsir Al-adab Al-ijtima’i, isytilah al-adabi wa al-ijtima’i terdiri dari dua
kata yaitu al-adabi dan al-ijtima’i. Secara harfiah al-adabi bermakna sastra
dan kesopanan, sedangkan al-ijtima’i bermakna sosial. Dengan corak ini,
mufassir mengungkap keindahan dan keagungan Al-quran yang melipti aspek
Balaghah, mukjizat, makna, dan tujuannya.
Mufassir berusaha menjelaskan masalah-masalah
sosial yang diperbincangkan dalam alquran dan mengaitkan dengan fenomena sosial
yang terjadi di masyarakat. Ia berusaha memberikan memecahkan persoalan kemanusiaan
padaumumnya dan umat islam khususnya, sesuai dengan petunjuk alquran yang
dipahaminya. dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak al-Adab
al-Ijtima’i ini termasuk tafsir bil Ra’yi. Salah satu contoh tafsir yang
bercorak ini adalah Tafsir al-Manar, buah pikiran Syekh Muhammad Abduh yang
dibukukan oleh Muhammad Rasyid Ridha.
Label: Makalah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda