Jumat, 20 Mei 2016

RESUME ULUMUL QURAN

RESUME
Ulumul Quran
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah “ Ulumul Quran”
Dosen Pengampu: Akhmad Shodikin, M.HI


Logo-IAIN-Transparan.gif


Nama :  Fazar Sodik  ( 1415201019 )
Jurusan :  Al- Akhwal Al- Syakhsiyah – A
Semester 2




FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2016


BAB I
PENGERTIAN AL-QUR’AN

1.      Pengertian Etimologi (bahasa)
Secara bahasa Al-Quran berasal dari bahasa Arab , yaitu qaraa-yaqrau-quraanan yang berarti bacaan. Hal itu dijelaskan sendiri oleh Al-Quran dalam Surah Al-Qiyamah ayat 17-18
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu (QS. Al-Qiyamaah 17-18)

2.      Pengertian secara terminology (istilah)
a.       Menurut Manna’ Al-Qhattan
كَلَامُ اللهِ المُنَزًّلُ عَلَي مُحَمَّدٍ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمُتَعَبَدُ بِتِلَاوَتِهِ
“Kitab Allah yang diturnkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang membacanya memperoleh pahala”.
b.      Menurut Al-Jurjani
هُوَ اَلْمُنَزَّلُ عَلَى الرَّسُولِ المَكْتُوبِ فِى الْمَصَاحِفِ اَلْمَنْقُولُ عَنْهُ نَقْلًا مُتَوَاتِرًا بِلَا شُبْهَةٍ
“Yang diturunkan kepada Rasulullah SAW., ditulis dalam mushaf, dan diriwayatkan secara mutawattir tanpa keraguan”.
c.       Menurut kalangan pakar ushul fiqh, fiqh, dan bahasa Arab
كَلَامُ اللهِ المُنَزَّلُ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ ص.م اَلْمُعْجِزِ اَلْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ اَلْمَنْقُولُ بِالتَّوَاتُرِ اَلْمَكْتُوبِ فِى اَلْمَصَاحِفِ مِنْ اَوَّلِ سُوْرَةٍ اَلْفَاتِحَةِ اِلَى سُورَةٍ النَّاسِ
“kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad. Lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai ibadah, diturunkan secara mutawattir, dan ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai pada surat An-Nass”.
            3. Sifat-Sifat Al-Qur’an

1.      Al-quran adalah ash-shirath al-mustaqim (jalan lurus)
Al-quran adalah jalan yang lurus yang mengantarkan orang yang senantiasa membaca dan mengamalkannya kepada surga yang penuh kenikmatan. Allah berfirman
 “dan sungguh, inilah jalanku yang lurus maka ikutilah” (QS. Al-an’am : 153).

2.      Al-qur’an adalah al-mizan
Al qur’an merupakan tmbangan, ynag merupakan pemutus dan sebagai tmpat mengajukan hukum. Allah berfieman
“kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah pada Allah dan rasul.” (QS. An nisa : 59)
“kembali pada Allah ” artinya adalah kembali pada Al qur’an, sedangkan “kembali pada rasul” adalah kembali pada as-sunah.

3.      Al-qur’an adalah Al-‘urwatul wutsqa
Al-qur’an adalah tali yang sangat kuat. Sebagaimana firman Allah
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dan jalan yang sesat thaghut dan beriman kepada Allah,maka sungguh ia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar, maha mengetahui.” (QS. Al-baqarah : 256).

4.      Al-qur’an adalah an-nural mubin
Al-qur’an merupakan kitab yang diturunkan sebagai cahaya yang terang benderang. Al-qur’an disifati sebagai cahaya, yakni sebagai cahaya yang bterang
“dan demikianlah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya engkau belum mengenal apakah kitab (Al-qur’an) dan apakah iman itu, tetapi kami jadikan Al-qur’an itu cahaya,dengan itu kami memberi siapa yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-syura : 52).
            4. Perbedaan Qur’an Dengan Hadits Qudsi
1.      Ketika seseorang membaca hadits qudsi hanya sekedar membaca, maka hal itu tidak dianggap sebagai ibadah kepada Allah. Berbeda dengan Al-qur’an yang jika dibaca maka tiap huruf akan diganjar pahala. Dan setiap hurufnya yang akan dibahas dengan 10 kebaikan.
2.      Allah menentang siapa yang membuat semisal Al-qur’an dan hal ini tidak dijumpai pada hadits qudsi.
3.      Al-qur’an disyari’atkan dibaca di dalam salat, dan shalat tidak sah jika tanpa bacaan qur’an (AL-Fatihah) dan hal ini tidak ada dalam hadits qudsi.
4.      Mushaf Al-qur’an tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang dalam keadaan suci (telah berwudhu) berbeda dengan hadits qudsi yang jika dikumpulkan menjadi satu buku maka boleh menyentuh walaupun dalam keadaan belum berwudhu.
5.      Al-qur’an tidak boleh dibaca oleh seseorang yang sedang keadaan sedang junub (berhadas besar) ia hanya bisa membacanya ketika mandi junub (mandi wajib) atas pendapat yang palin kuat. Dan hal ini berbeda dengan hadits qudsi.

BAB II
WAHYU
A.    Arti Wahyu
                          Al-Wahy (wahyu) adalah kata mashdar (infinitife). Yaitu; tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu dikatakan, “Wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan cepat yang      khusus ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain.
1.      Ilham al-fithri li al-insan (ilham yang menjadi fitrah manusia). Seperti wahyu ibu Nabi  Musa.
“ Dan kami wahyu kan (ilhamkan) kepada Ibu Musa; “ susuilah dia...” (Al-Qashash:7).
2.      Ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah
“ Dan Tuhan mu telah mewahyukan kepada lebah; buatlah sarang dibukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan dirumah-rumah yang didirikan manusia” (an-nahl:68).
3.      Isyarat yang cepat melalui isyarat, seperti isyarat Zakariah yang diceritakan Al-Qur’an
“ maka keluarlah dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih diwaktu pagi dan petang” (maryam:11)
4.      apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatNya berupa suatu perintah untuk dikerjakan
“ ingatlah ketika tuhan mu mewahyu kan kepada para malaikat, sesungguhnya aku bersama kamu, maka teguhkan lah pendirian orang-orang yang beriman”. (Al-Anfal:12)

C.    Cara Penurunan Wahyu
        Allah menurunkan wahyu kepada para Rasul-Nya dengan dua cara; ada yang melalui perantaraan dan ada yang tidak melalui perantaraan.
           Yang pertama; melalui jibril, malaikat membawa wahyu.
           Yang kedua; tanpa melalui perantaraan. Di antaranya ialah, mimpi yang benar dalam tidur.
A.   Mimpi yang benar dalam tidur. Aisyah Radhiyaallahu anha berkata, “sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada rasulullah SAW adalah mimpi yang benar di dalam tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari.”
        Kondisi semacam ini pada dasarnya sebagai persiapan bagi Rasulullah untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar, tidak tidur. Di antara alasan yang menunjukan bahwa mimpi yang benar bagi para Nabi  adalah wahyu yang wajib diikuti, ialah mimpi Nabi Ibrahim agar menyembelih anaknya, Ismail.

B.    Kalam Ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara. Seperti yang terjadi pada Musa Alaihissalam, “dan tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami diwaktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata, ‘Wahai Tuhan, tampakkanlah Diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihatmu’.” (Al-A’raf: 143)
      “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung” (an-Nisaa: 164)
        Demikian menurut pendapat yang paling shahih, Allah juga pernah berbicara secara langsung kepada Rasul kita Muhammad pada malam Isra’ Mi’raj

Penyampaian wahyu oleh Malaikat kapada Rasul
        Pertama; datang dengan suatu suara seperti suara lonceng, yaitu suara yang amat kuat yang dapat mempengaruhi kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. cara ini adalah yang paling berat bagi Rasul. Apabila wahyu yang turun pada Rasulullah dengan cara ini’ biasanya beliau mengumpulkan segala kekuatan dan kesadaraanya untuk menerima, menghafal, dan memahaminya. Terkadang suara itu seperti kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan di dalam hadits,
           “Apabila Allah menghendaki suatu urusan dilangit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemerincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin” (HR. Al-Bukhari)
        Kedua; Malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki. Cara seperti ini lebih ringan dari pada cara sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dan pendengar. Beliau mendengarkan apa yang disampaikan pembawa wahyu itu dengan senang, dan merasa tenang seperti seseorang yang sedang berhadapan dengan saudaranya sendiri.
         
BAB III
MAKKI & MADANI

  1. Pengertian Makki dan Madani
Secara bahasa Makki adalah Mekkah dan Madani adalah Madinah. "Menurut Syaih Sayyid Alawi Bin Sayyid Abbas Al-Maliki dalam bukunya Faidzul Khobir  Wa Kholasotu  At-taqrin".
مَكِيَّةُ: مَانَزَلَ قَبْلَ الهِجْرَةِ وَإِنْ نَزَلَ بِغَيْرِ مَكَّةَ  
مَدَنِيًّةُ: مَانَزَلَ بَعْدَ الهِجْرَةِ وَإِنْ نَزَلَ بِغَيْرِالمَدِيْنَةِ
Makkiyah adalah ayat atau surat yang diturunkan sebelum hijrah, sekalipun turun diselain kota Makkah. Dan Madaniyah adalah ayat atau surat yang turun setelah hijrah, sekalipun turun dikota Madinah.
Para ulama berbeda pendapat tentang makkiyah dan madaniyyah, dan dalam hal ini terbagi atas tiga pendapat, sebagai berikut :
Pertama, pendapat paling mashur, surah makkiyah yaitu wahyu yang turun sebelum nabi Muhammad saw hijrah, sedangkan surah madaniyah yaitu wahyu yang turun setelah hijrah nabi Muhammad saw. Pada tahun fathul makkah atau tahun “haji wada”, ketika Nabi sedang berada dikediaman atau sedang bepergian. Ini adalah pendapat paling shahih dalam pengertian keduanya.
Kedua, Makkiyah yaitu wahyu yang turun di makkah al mukarromah walaupun setelah hijrah, sedangkan madaniyyah yaitu  wahyu yang turun di madinah al-munawaroh.
Ketiga, Makkiyah yaitu wahyu yang turun karena obyek pembicaraan yang dituju untuk penduduk makkah al mukaromah, sedangkan madaniyyah yaitu wahyu yang turun karena obyek pembicaraan yang dituju untuk penduduk madinah al- munawwaroh.

  1. Ciri-ciri Makki dan Madani
v  Ciri Makki:
1.      Setiap surah yang di dalamnya mengandung “sajdah” maka surah itu Makki.
2.      Setiap surah yang mengandung lafal kalla, berarti Makki. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur’an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh kali dalam lima belas surah.
3.      Setiap surah yang mengandung ya ayyuhan nas dan tidak mengandung ya ayyuhal lazina amanur-ka u wasjudu. Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makki.
4.      Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makki, kecuali surah Baqarah.
5.      Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makki, kecuali surah Baqarah.
6.      Setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lain-lainnya, adalah Makki, kecuali surah Baqarah dan Ali Imran. Sedang surah Ra’d masih diperselisihkan.

Ini adalah dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri tema dan gaya bahasa dapatlah diringkas sebagai berikut:

1.      Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmat-nya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
2.      Peletakan dasar-dasar umum bagi perundnag-undangan dan akhlak mulia yang menajdi dasar terbentuknya suatu masyarakat, dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.


3.      Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendusatakan sebelum mereka, dan sebagai hiburan buat Rasulullah sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.
4.      Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah, seperti surah-surah yang pendek-pendek. Dan perkecualiannya hanya sedikit.

v  Ciri Madani
1.      Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madani.
2.      Setiap surah yang di dalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah Madani, kecuali surah al-‘Ankabut adalah Makki.
3.      Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan Ahli Kitab adalah Madani.
Ini dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri khas tema dan gaya bahasa dapatlah diringkaskan sebagai berikut:
1.      Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan social, hubungan internasional, baik di waktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
2.      Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki di antara sesame mereka.
3.      Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisis kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
4.      Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.
C.  Faedah Makki dan Madani
Faedah mengetahui Makki dan Madani adalah dapat meembantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, meresapi  gaya bahasa Al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Al-Qur’an.

BAB IV
ASBABUN NUZUL
A.    Pengertian Asbabun Nuzul
Secara Etimologi, sebab Asbab An-Nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadi sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbabun nuzul, namun dalam pemakaiannya, ungkapan asbabun nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an.

B.     Urgensi dan kegunaan Asban An-Nuzul
Dalam uraian yang lebih rinci Az-Zarqoni mengemukakan urgensi Asbabun Nuzul dalam memahami Al-Qu’an, sebagai berikut:
1.      Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidak  pastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-Qu’an.
2.      Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3.      Menghususkan hukum yang terkandung dalam hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an, bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus (khusus as-sabab) dan bukan lafadz yang bersifat umum.
4.      Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an yang turun. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk mamntapkan wahyu kedalam hati yang mendengarkannya.


BAB  V
TURUNNYA AL QURAN DENGAN TUJUH HURUF

A.    Kontroversi pengertian tujuh huruf
            Tujuh adalah angka yang terletak antara enam dan delapan. Ahruf adalah jama’ dari harf. Tentu yang dimaksud disini bukan tujuh huruf dalam arti huruf hijaiyah karena jelas-jelas al-qur’an tidak hanya terdiri dari tujuh huruf saja.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat diantaranya :

1.      Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab mengenai satu makna
Dengan pengertian ini jika bahasa mereka berbeda dalam mengungkapkan satu makna, makna al-qur’an pun diturunkan.

2.      Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dengan mana al-qur’an hal
Dengan pengertian bahwa kata-kata dalam al-qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari tujuh macam bahasa arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa quraisy.

3.      Tujuh wajah
Yaitu amr atau perintah, nahyu atau larangan, wa’ad atau janji, wa’id atau ancaman, jadal atau perdeatan, qashash atau kisah-kisah, dan matsal tujuh huruf yaitu perumpamaan.

4.      Tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi perbedaan, yaitu:
a.       Perbedaan kata benda
b.      Perbedaan perubahan bentuk kata kerja dalam bentuk kata kerja masa lampau, masa sekarang dan perintah.
c.       I’rob
d.      Perbedaan dengan mengurangi dan menambah
e.       Perbedaan dengan mendahulukan dan mengakhirkan baik terjadi pada huruf maupun kata.
f.       Perbedaan dengan penggantian
g.      Perbedaan lahjah atau logat
5.      Yang dimaksud tujuh huruf bukanlah bilangan tujuh secara harfiyah tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang arab. Dengan demikian maka tujuh huruf adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan al-qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi.

6.      Yang dimaksud tujuh huruf adalah qiraat tujuh

B.     Keberadaan tujuh huruf dalam al-qur’an

Menurut ibn jarir  at-thabari bahwa mushaf utsman hanya mencakup satu huruf saja tersebut. Tujuh huruf itu hanya ada pada masa rasulullah SAW, abu bakar dan umar dan awal kekhalifahan Utsman, umat islam berpendapat perlunya menyatukan umat islam untuk menuliskan al-qur’an dalam satu huruf saja dari tujuh huruf tersebut.

C.    Hikmah Nuzul al-qur’an dalam tujuh huruf

a.       Untuk memudahkan bacaan dan hafalan
b.      Bukti kemukjizatannya al-qur’an dari aspek bahasa.
c.       Kemukjizatan qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya.
d.      Qur’an turun dengan tujuh huruf yang masing-masing huruf atau dialek tersebut ternyata mengandung tambahan makna yang memperluas peluang penafsiran dan istinbath hukum.
e.       Bagi orang yang tidak memahami secara baik bahasa arab dan sastranya maka keberadaan tujuh huruf ini tidak akan terasa luar biasa.



BAB VI
TUJUH HURUF
A.    Dasar-Dasar acuan nujul qur’an dalam tujuh huruf
Bangsa arab mempunyai aneka ragam lahjah atau logat dalam berbahasa. Di antara semua logat tersebut, lahjah quraisylah yang paling unggul.
B.  Kontroversi pengertian tujuh huruf
Tujuh adalah angka yang terletak antara enam dan delapan. Ahruf adalah jama’ dari harf. Tentu yang dimaksud disini bukan tujuh huruf dalam arti huruf hijaiyah karena jelas-jelas al-qur’an tidak hanya terdiri dari tujuh huruf saja.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat diantaranya :
1.      Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab mengenai satu makna
Dengan pengertian ini jika bahasa mereka berbeda dalam mengungkapkan satu makna, makna al-qur’an pun diturunkan.
2.       Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dengan mana al-qur’an hal
Dengan pengertian bahwa kata-kata dalam al-qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari tujuh macam bahasa arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa quraisy.
3.      Tujuh wajah
Yaitu amr atau perintah, nahyu atau larangan, wa’ad atau janji, wa’id atau ancaman, jadal atau perdeatan, qashash atau kisah-kisah, dan matsal tujuh huruf yaitu perumpamaan.
4.   Tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi perbedaan, yaitu:
h.      Perbedaan kata benda
i.        Perbedaan perubahan bentuk kata kerja dalam bentuk kata kerja masa lampau, masa sekarang dan perintah.
j.        I’rob
k.      Perbedaan dengan mengurangi dan menambah
l.        Perbedaan dengan mendahulukan dan mengakhirkan baik terjadi pada huruf maupun kata.
m.    Perbedaan dengan penggantian
n.      Perbedaan lahjah atau logat
5.    Yang dimaksud tujuh huruf bukanlah bilangan tujuh secara harfiyah tetapi bilangan        tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang arab
      C. Hikmah Nuzul al-qur’an dalam tujuh huruf
1.       Untuk memudahkan bacaan dan hafalan
4.      Bukti kemukjizatannya al-qur’an dari aspek bahasa.
5.      Kemukjizatan qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya.
6.      Qur’an turun dengan tujuh huruf yang masing-masing huruf atau dialek tersebut ternyata mengandung tambahan makna yang memperluas peluang penafsiran dan istinbath hukum.
7.      Bagi orang yang tidak memahami secara baik bahasa arab dan sastranya maka keberadaan tujuh huruf ini tidak akan terasa luar biasa.
D.          Keberadaan tujuh huruf dalam al-qur’an
            Menurut ibn jarir  at-thabari bahwa mushaf utsman hanya mencakup satu huruf saja             tersebut. Tujuh huruf itu hanya ada pada masa rasulullah SAW, abu bakar dan umar          dan awal kekhalifahan Utsman, umat islam berpendapat perlunya menyatukan umat     islam untuk menuliskan al-qur’an dalam satu huruf saja dari tujuh huruf tersebut.












BAB VII
QIRA’AT
A.     Pengertian Qira’at
Qira’at yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau   sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya. Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW,baik secara fi’liyah maupun taqririyah. Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.
B.      Syarat-Syarat Qira’at yang Muktabar
1.      Kesesuaian qira’at tersebut dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik fasih maupun lebih fasih. Sebab, qira’at adalah Sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan rasio.
2.      Qira’at sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun hanya sekadar mendekati saja. Sebab, dalam penulisannya mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm yang sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui.
3.      Qira’at itu sanadnya harus shahih, sebab qira’at merupakan Sunnah yag diikuti yang didasarkan pada penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa Arab mengingkari dari aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qira’at bertanggung jawab atas pengingkaran mereka itu.
Itulah beberapa patokan qira’at yang shahih. Apabila ketiga syarat diatas telah terpenuhi, maka qira’at tersebut adalah qira’at yang shaih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau batil.
   
C.      Tingkatan Qira’at
1)      Mutawatir, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak dari sejumlah periwayat yang banyak pula sehingga tidak mungkin mereka sepakat berdusta dalam tiap tingkatan sampai kepada Rasul. Qira’at ini sah dibaca di dalam dan diluar shalat.
2)    Masyhur, yaitu qira’at yang sanadnya sahih. Akan tetapi, jumlah periwayatnya tidak sampai sebanyak periwayat mutawatir. Menurut Al-Zarqani dan Shubhi Al-Shalih, kedua macam tingkatan mutawatir dan masyhur sah bacaannya dan wajib meyakininya serta tidak mengingkari sedikit pun daripadanya.
3)    Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih. Akan tetapi qira’at ini menyalahi tulisan mushaf Utsmani atau kaidah bahasa Arab atau tidak masyhur seperti kemasyhuran tersebut diatas. Qira’at ini tidak sah dibaca sebagai riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Hakim dari jalur Ashil Al-Jahdari dari Abi Bakrah bahwa Nabi SAW.
4)    Syaz, yaitu qira’at yang sanadnya tidak sahih, seperti qira’at. Terjadinya kejanggalan pada qira’at nya.
5)    Maudu’, yaitu qira’at yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar, seperti qira’at yang dihimpun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Khuza’i (wafat 408 H) dan dibangsakan kepada Abu Hanifah
6)    Mudraj, yaitu qira’at yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat Al-Qur’an seperti qira’at Sa’d bin Abi Waqqas.
D.    Macam Macam Qira’at
                    A.            Qira’at Sab’ah
Yaitu tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah.
                    B.            Qira’at Syazzat
Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya
D.       Kegunaan Mempelajari Qiraat
1)      Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya  kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan padahal Kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2)       Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Qur’an.
3)      Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan makna (ijaz)-nya, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hokum syariat tertentu tanpa perlu pengulangan lafazh.
4)      Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.

BAB VIII
METODE TAFSIR DAN CORAK PENAFSIRANNYA

A. METODE TAFSIR
Jika dilihat dari segi cara bagaimana mufassir menjelaskan makna ayat-ayat Alquran, tafsir dapat dikategorikan dalam beberapa macam,yaitu tahlili, muqaran, mujmal, dan mawdhi’i.

1. Metode Tahlili (Metode Analisis)
Tafsir tahlili (analisis) ialah menafsirkan al-Quran berdasarkan susunan ayat dan surah yang terdapat dalam mushaf .
Seorang mufassir, dengan menggunakan metode ini, menganalisis setiap kosakata atau lafal dari aspek bahasa dan makna. Analisis dari aspek bahasa meliputi keindahan susunan kalimat, ijaz, badi, ma’ani, bayan, haqiqat, majaz, kinayah, isti’arah, dan lain sebagainya.dan dari aspek makna meliputi sasaran yang dituju oleh ayat, hukum, akidah, moral, ,perintah, larangan, relevansi ayat sebelum dan sesudahnya, hikmah dan lain sebagainya.
Metode tahlili merupakan cara yang dipergunakan oleh para mufassir klasik masa lalu. Di antara buku tafsir yang menggunakan metode tahlili adalah tafsir Al-Qurthubi, Ibnu Katsir, Tfsir Ibnu Jarir, dsb.
Penafsiran dengan metode ini dilakukan secara berurutan dan berkesinambungan terhadap ayat demi ayat dan surah demi surah, sesuai dengan urutannya yang terdapat dalam mushaf ‘Utsmani yang ada sekarang. Mulai dari surah Al-fatihah sampai dengan akhir surah An-Nas.


2.   Muqarran (Metode Komparasi/Perbandingan)
Secara harfiah muqaran berarti perbandingan. Secara istilah, tafsir muqaran adalah suatu metode atau teknik menafsirkan Al-quran dengan cara memperbandingkan pendapat seorang mufassir dengan mufassir lainnya mengenai tafsir sejumlah ayat.

Namun menurut Baidan (1995: 65), metode komparatif (muqaran) adalah sbb:
a. Memperbandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih; dan atau memiliki redaksi yang berbeda tentang satu kasus yang sama;
b. Memperbandingkan ayat Al-quran dengan Hadis, yang sepintas terlihat bertentangan.
c. Memperbandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan suatu ayat.

Ada beberapa tahap yang dilalui dalam menggunakan metode tafsir muqaran yang memperbandingkan tafsir para ulama tersebut, yaitu sbb;

a. Menentukan sejumlah ayat yang akan ditafsirkan.
b. Mengumpulkan dan mengemukakan pendapat para ulama tafsir mengenai pengertian ayat tersebut, baik ulama salaf maupun ulama khalaf dan baik berdasarkan riwayat maupun ijtihad.
c. Melakukan analisis perbandingan terhadap pendapat-pendapat para mufassir itu dengan menjelaskan corak penafsiran, kecenderungan dan pengaruh mazhab yang dianutnya yang tergambar dalam penafsiran ayat tersebut.
d. Mementukan sikap dengan menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterimanya.  Jika tafsir muqaran itu memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis, maka proses yang perlu dilalui oleh myufassir adalah menentukan ayat-ayat atau hadis yan akan diperbandingkan itu. Penentuan itu bisa didasarkan tema atau lainnya.




3. Ijmali (Metode Global)
Secara harfiah, kata ijmali yang berarti menyebutkan sesuatu secara tidak terperinci. maka tafsir ijmali dapat diartikan kepada penjelasan maksud ayat Alquran secara umum dengan tidak memperincinya, atau penjelasan singkat tentang pesan-pesan Ilahi yang terkandung dalam suatu ayat.
Tafsir ijmali biasanya menjelasakan makna ayat secara berurutan; ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutan dalam Mushaf Usmani. Dan terkadang mufassir juga menjelaskan sebab turunnya ayat.

4. Mawdhu’i (metode tematik)
Tafsir dengan metode mawdhi’i adalah menjelaskan konsep Alquran tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Alquran yang membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara komprehensif, mendalam dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbabun nuzulnya, munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para mufassir tentang makna masing-masing ayat secara parsial, serta aspek-aspek lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat tersbut dipandang sebagai satu kesatuan yang integral membicarakan suatu tema (maudhu’) tertentu didukung oleh berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasional.
Aplikasi metode maudhu’i bisa dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini;
a. Menetapkan masalah yang akan dibahas.
b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c. Menyusun urutan kronologis turunnya ayat-ayat disertai pengetahuan tentang sebab nuzulnya.
d. Memahami korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.
e. Menyusun outline (kerangka pembahasan yang sistematis)
f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan masalah yang dikaji.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan agar tidak terjadi kontradiksi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
l  Menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama;
l  Mengkompromikan antara ayat yang ‘aam (umum) dengan ayat yang khash (khusus), yang muthlaq dengan muqayyad atau ayat-ayat yang sepintas kelihatan bertentangan; sehingga semuanya terfokus pada satu kesatuan konsep, tanpa adanya perbedaan atau pemaksaan (Al-Farmawi dalam Quraisy Shihab, 1992: 114-115)

B.   CORAK TAFSIR

Corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalahbidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufassir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya. Di antarnya sbb:
a.     Tafsir Shufi, yaitu suatu karya tafsir yang diwarnai oleh teori atau pemikiran tasawuf, baik tasawuf teoritis (at-tasawuf an-nazhari) maupun tasawuf praktis (at-tashawuf al-’amali).
v   Tasawuf teoritis (at-tasawuf an-nazhari) adalah tasawuf teori yang didasarkan atas pengkajian dan teori-teori tasawuf seperti wadah al-wujud, al-hulul, dan al-ittihad. Tasawuf nazari selalu mengaitkan penafsirannya dengan teori tasawuf untuk mendukung teorinya itu.
v   Tasawuf praktis ( at-tasawuf al-’amali) adalah tasawuf yang didasarkan atas zuhud dan menghabiskan waktu dalam rangka ketaatan kepada Allah, seperti kesungguhan dalam melawan hawa nafsu dan berdzikir kepada Allah serta segala sesuatu yang dapat mendukung kedua hal tersebut. Tafsir Shufi ‘amali selalu melihat suatu ayat dari keharusan manusia berhati-hati dengan hawa nafsu dan keharusan banyak melakukan berdzikir kepada Allah, walaupun secara zahir ayat itu tidak menunjukkan kepada hal tersebut.
Nama-nama kitab tafsir yang termasuk corak shufi ini adalah;
1. Tafsir Al-Quran Al-’Azhim, karya Sahl bin Abdillah Al-Tustari. Dikenal dengan Tafsir Al-Tustary.
2. Haqaiq At-Tafsir, karya Abu Addirrahman al-silmi, terkenal dengan sebutan tafsir Al-Silmi.
3. Al-Kasyf wa Al-bayan, karya Ahmad bin Ibrahim Al-Naisabury, terkenal dengan nama Tafsir Al-Naisabury.
4. Tafsir Ibnu’Araby, karya Muhyidin Ibnu Araby, terkenal dengan nama Tafsir Ibnu ‘Araby.
5. Ruh Al-Ma’ani, karya Shihabuddin Muhammad Al-alusy, terkenal dengan nama tafsir Al-Alusiy (Al-Shabuny, 1985: 2001)
6. ‘Ara’is Al-Bayan fi Haqaiq Al-Quran karya Abu Muhammad Asy-Syirazy.

b. Tafsir Falsafi, yaitu suatu karya tafsir yang bercorak filsafat. Artinya, dalam menjelaskan makna suatu ayat, mufassir mengutip atau merujuk pendapat para filsuf. Persoalan yang diperbincangkan dalam suatu ayat dimaknai atau didefinisikan berdasarkan pandangan para ahli filsafat. Makna suatu ayat ditakwilkan sehingga sesuai dengan pandangan mereka.dari segi sumber penafsiranya tafsir bercorak Falsafi ini termasuk tafsir bil Ra’yi.
Adapun kitab-kitab tafsir yang termasuk kategori tafsir falsafi ini diantara lain :
1)                      Tanzih al-Qur’an ‘An Al-Matha’in, karya Al-Qadhi Abdul Jabbar. Tafsir ini bercorak kalam aliran Mu’tazilah. Dilihat dari segi metode yang digunakannya, tafsir ini termasuk tafsir ijmaly, sedangkan dari sumber penafsirannya ia lebih banyak menggunakan akal, karena itu termasuk Tafsir bil Ra’yi.
2)                       Mir’at al-Anwar wa Misykat al-Asrar, karya Abdul Lathif. Dikenal denan tafsir al-Misykat yang bercorak kalam aliran Syi’ah.
3)                       Al-Tibyan al-Jami’ li Kulli ‘Ulum al-Qur’an, karya Abu Ja’faar Muhammad bin al-Hasan bin ‘Ali Al-Thusi. Tafsir ini bercorak kalam aliran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.

c. Tafsir Fiqhi, yaitu penafsiran Al-Quran yang bercorak fiqh. Di antara isi kandungan Al-Quran adalah penjelasan mengenai hukum, baik ibadah maupun muamalah. Ketentuan-ketentuan hukum tersebut harus ditaati oleh manusia. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak Fiqh ini termasuk tafsir Bil Ma’tsur.
Dalam penafsiran Al-Quran, ada di antara mufassir yang lebih tertarik dengan ayat-ayat hukum tersebut, sehingga ayat-ayat hukum menjadi perhatian dan komentar lebih banyak dari yang lainnya. Bahkan ada di antara mereka yang menulis tafsir khusus ayat-ayat hukum, seperti Muhammad Ali Ash-Shabuni dengan karyanya Rawa’i’u Al-bayan: Tafsir ayat Al-Ahkam min Al-Quran, dan Al-Jashah dengan karyanya Ahkam Al-Quran.
Nama-nama kitab tafsir yang termasuk corak ini adalah;
  1. Ahkam Al-Quran karya Al-Jashashah. Tafsir ini merupakan tafsir yang penting dalam mazhab hanafi.
  2. Ahkam Al-Qur’an karya Ibnu ‘Arabi. Kitab tafsir ini menjadi rujukan penting dalam Ilmu Fiqh bagi pengikut madzhab Maliki.
  3. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an karya Imam al-Qurthubiy. Kitab ini dikenal dengan kitab al_qurthubiy, yang pendapat-pendapatnya tentang fiqh cenderung pada pemikiran madzhab Maliki.
  4. Tafsir ayat al-ahkam karya Muhammad al-Sayis.
  5. Tafsir Ayat al-Ahkam karya Manna’ Al-Qaththan.
  6. Tafsir Adhwa’ al-Bayyan, karya Syeikh Muhammad Al-Syinqiti.

d. Tafsir ‘Ilmi, yaitu penafsiran Alquran yang bercorak ilmu pengetahuan modern, khususnya sains eksakta. Penafsiran Alquran yang bercorak ilmi ini selalu mengutip teori-teori ilmiah yang berkaitan dengan ayat yang sedang ditafsirkan. Dan dalam menjelaskannya, mufassir menggunakan pendekatan ilmiah dengan menjelaskan ayat Alquran sesuai dengan teori ilmiah yang merupakan hasil penemuan para ilmuan melalui penelitian yang mereka lakukan.Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak ‘Ilmi ini juga termasuk Tafsir bil Ra’yi dan contoh kitab tafsir yang bercorak ‘Ilmi adalah kitab tafsir al-Jawahir,  karya Thanthawi Jauhari.

e. Tafsir Al-adab Al-ijtima’i, isytilah al-adabi wa al-ijtima’i terdiri dari dua kata yaitu al-adabi dan al-ijtima’i. Secara harfiah al-adabi bermakna sastra dan kesopanan, sedangkan al-ijtima’i bermakna sosial. Dengan corak ini, mufassir mengungkap keindahan dan keagungan Al-quran yang melipti aspek Balaghah, mukjizat, makna, dan tujuannya.
Mufassir berusaha menjelaskan masalah-masalah sosial yang diperbincangkan dalam alquran dan mengaitkan dengan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Ia berusaha memberikan memecahkan persoalan kemanusiaan padaumumnya dan umat islam khususnya, sesuai dengan petunjuk alquran yang dipahaminya. dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak al-Adab al-Ijtima’i ini termasuk tafsir bil Ra’yi. Salah satu contoh tafsir yang bercorak ini adalah Tafsir al-Manar, buah pikiran Syekh Muhammad Abduh yang dibukukan oleh Muhammad Rasyid Ridha.


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda