Senin, 04 April 2016

Perkembangan hadist


BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Membicarakan sejarah petumbuhan dan perkembangan hadis yang bertujuan untuk mengangkat fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa rasulullah SAW. Kemudian secara periodic pada masa-masa sahabat dan tabi’in serta masa-masa berikutnya.
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat menggambarkan sikap dan tindakan umat islam, khususnya para ulama ahli hadis terhadap hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya hingga terwujudnya kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Karena perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang tidak sama, maka dalam pengungkapan sejarah perjalanan perlu dikemukakan ciri-ciri khusus.
Di anatar para ulama terdapat perbedaan dalam menyusun periodisasi pertumbuhan dan perkembangan hadis ini. Ada yang membaginya dalam tiga periode saja, yaitu masa Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in , masa pen-tadwin-an dan masalah setelah tadwin.
Namun yang akan diuraikan secara khusus pada bahasan ini adalah masa Rasulullah SAW, masa sahabat , masa tabi’in.
Apabila membicarakan pada masa Rasulullah SAW, berarti membicarakan hadis pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan berkaitan langsung dengan pribadi Rasulullah SAW. Sebagai sumber hadis.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT, ke[ada Rasulullah SAW disaksikan oleh para sahabat dapat dijadikan pedoman bagi amaliah  dan ubudiah mereka. Pada masa Rasulullah SAW ini merupakan contoh sati-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
B. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu antara lain :
          1. Pengertian Hadis
2. Sejarah Pertumbuhan Hadis pada masa Rasulullah Saw
3. Sejarah Pertumbuhan Hadis pada masa Sahabat
4. Sejarah Pertumbuhan Hadis pada masa Tabi’in
c. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini, yaitu :
1.    Mengetahui pengertian hadis.
2.    Dapat mengetahui bagaimana pertumbuhan hadis pada masa Rasaulullah SAW.
3.    Dapat mengetahui bagaimana pertumbuhan hadis pada masa sahabat.
4.    Dapat mengetahui bagaimana pertumbuhan hadis pada masa tabi’in.







BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Hadis
Hadits secara harfiah berarti "berbicara", "perkataan" atau "percakapan". Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW.
Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
B.     Hadis pada masa Rasulullah Saw
Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini merupakan kurun awktu turunnya wahyu dan sekaligus di wurudkannya hadis. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehatian-hatian  para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.[1][1]
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya di jelaskan melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af ‘al), dan penetapan (taqrir)-nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan di saksikanoleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasul Saw merupakn contoh satu-satunya bagi para sahabat , karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
Kedudukan hadis dalam sumber ajaran Islam adalah yang kedua dan itu telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat islam. Dalam sejarah hanya ada sekelompok kecil dari kalangan “ulama” dan umat islam yang menolak hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam yang kedua. Mereka dikenal sebagai inkar al-sunnah.  [2][2]
a.      Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadis
Ada suatu keistimewaaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya . Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari  Rasul Saw sebagaisumber hadis. Antara Rasul Saw dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Allah menurunkan al-Quran dan mengutus nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu .
Rasulullah SAW hidup ditengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tak ada protokolan-protokolan yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, dikala beliau tak ada di rumah. Yakni tak boleh mereka terus masuk kerumah  dan berbicara dengan istri-istri Nabi, tanpa hijab.
Nabi SAW menggauli mereka di rumah, dimesjid, dipasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar. Seluruh perbuatan Nabi , demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau mereka jadikan pedoman hidup.[3][3]
Kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan,dan taqrir nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan  ini sendiri dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh karena itu, tempat tempat pertemuan di antara kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat  yang biasa digunakan Rasulullah Saw cukup bervariasi, seperti  di mesjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam Perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di rumah).[4][4]
Melalui tempat-tempat tersebut Rasul SAW menyampaikan hadis, yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya oleh mereka (melalui musyahadah).
Menurut riwayat Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasulullah menyampaikan hadisnya dengan  berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya. Ada beberapa cara  Rasul SAW menyampaikan hadis kepada ara sahabat, yaitu:
Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang di sebut majlis al-‘ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi SAw.
Para sahabat begitu antusias untuk bisa tetap mengikuti kegiatan di majlis ini , ini ditunjukkannya dengan banyak upaya. Terkadang diantara mereka bergantian hadir , seperti yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab. Ia sewaktu-waktu bergantian hadir dengan Ibnu Zaid (dari bani Umayah) untuk menghadiri majlis ini, ketika ia berhalangan hadir. Ia berkata: “kalau hari ini aku yang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi , demikian aku melakukannya .”[5][5] Terkadang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya dari sini.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul Saw juga menyampaikan haidisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan hadis , para sahabat yang datang hanya beberapa orang saja, baik karena di sengaja oleh Rasul Saw sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang , seperti hadis-hadis yang di tulis oleh Abdullah Bin Amr Ibnu Al- ‘Ash.
Untuk hal-hal yang sebsitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebetuln biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya. Begitu juga sikap para sahabat ,jika ada hal-ahal yang berkaitan dengan  soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul Saw, seringkali di tanyakan melalui istri-istrinya.
ketiga , cara lain yang dilakukan Rasul Saw adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah.[6][6]
Tujuan Nabi SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat, di antaranya ialah ; a) karena ia bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT kepadanya dalam waktu yang cukup panjang ; b) ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang dilihat dan di alaminya sendiri; c) bermaksud meluruskan akidah yang salah atau tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran islam.[7][7]
b.      Cara-Cara Sahabat Menerima Hadis Dari Rasulullah SAW
Apabila para shahabi berkata yang artinya:
saya mendengar Rasul SAW”[8][8]
      Atau
            Rasulullah SAW Mengkhabarkan kepadaku”
      Atau
            Rasulullah SAW menceritakan kepadaku”
     Atau
            “ Rasulullah SAW menerangkan kepadaku secara lisan”
    Atau
            Aku lihat Rasulullah SAW berbuat”.
Maka semua ulama mengatakan, bahwa yang demikian itu menjadi Hujjah; karena terang bahwa Shahabi itu berhadapan langsung dengan Nabi SAW:
            Apabila seseorang shahabi membawa lafadhnya yang memungkinkan ada perantaraan, seperti ia mengatakan:
“ bersabdalah Rasulullah SAW”
Atau
Rasulullah SAW menyuruh “
“ Rasulullah SAW telah menegah”
“ Rasulullah SAW telah memutuskan”
Maka menurut pendapat Jumhur, juga menjadi Hujjah , baik perawi itu sahabat kecil ataupu shahabi besar , kerena menurut Dhahair Shahabi itu meriwayatkan dari Nabi SAW jika di takdirkan ada perantaraan maka hadis tersebut  menjadi Mursal Shahabi, yang menjadi Hujjah juga menurut Jumhur.[9][9]
        Apabila Shahabi berkata:
            “ kami diperintahkan begini”
    Atau
            “ kami di larang yang demikian “
Maka menurut pendapat Jumhur juga menjadi hujjah, karena menurut dhahir, yang memerintah  dan  menegah  itu adalah Nabi SAW sendiri.
            Abu Bakar Shairafi Al-Isma’ili, Al Juwaini, Al Karakhi, mengatakan bahwa “ yang demikian itu tidak menjadi Hujjah, kerena mungkin yang menyuruh dan menegah itu, bukan Nabi, tetapi sebagian Khalifah.
            Ibnu Daqiqiel ‘Ied menerangkan, bahwa sebagian ulama membedakan antara sahabat-sahabat besar, seperti: Khalifah Empat, Ulama-ulama Sahabat, seperti Ibnu Mas’ud, Zaid ibn Tsabit, Mu’adz bin Jabal, Anas ibn Malik, Abi Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan antara lain mereka.[10][10]



c.       Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadis
Diantara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis. Ada yang memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali . hal ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul Saw. Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga ,perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal dari mesjid Rasul Saw.
Ada beberapa orang sahabat yang dicatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul  Saw dengan beberapa penyebabnya. Mereka itu antara lain:
a.       Para sahabat yang tergolong kelompok Al- Sabiqun Al- Awwalun (yang mula-mula masuk islam), seperti Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud . mereka banyak menerima hadis dari Rasul Saw, karena lebih awal masuk Islam dari sahabat-sahabat lainnya.
b.      Ummahat Al- Mukminin (istri-istri Rasul SAW), seperti Siti  Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul Saw daripada sahabat-sahabat lainnya. Hadis-hadis yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami-istri.
c.       Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul SAW juga menuliskan hadis-hadis yang di terimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-‘Ash.
d.      Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasu SAW, akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secar sungguh-ungguh, seperti Abu Hurairah.
e.       Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.[11][11]

d.      Menghafal dan Menulis Hadis

1.      Menghafal Hadis
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan Hadis, sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul SAW menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-Quran ia secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis di samping di hafal. Sedang terhadap hadis ia hanya menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi dalam hal ini ia bersabda yang artinya.
“Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah di hapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”. (HR Muslim). Alasan Nabi SAW tidak memperkenankan para Sahabat untuk menulis hadis , salah satunya adalah karena dikhawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur’an  dengan tidak sengaja. Oleh karena itu Nabi SAW melarang mereka menulis hadits, beliau Khawatir sabda-sabdanya akan bercampur dengan firman Ilahi.[12][12]
     Maka segala hadis yang diterima dari Rasul SAW oleh para sahabat diingatkan secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasul SAW untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang di terimanya.
            Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Petama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah di warisinya sejak praIslam dan mereka terkenal kuat hafalannya; Kedua, Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya; ketiga, seringkali ia menjajikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.

2.      Menulis Hadis
Di balik larangan Rasul SAW. Seperti pada hadis Abu Sa’id  Al-Khudri di atas, ternyata ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadis dan memiliki catatan –catatannya, ialah:
1.      Abdulillah ibn Amr Al-‘Ash. Ia memiliki catatan hadis yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasul SAW, sehingga di berinya nama al-sahifah  al-shadiqah. Menurut suatu riwayat diceritakan, bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap Abdulillah ibn Amr, karena sikapnya yang selalu menulis apa yang datang dari Rasul SAW mereka berkata: “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan  marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada Rasul SAW, dan Rasul menjawabnya dengan mengatakan yang artinya:

tulislah! Demi zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar daripadanya kecuali yang benar”. (HR. Bukhari)[13][13]

Hadis-hadis yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadis , yang menurut pengakuannya diterima langsung dari  Rasul SAW  ketika mereka berdua

tanpa ada orang lain yang menemaninya.[14][14] 
2.      Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al- Anshari (w. 78 H.). ia memiliki catatan hadis dari Rasul SAW tentang manasik Haji. Hadis-hadisnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini dikenal dengan sahifah Jabir.
3.      Abu Hurairah Al-Dausi (w. 59 H). Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan Al- Sahifah Al-Sahihah. Hasil karyanya ini di wariskan kepada anaknya bernama Hammam.
4.      Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al- Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada Rasul SAW dicatatkan hadis yang disampaikannya ketika pidato pada peristiwa futuh Mekkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang di lakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah terhadap salah seorang lelaki Bani Lais. Rasul SAW. Kemudian bersabda yang artinya:

“kalian tuliskan untuk Abu Syah”.[15][15]

Di samping nama di atas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya, yang juga mengaku memiliki catatan hadis dan di benarkan Rasul SAW . seperti Rafi’ bin Khadij, Amr bin Hazm, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud.[16][16]

C.      HADIS PADA MASA SAHABAT
Periode kedua sejarah pertumbuhan hadis adalah pada masa sahabat, khususnya masa khulafah’ Al- Rasyidin  (Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib ) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang , dan kelihataanya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama di anggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan( al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).
1.        Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain . sebagaimana sabdanya yang artinya:
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berperang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnahku (Al-Hadis). (HR. Malik).”[17][17]
         Dan  sabdanya pula:                                                      
              “Sampaikanlah dariku walau satu ayat /satu hadis”.[18][18]
    
Pesan-pesan Rasulullah SAW sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang di contohkannya.
2.   Berhati-hati Dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadis

Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan Al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar ibn Khattab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman ibn Affan, sehingga melahirkan Mushaf Usmani. Satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf Al-Imam, dan yang empat lagi masing-masing disimpan di Makkah, Bashrah, Syiria dan Kufah. Sikap memusatkan perhatian terhadap Al-Qur’an tidak berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian trhadap hadis. Mereka memegang hadis seperti halnya yang diterimanya dari Rasul SAW secara utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber Tasyri’ setelah Al-Qur’an, yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Qur’an. Oleh karenanya, para sahabat khususnya khulafa’ al-rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatandan penerimaan hadis.[19][19] 
Abu Bakar  sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama kali menerima hadis dengan hati-hati. Diriwayatkan oleh ibn Syihab dari Qabisah ibn Zuaib, bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar soal bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam al-Quran maupun hadis. Al-Mughirah menyebutkan bahwa, Rasul SAW  memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian meminta supaya Al-Mughirahmengajukan saksi lebih dahulu baru kemudian hadisnya diterima.[20][20]
Setelah rasul SAW wafat Abu Bakar pernah mengumpulkan para sahabat. Kepada mereka ia berkata:”kalian meriwayatkan hadis-hadis Rasul SAW yang diperselisihkan orang-orang  setelah kalian akan lebih banyak berselisih karenanya. Maka janganlah kalian meriwayatkan hadis (tersebut).[21][21]
Sikap kehati-hatian juga oleh Umar ibn Khattab. Ia seperti halnya Abu Bakar, suka meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Akan tetapi untuk masalah tertentu acapkali iapun menerima periwayatan tanpa Syahid dari orang tertentu, seperti hadis-hadis dari Aisyah. Sikap kedua sahabat juga diikuti oleh usman dan Ali. Ali, selain dengan cara-cara di atas, juga terkadang mengujinya dengan sumpah.

2.        Periwayatan Hadis dengan Lafaz dan Makna 
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis ,yang di tunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya , tidak berarti hadis-hadis Rasul tidak diriwayatkan.dalam batas-batas tertentu hadis-hadis itu diriwayatkan,khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinya, seperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadis tersebutdan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasul SAW. Pertama, dengan jalan periwayatan lafzy (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW), dan kedua, dengan jalan periwayatan Maknawi (makna saja).

a.      Periwayatan Lafzhi
Seperti telah dikatakan, bahwa periwayatan Lafzhi, adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul  SAW ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redksi dari Rasulullah SAW bukan menurut redaksi mereka. Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis dengan jalan lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia sering kali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya terhadap Ubaid ibn amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadis tentang Lima prinsip dasar islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan keempat, sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah SAW.

b.        Periwayatan Maknawi
Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW. Akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.

D.      HADIS PADA MASA TABI’IN

Pada  dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka , bagaimanapun mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain , usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa Kekhalifaan Usman para sahabat ahli hadis menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam. Kepada merekalah para Tabi’in mempelejari hadis.
Ketika pemerintah  dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan islam sampai meliputi Mesir,Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol, disamping Madinah, Mekkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam, penyebaran para sahabat kedaerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga pada masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (istisydar al-riwayah  ila al-amshdar).

1.      Pusat-pusat Pembinaan Hadis
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut, ialah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi, dan Andalaus, Yaman dan Khurusan. Dari sejumlah para sahabat pembina hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup banyak, antara lain Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas ibn Malik, Aisyah, Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah dan Abi Sa’id Al-Khudri.[22][22]
2.      Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada msa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal  dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam kedalam beberapa kelompok (Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut).
Langsung atau tidak ,dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah  dengan munculnya hadis-hadis palsu (Maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masung kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.[23][23]
Adapun pengaruh yang bersifat positif, adalah lahirnya rencana dan usaha yangmendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai upaya penyelematan dari pemusnahan dan pemalsuan,sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.



BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi SAW baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang di syariatkan kepada manusia .
Para sahabat menerima hadis (Syari’at) dari Rasul SAW ada kala langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang dimajukan oleh seseorang lalu Nabi SAW menjawabnya, ataupun karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala tidak langsung yaitu mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya, selain pada masa Rasulullah pertumbuhan hadis juga terjadi pada masa sahabat Rasulullah dan pada masa tabi’in, yang bertujuan untuk menjaga hadis Rasulullah yang merupakan sumber ajaran agama ke dua setelah Al-qur’an.
B.  Saran
sebagai umat islam hendaknya kita menjadikan hadis sebagai sunah Rasul SAW yang harus kita jadikan landasan dan sumber ajaran agama islam, selain itu kitapun harus mengetahui asal muasal petumbuhan dan perkembagan hadis dari zaman Rasulullah SAW sampai munculnya ilmu hadis, Agar kita juga dapat mengetahu bagaimana proses lahir dan tumbuhnya hadis ini, dari zaman Rasulullah sampai masa Tabi’in seperti yang di bahas dalam makalah ini.
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Salawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliau kita dapat menikmati pencerahan iman dan islam dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Sejarah Pertumbuhan Hadis” dalam rangka memenuhi tugas Ilmu Hadis.
Makalah ini telah dibuat berdasarkan hasil diskusi kelompok kami. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Saya  menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun saya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.





















DAFTAR PUSTAKA

Tulisnya “Muhammedanische Studien”,Goldziher berhasil menambahkan keragu-raguan kepada banyak orang islam sendiri terhadap sumber tasyri’ yang kedua ini,(Jakarta:INIS, 1988)

Syahraeni, “Kritik sanad dalam perspektif Sejarah” (Alauddin, samata 2011), cet.ke- 1    hlm. 45 Penerbit: Bulan Bintang.

M. Hasbi Ash Shiddieqy  “Sejarah dan pengantar ilmu hadis” (Yogyakarta 1953),       cet.ke-4 ,hlm. 47 Penerbit: Bulan Bintang

Dr. Mushthafa  Al-Siba’i, “Al-Sunnah Wa Makanatuha fi Al- Tasyri” Al- Islami,(Kairo: Dar Al-Salam 1998), cet. Ke-1, hlm. 64

Ibnu hajar Al-asykalani, fath Al Bari, jilid 1 (Beirut:Dar Al- Fikr Wa Maktabah Al-Salafiyah , t.t), hlm.150.

Mushthafa Al- Siba’i, cit., hlm.64-65

Prfo. DR. H. Abustani Ilyas. M,ag , DR. La Ode Ismail Ahmad, M.th.i “Studi ontologi, epistemologi, dan aksologi ;studi metodologi hadis” (Uin Alauddin, samata 2011) cet. 1      hlm. 61.

Prof. DR.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy “Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis”(Jakarta, Bulan Bintang, Kramat Kwitang) cet. Ke-4 hlm. 71

Prof. DR.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy “Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits.”(Jakarta, Bulan Bintang, Kramat Kwitang), cet. Ke-4  hlm. 72
           
Prof. DR.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy “Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits”(Yogyakarta, Bulan Bintang, Kramat kwitang) cet. Ke-4 hlm.73


























BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Membicarakan sejarah petumbuhan dan perkembangan hadis yang bertujuan untuk mengangkat fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa rasulullah SAW. Kemudian secara periodic pada masa-masa sahabat dan tabi’in serta masa-masa berikutnya.
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat menggambarkan sikap dan tindakan umat islam, khususnya para ulama ahli hadis terhadap hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya hingga terwujudnya kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Karena perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang tidak sama, maka dalam pengungkapan sejarah perjalanan perlu dikemukakan ciri-ciri khusus.
Di anatar para ulama terdapat perbedaan dalam menyusun periodisasi pertumbuhan dan perkembangan hadis ini. Ada yang membaginya dalam tiga periode saja, yaitu masa Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in , masa pen-tadwin-an dan masalah setelah tadwin.
Namun yang akan diuraikan secara khusus pada bahasan ini adalah masa Rasulullah SAW, masa sahabat , masa tabi’in.
Apabila membicarakan pada masa Rasulullah SAW, berarti membicarakan hadis pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan berkaitan langsung dengan pribadi Rasulullah SAW. Sebagai sumber hadis.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT, ke[ada Rasulullah SAW disaksikan oleh para sahabat dapat dijadikan pedoman bagi amaliah  dan ubudiah mereka. Pada masa Rasulullah SAW ini merupakan contoh sati-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
B. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu antara lain :
          1. Pengertian Hadis
2. Sejarah Pertumbuhan Hadis pada masa Rasulullah Saw
3. Sejarah Pertumbuhan Hadis pada masa Sahabat
4. Sejarah Pertumbuhan Hadis pada masa Tabi’in
c. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini, yaitu :
1.    Mengetahui pengertian hadis.
2.    Dapat mengetahui bagaimana pertumbuhan hadis pada masa Rasaulullah SAW.
3.    Dapat mengetahui bagaimana pertumbuhan hadis pada masa sahabat.
4.    Dapat mengetahui bagaimana pertumbuhan hadis pada masa tabi’in.







BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Hadis
Hadits secara harfiah berarti "berbicara", "perkataan" atau "percakapan". Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW.
Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
B.     Hadis pada masa Rasulullah Saw
Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini merupakan kurun awktu turunnya wahyu dan sekaligus di wurudkannya hadis. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehatian-hatian  para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.[1][1]
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya di jelaskan melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af ‘al), dan penetapan (taqrir)-nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan di saksikanoleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasul Saw merupakn contoh satu-satunya bagi para sahabat , karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
Kedudukan hadis dalam sumber ajaran Islam adalah yang kedua dan itu telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat islam. Dalam sejarah hanya ada sekelompok kecil dari kalangan “ulama” dan umat islam yang menolak hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam yang kedua. Mereka dikenal sebagai inkar al-sunnah.  [2][2]
a.      Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadis
Ada suatu keistimewaaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya . Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari  Rasul Saw sebagaisumber hadis. Antara Rasul Saw dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Allah menurunkan al-Quran dan mengutus nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu .
Rasulullah SAW hidup ditengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tak ada protokolan-protokolan yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, dikala beliau tak ada di rumah. Yakni tak boleh mereka terus masuk kerumah  dan berbicara dengan istri-istri Nabi, tanpa hijab.
Nabi SAW menggauli mereka di rumah, dimesjid, dipasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar. Seluruh perbuatan Nabi , demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau mereka jadikan pedoman hidup.[3][3]
Kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan,dan taqrir nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan  ini sendiri dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh karena itu, tempat tempat pertemuan di antara kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat  yang biasa digunakan Rasulullah Saw cukup bervariasi, seperti  di mesjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam Perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di rumah).[4][4]
Melalui tempat-tempat tersebut Rasul SAW menyampaikan hadis, yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya oleh mereka (melalui musyahadah).
Menurut riwayat Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasulullah menyampaikan hadisnya dengan  berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya. Ada beberapa cara  Rasul SAW menyampaikan hadis kepada ara sahabat, yaitu:
Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang di sebut majlis al-‘ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi SAw.
Para sahabat begitu antusias untuk bisa tetap mengikuti kegiatan di majlis ini , ini ditunjukkannya dengan banyak upaya. Terkadang diantara mereka bergantian hadir , seperti yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab. Ia sewaktu-waktu bergantian hadir dengan Ibnu Zaid (dari bani Umayah) untuk menghadiri majlis ini, ketika ia berhalangan hadir. Ia berkata: “kalau hari ini aku yang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi , demikian aku melakukannya .”[5][5] Terkadang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya dari sini.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul Saw juga menyampaikan haidisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan hadis , para sahabat yang datang hanya beberapa orang saja, baik karena di sengaja oleh Rasul Saw sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang , seperti hadis-hadis yang di tulis oleh Abdullah Bin Amr Ibnu Al- ‘Ash.
Untuk hal-hal yang sebsitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebetuln biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya. Begitu juga sikap para sahabat ,jika ada hal-ahal yang berkaitan dengan  soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul Saw, seringkali di tanyakan melalui istri-istrinya.
ketiga , cara lain yang dilakukan Rasul Saw adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah.[6][6]
Tujuan Nabi SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat, di antaranya ialah ; a) karena ia bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT kepadanya dalam waktu yang cukup panjang ; b) ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang dilihat dan di alaminya sendiri; c) bermaksud meluruskan akidah yang salah atau tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran islam.[7][7]
b.      Cara-Cara Sahabat Menerima Hadis Dari Rasulullah SAW
Apabila para shahabi berkata yang artinya:
saya mendengar Rasul SAW”[8][8]
      Atau
            Rasulullah SAW Mengkhabarkan kepadaku”
      Atau
            Rasulullah SAW menceritakan kepadaku”
     Atau
            “ Rasulullah SAW menerangkan kepadaku secara lisan”
    Atau
            Aku lihat Rasulullah SAW berbuat”.
Maka semua ulama mengatakan, bahwa yang demikian itu menjadi Hujjah; karena terang bahwa Shahabi itu berhadapan langsung dengan Nabi SAW:
            Apabila seseorang shahabi membawa lafadhnya yang memungkinkan ada perantaraan, seperti ia mengatakan:
“ bersabdalah Rasulullah SAW”
Atau
Rasulullah SAW menyuruh “
“ Rasulullah SAW telah menegah”
“ Rasulullah SAW telah memutuskan”
Maka menurut pendapat Jumhur, juga menjadi Hujjah , baik perawi itu sahabat kecil ataupu shahabi besar , kerena menurut Dhahair Shahabi itu meriwayatkan dari Nabi SAW jika di takdirkan ada perantaraan maka hadis tersebut  menjadi Mursal Shahabi, yang menjadi Hujjah juga menurut Jumhur.[9][9]
        Apabila Shahabi berkata:
            “ kami diperintahkan begini”
    Atau
            “ kami di larang yang demikian “
Maka menurut pendapat Jumhur juga menjadi hujjah, karena menurut dhahir, yang memerintah  dan  menegah  itu adalah Nabi SAW sendiri.
            Abu Bakar Shairafi Al-Isma’ili, Al Juwaini, Al Karakhi, mengatakan bahwa “ yang demikian itu tidak menjadi Hujjah, kerena mungkin yang menyuruh dan menegah itu, bukan Nabi, tetapi sebagian Khalifah.
            Ibnu Daqiqiel ‘Ied menerangkan, bahwa sebagian ulama membedakan antara sahabat-sahabat besar, seperti: Khalifah Empat, Ulama-ulama Sahabat, seperti Ibnu Mas’ud, Zaid ibn Tsabit, Mu’adz bin Jabal, Anas ibn Malik, Abi Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan antara lain mereka.[10][10]



c.       Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadis
Diantara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis. Ada yang memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali . hal ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul Saw. Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga ,perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal dari mesjid Rasul Saw.
Ada beberapa orang sahabat yang dicatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul  Saw dengan beberapa penyebabnya. Mereka itu antara lain:
a.       Para sahabat yang tergolong kelompok Al- Sabiqun Al- Awwalun (yang mula-mula masuk islam), seperti Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud . mereka banyak menerima hadis dari Rasul Saw, karena lebih awal masuk Islam dari sahabat-sahabat lainnya.
b.      Ummahat Al- Mukminin (istri-istri Rasul SAW), seperti Siti  Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul Saw daripada sahabat-sahabat lainnya. Hadis-hadis yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami-istri.
c.       Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul SAW juga menuliskan hadis-hadis yang di terimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-‘Ash.
d.      Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasu SAW, akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secar sungguh-ungguh, seperti Abu Hurairah.
e.       Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.[11][11]

d.      Menghafal dan Menulis Hadis

1.      Menghafal Hadis
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan Hadis, sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul SAW menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-Quran ia secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis di samping di hafal. Sedang terhadap hadis ia hanya menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi dalam hal ini ia bersabda yang artinya.
“Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah di hapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”. (HR Muslim). Alasan Nabi SAW tidak memperkenankan para Sahabat untuk menulis hadis , salah satunya adalah karena dikhawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur’an  dengan tidak sengaja. Oleh karena itu Nabi SAW melarang mereka menulis hadits, beliau Khawatir sabda-sabdanya akan bercampur dengan firman Ilahi.[12][12]
     Maka segala hadis yang diterima dari Rasul SAW oleh para sahabat diingatkan secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasul SAW untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang di terimanya.
            Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Petama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah di warisinya sejak praIslam dan mereka terkenal kuat hafalannya; Kedua, Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya; ketiga, seringkali ia menjajikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.

2.      Menulis Hadis
Di balik larangan Rasul SAW. Seperti pada hadis Abu Sa’id  Al-Khudri di atas, ternyata ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadis dan memiliki catatan –catatannya, ialah:
1.      Abdulillah ibn Amr Al-‘Ash. Ia memiliki catatan hadis yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasul SAW, sehingga di berinya nama al-sahifah  al-shadiqah. Menurut suatu riwayat diceritakan, bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap Abdulillah ibn Amr, karena sikapnya yang selalu menulis apa yang datang dari Rasul SAW mereka berkata: “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan  marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada Rasul SAW, dan Rasul menjawabnya dengan mengatakan yang artinya:

tulislah! Demi zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar daripadanya kecuali yang benar”. (HR. Bukhari)[13][13]

Hadis-hadis yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadis , yang menurut pengakuannya diterima langsung dari  Rasul SAW  ketika mereka berdua

tanpa ada orang lain yang menemaninya.[14][14] 
2.      Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al- Anshari (w. 78 H.). ia memiliki catatan hadis dari Rasul SAW tentang manasik Haji. Hadis-hadisnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini dikenal dengan sahifah Jabir.
3.      Abu Hurairah Al-Dausi (w. 59 H). Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan Al- Sahifah Al-Sahihah. Hasil karyanya ini di wariskan kepada anaknya bernama Hammam.
4.      Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al- Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada Rasul SAW dicatatkan hadis yang disampaikannya ketika pidato pada peristiwa futuh Mekkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang di lakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah terhadap salah seorang lelaki Bani Lais. Rasul SAW. Kemudian bersabda yang artinya:

“kalian tuliskan untuk Abu Syah”.[15][15]

Di samping nama di atas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya, yang juga mengaku memiliki catatan hadis dan di benarkan Rasul SAW . seperti Rafi’ bin Khadij, Amr bin Hazm, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud.[16][16]

C.      HADIS PADA MASA SAHABAT
Periode kedua sejarah pertumbuhan hadis adalah pada masa sahabat, khususnya masa khulafah’ Al- Rasyidin  (Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib ) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang , dan kelihataanya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama di anggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan( al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).
1.        Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain . sebagaimana sabdanya yang artinya:
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berperang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnahku (Al-Hadis). (HR. Malik).”[17][17]
         Dan  sabdanya pula:                                                      
              “Sampaikanlah dariku walau satu ayat /satu hadis”.[18][18]
    
Pesan-pesan Rasulullah SAW sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang di contohkannya.
2.   Berhati-hati Dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadis

Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan Al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar ibn Khattab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman ibn Affan, sehingga melahirkan Mushaf Usmani. Satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf Al-Imam, dan yang empat lagi masing-masing disimpan di Makkah, Bashrah, Syiria dan Kufah. Sikap memusatkan perhatian terhadap Al-Qur’an tidak berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian trhadap hadis. Mereka memegang hadis seperti halnya yang diterimanya dari Rasul SAW secara utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber Tasyri’ setelah Al-Qur’an, yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Qur’an. Oleh karenanya, para sahabat khususnya khulafa’ al-rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatandan penerimaan hadis.[19][19] 
Abu Bakar  sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama kali menerima hadis dengan hati-hati. Diriwayatkan oleh ibn Syihab dari Qabisah ibn Zuaib, bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar soal bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam al-Quran maupun hadis. Al-Mughirah menyebutkan bahwa, Rasul SAW  memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian meminta supaya Al-Mughirahmengajukan saksi lebih dahulu baru kemudian hadisnya diterima.[20][20]
Setelah rasul SAW wafat Abu Bakar pernah mengumpulkan para sahabat. Kepada mereka ia berkata:”kalian meriwayatkan hadis-hadis Rasul SAW yang diperselisihkan orang-orang  setelah kalian akan lebih banyak berselisih karenanya. Maka janganlah kalian meriwayatkan hadis (tersebut).[21][21]
Sikap kehati-hatian juga oleh Umar ibn Khattab. Ia seperti halnya Abu Bakar, suka meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Akan tetapi untuk masalah tertentu acapkali iapun menerima periwayatan tanpa Syahid dari orang tertentu, seperti hadis-hadis dari Aisyah. Sikap kedua sahabat juga diikuti oleh usman dan Ali. Ali, selain dengan cara-cara di atas, juga terkadang mengujinya dengan sumpah.

2.        Periwayatan Hadis dengan Lafaz dan Makna 
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis ,yang di tunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya , tidak berarti hadis-hadis Rasul tidak diriwayatkan.dalam batas-batas tertentu hadis-hadis itu diriwayatkan,khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinya, seperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadis tersebutdan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasul SAW. Pertama, dengan jalan periwayatan lafzy (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW), dan kedua, dengan jalan periwayatan Maknawi (makna saja).

a.      Periwayatan Lafzhi
Seperti telah dikatakan, bahwa periwayatan Lafzhi, adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul  SAW ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redksi dari Rasulullah SAW bukan menurut redaksi mereka. Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis dengan jalan lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia sering kali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya terhadap Ubaid ibn amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadis tentang Lima prinsip dasar islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan keempat, sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah SAW.

b.        Periwayatan Maknawi
Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW. Akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.

D.      HADIS PADA MASA TABI’IN

Pada  dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka , bagaimanapun mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain , usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa Kekhalifaan Usman para sahabat ahli hadis menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam. Kepada merekalah para Tabi’in mempelejari hadis.
Ketika pemerintah  dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan islam sampai meliputi Mesir,Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol, disamping Madinah, Mekkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam, penyebaran para sahabat kedaerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga pada masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (istisydar al-riwayah  ila al-amshdar).

1.      Pusat-pusat Pembinaan Hadis
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut, ialah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi, dan Andalaus, Yaman dan Khurusan. Dari sejumlah para sahabat pembina hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup banyak, antara lain Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas ibn Malik, Aisyah, Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah dan Abi Sa’id Al-Khudri.[22][22]
2.      Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada msa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal  dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam kedalam beberapa kelompok (Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut).
Langsung atau tidak ,dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah  dengan munculnya hadis-hadis palsu (Maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masung kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.[23][23]
Adapun pengaruh yang bersifat positif, adalah lahirnya rencana dan usaha yangmendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai upaya penyelematan dari pemusnahan dan pemalsuan,sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.



BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi SAW baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang di syariatkan kepada manusia .
Para sahabat menerima hadis (Syari’at) dari Rasul SAW ada kala langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang dimajukan oleh seseorang lalu Nabi SAW menjawabnya, ataupun karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala tidak langsung yaitu mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya, selain pada masa Rasulullah pertumbuhan hadis juga terjadi pada masa sahabat Rasulullah dan pada masa tabi’in, yang bertujuan untuk menjaga hadis Rasulullah yang merupakan sumber ajaran agama ke dua setelah Al-qur’an.
B.  Saran
sebagai umat islam hendaknya kita menjadikan hadis sebagai sunah Rasul SAW yang harus kita jadikan landasan dan sumber ajaran agama islam, selain itu kitapun harus mengetahui asal muasal petumbuhan dan perkembagan hadis dari zaman Rasulullah SAW sampai munculnya ilmu hadis, Agar kita juga dapat mengetahu bagaimana proses lahir dan tumbuhnya hadis ini, dari zaman Rasulullah sampai masa Tabi’in seperti yang di bahas dalam makalah ini.
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Salawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliau kita dapat menikmati pencerahan iman dan islam dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Sejarah Pertumbuhan Hadis” dalam rangka memenuhi tugas Ilmu Hadis.
Makalah ini telah dibuat berdasarkan hasil diskusi kelompok kami. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Saya  menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun saya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.





















DAFTAR PUSTAKA

Tulisnya “Muhammedanische Studien”,Goldziher berhasil menambahkan keragu-raguan kepada banyak orang islam sendiri terhadap sumber tasyri’ yang kedua ini,(Jakarta:INIS, 1988)

Syahraeni, “Kritik sanad dalam perspektif Sejarah” (Alauddin, samata 2011), cet.ke- 1    hlm. 45 Penerbit: Bulan Bintang.

M. Hasbi Ash Shiddieqy  “Sejarah dan pengantar ilmu hadis” (Yogyakarta 1953),       cet.ke-4 ,hlm. 47 Penerbit: Bulan Bintang

Dr. Mushthafa  Al-Siba’i, “Al-Sunnah Wa Makanatuha fi Al- Tasyri” Al- Islami,(Kairo: Dar Al-Salam 1998), cet. Ke-1, hlm. 64

Ibnu hajar Al-asykalani, fath Al Bari, jilid 1 (Beirut:Dar Al- Fikr Wa Maktabah Al-Salafiyah , t.t), hlm.150.

Mushthafa Al- Siba’i, cit., hlm.64-65

Prfo. DR. H. Abustani Ilyas. M,ag , DR. La Ode Ismail Ahmad, M.th.i “Studi ontologi, epistemologi, dan aksologi ;studi metodologi hadis” (Uin Alauddin, samata 2011) cet. 1      hlm. 61.

Prof. DR.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy “Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis”(Jakarta, Bulan Bintang, Kramat Kwitang) cet. Ke-4 hlm. 71

Prof. DR.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy “Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits.”(Jakarta, Bulan Bintang, Kramat Kwitang), cet. Ke-4  hlm. 72
           
Prof. DR.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy “Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits”(Yogyakarta, Bulan Bintang, Kramat kwitang) cet. Ke-4 hlm.73





BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Membicarakan sejarah petumbuhan dan perkembangan hadis yang bertujuan untuk mengangkat fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa rasulullah SAW. Kemudian secara periodic pada masa-masa sahabat dan tabi’in serta masa-masa berikutnya.
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat menggambarkan sikap dan tindakan umat islam, khususnya para ulama ahli hadis terhadap hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya hingga terwujudnya kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Karena perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang tidak sama, maka dalam pengungkapan sejarah perjalanan perlu dikemukakan ciri-ciri khusus.
Di anatar para ulama terdapat perbedaan dalam menyusun periodisasi pertumbuhan dan perkembangan hadis ini. Ada yang membaginya dalam tiga periode saja, yaitu masa Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in , masa pen-tadwin-an dan masalah setelah tadwin.
Namun yang akan diuraikan secara khusus pada bahasan ini adalah masa Rasulullah SAW, masa sahabat , masa tabi’in.
Apabila membicarakan pada masa Rasulullah SAW, berarti membicarakan hadis pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan berkaitan langsung dengan pribadi Rasulullah SAW. Sebagai sumber hadis.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT, ke[ada Rasulullah SAW disaksikan oleh para sahabat dapat dijadikan pedoman bagi amaliah  dan ubudiah mereka. Pada masa Rasulullah SAW ini merupakan contoh sati-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
B. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu antara lain :
          1. Pengertian Hadis
2. Sejarah Pertumbuhan Hadis pada masa Rasulullah Saw
3. Sejarah Pertumbuhan Hadis pada masa Sahabat
4. Sejarah Pertumbuhan Hadis pada masa Tabi’in
c. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini, yaitu :
1.    Mengetahui pengertian hadis.
2.    Dapat mengetahui bagaimana pertumbuhan hadis pada masa Rasaulullah SAW.
3.    Dapat mengetahui bagaimana pertumbuhan hadis pada masa sahabat.
4.    Dapat mengetahui bagaimana pertumbuhan hadis pada masa tabi’in.







BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Hadis
Hadits secara harfiah berarti "berbicara", "perkataan" atau "percakapan". Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW.
Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
B.     Hadis pada masa Rasulullah Saw
Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini merupakan kurun awktu turunnya wahyu dan sekaligus di wurudkannya hadis. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehatian-hatian  para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.[1][1]
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya di jelaskan melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af ‘al), dan penetapan (taqrir)-nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan di saksikanoleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasul Saw merupakn contoh satu-satunya bagi para sahabat , karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
Kedudukan hadis dalam sumber ajaran Islam adalah yang kedua dan itu telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat islam. Dalam sejarah hanya ada sekelompok kecil dari kalangan “ulama” dan umat islam yang menolak hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam yang kedua. Mereka dikenal sebagai inkar al-sunnah.  [2][2]
a.      Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadis
Ada suatu keistimewaaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya . Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari  Rasul Saw sebagaisumber hadis. Antara Rasul Saw dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Allah menurunkan al-Quran dan mengutus nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu .
Rasulullah SAW hidup ditengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Tak ada protokolan-protokolan yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, dikala beliau tak ada di rumah. Yakni tak boleh mereka terus masuk kerumah  dan berbicara dengan istri-istri Nabi, tanpa hijab.
Nabi SAW menggauli mereka di rumah, dimesjid, dipasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar. Seluruh perbuatan Nabi , demikian juga seluruh ucapan dan tutur kata beliau menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak gerik beliau mereka jadikan pedoman hidup.[3][3]
Kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan,dan taqrir nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan  ini sendiri dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh karena itu, tempat tempat pertemuan di antara kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat  yang biasa digunakan Rasulullah Saw cukup bervariasi, seperti  di mesjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam Perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di rumah).[4][4]
Melalui tempat-tempat tersebut Rasul SAW menyampaikan hadis, yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya oleh mereka (melalui musyahadah).
Menurut riwayat Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasulullah menyampaikan hadisnya dengan  berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya. Ada beberapa cara  Rasul SAW menyampaikan hadis kepada ara sahabat, yaitu:
Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang di sebut majlis al-‘ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi SAw.
Para sahabat begitu antusias untuk bisa tetap mengikuti kegiatan di majlis ini , ini ditunjukkannya dengan banyak upaya. Terkadang diantara mereka bergantian hadir , seperti yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab. Ia sewaktu-waktu bergantian hadir dengan Ibnu Zaid (dari bani Umayah) untuk menghadiri majlis ini, ketika ia berhalangan hadir. Ia berkata: “kalau hari ini aku yang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi , demikian aku melakukannya .”[5][5] Terkadang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya dari sini.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul Saw juga menyampaikan haidisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan hadis , para sahabat yang datang hanya beberapa orang saja, baik karena di sengaja oleh Rasul Saw sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang , seperti hadis-hadis yang di tulis oleh Abdullah Bin Amr Ibnu Al- ‘Ash.
Untuk hal-hal yang sebsitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebetuln biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya. Begitu juga sikap para sahabat ,jika ada hal-ahal yang berkaitan dengan  soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul Saw, seringkali di tanyakan melalui istri-istrinya.
ketiga , cara lain yang dilakukan Rasul Saw adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah.[6][6]
Tujuan Nabi SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat, di antaranya ialah ; a) karena ia bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT kepadanya dalam waktu yang cukup panjang ; b) ia bermaksud menjelaskan kepastian hukum tentang suatu peristiwa yang dilihat dan di alaminya sendiri; c) bermaksud meluruskan akidah yang salah atau tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran islam.[7][7]
b.      Cara-Cara Sahabat Menerima Hadis Dari Rasulullah SAW
Apabila para shahabi berkata yang artinya:
saya mendengar Rasul SAW”[8][8]
      Atau
            Rasulullah SAW Mengkhabarkan kepadaku”
      Atau
            Rasulullah SAW menceritakan kepadaku”
     Atau
            “ Rasulullah SAW menerangkan kepadaku secara lisan”
    Atau
            Aku lihat Rasulullah SAW berbuat”.
Maka semua ulama mengatakan, bahwa yang demikian itu menjadi Hujjah; karena terang bahwa Shahabi itu berhadapan langsung dengan Nabi SAW:
            Apabila seseorang shahabi membawa lafadhnya yang memungkinkan ada perantaraan, seperti ia mengatakan:
“ bersabdalah Rasulullah SAW”
Atau
Rasulullah SAW menyuruh “
“ Rasulullah SAW telah menegah”
“ Rasulullah SAW telah memutuskan”
Maka menurut pendapat Jumhur, juga menjadi Hujjah , baik perawi itu sahabat kecil ataupu shahabi besar , kerena menurut Dhahair Shahabi itu meriwayatkan dari Nabi SAW jika di takdirkan ada perantaraan maka hadis tersebut  menjadi Mursal Shahabi, yang menjadi Hujjah juga menurut Jumhur.[9][9]
        Apabila Shahabi berkata:
            “ kami diperintahkan begini”
    Atau
            “ kami di larang yang demikian “
Maka menurut pendapat Jumhur juga menjadi hujjah, karena menurut dhahir, yang memerintah  dan  menegah  itu adalah Nabi SAW sendiri.
            Abu Bakar Shairafi Al-Isma’ili, Al Juwaini, Al Karakhi, mengatakan bahwa “ yang demikian itu tidak menjadi Hujjah, kerena mungkin yang menyuruh dan menegah itu, bukan Nabi, tetapi sebagian Khalifah.
            Ibnu Daqiqiel ‘Ied menerangkan, bahwa sebagian ulama membedakan antara sahabat-sahabat besar, seperti: Khalifah Empat, Ulama-ulama Sahabat, seperti Ibnu Mas’ud, Zaid ibn Tsabit, Mu’adz bin Jabal, Anas ibn Malik, Abi Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan antara lain mereka.[10][10]



c.       Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadis
Diantara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis. Ada yang memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali . hal ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul Saw. Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga ,perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal dari mesjid Rasul Saw.
Ada beberapa orang sahabat yang dicatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul  Saw dengan beberapa penyebabnya. Mereka itu antara lain:
a.       Para sahabat yang tergolong kelompok Al- Sabiqun Al- Awwalun (yang mula-mula masuk islam), seperti Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud . mereka banyak menerima hadis dari Rasul Saw, karena lebih awal masuk Islam dari sahabat-sahabat lainnya.
b.      Ummahat Al- Mukminin (istri-istri Rasul SAW), seperti Siti  Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul Saw daripada sahabat-sahabat lainnya. Hadis-hadis yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami-istri.
c.       Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul SAW juga menuliskan hadis-hadis yang di terimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-‘Ash.
d.      Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasu SAW, akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secar sungguh-ungguh, seperti Abu Hurairah.
e.       Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.[11][11]

d.      Menghafal dan Menulis Hadis

1.      Menghafal Hadis
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan Hadis, sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul SAW menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-Quran ia secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis di samping di hafal. Sedang terhadap hadis ia hanya menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi dalam hal ini ia bersabda yang artinya.
“Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah di hapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”. (HR Muslim). Alasan Nabi SAW tidak memperkenankan para Sahabat untuk menulis hadis , salah satunya adalah karena dikhawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur’an  dengan tidak sengaja. Oleh karena itu Nabi SAW melarang mereka menulis hadits, beliau Khawatir sabda-sabdanya akan bercampur dengan firman Ilahi.[12][12]
     Maka segala hadis yang diterima dari Rasul SAW oleh para sahabat diingatkan secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasul SAW untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang di terimanya.
            Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Petama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah di warisinya sejak praIslam dan mereka terkenal kuat hafalannya; Kedua, Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya; ketiga, seringkali ia menjajikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.

2.      Menulis Hadis
Di balik larangan Rasul SAW. Seperti pada hadis Abu Sa’id  Al-Khudri di atas, ternyata ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadis dan memiliki catatan –catatannya, ialah:
1.      Abdulillah ibn Amr Al-‘Ash. Ia memiliki catatan hadis yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasul SAW, sehingga di berinya nama al-sahifah  al-shadiqah. Menurut suatu riwayat diceritakan, bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap Abdulillah ibn Amr, karena sikapnya yang selalu menulis apa yang datang dari Rasul SAW mereka berkata: “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan  marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada Rasul SAW, dan Rasul menjawabnya dengan mengatakan yang artinya:

tulislah! Demi zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar daripadanya kecuali yang benar”. (HR. Bukhari)[13][13]

Hadis-hadis yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadis , yang menurut pengakuannya diterima langsung dari  Rasul SAW  ketika mereka berdua

tanpa ada orang lain yang menemaninya.[14][14] 
2.      Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al- Anshari (w. 78 H.). ia memiliki catatan hadis dari Rasul SAW tentang manasik Haji. Hadis-hadisnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini dikenal dengan sahifah Jabir.
3.      Abu Hurairah Al-Dausi (w. 59 H). Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan Al- Sahifah Al-Sahihah. Hasil karyanya ini di wariskan kepada anaknya bernama Hammam.
4.      Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al- Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada Rasul SAW dicatatkan hadis yang disampaikannya ketika pidato pada peristiwa futuh Mekkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang di lakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah terhadap salah seorang lelaki Bani Lais. Rasul SAW. Kemudian bersabda yang artinya:

“kalian tuliskan untuk Abu Syah”.[15][15]

Di samping nama di atas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya, yang juga mengaku memiliki catatan hadis dan di benarkan Rasul SAW . seperti Rafi’ bin Khadij, Amr bin Hazm, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud.[16][16]

C.      HADIS PADA MASA SAHABAT
Periode kedua sejarah pertumbuhan hadis adalah pada masa sahabat, khususnya masa khulafah’ Al- Rasyidin  (Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib ) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang , dan kelihataanya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama di anggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan( al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).
1.        Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain . sebagaimana sabdanya yang artinya:
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berperang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnahku (Al-Hadis). (HR. Malik).”[17][17]
         Dan  sabdanya pula:                                                      
              “Sampaikanlah dariku walau satu ayat /satu hadis”.[18][18]
    
Pesan-pesan Rasulullah SAW sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang di contohkannya.
2.   Berhati-hati Dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadis

Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan Al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar ibn Khattab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman ibn Affan, sehingga melahirkan Mushaf Usmani. Satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf Al-Imam, dan yang empat lagi masing-masing disimpan di Makkah, Bashrah, Syiria dan Kufah. Sikap memusatkan perhatian terhadap Al-Qur’an tidak berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian trhadap hadis. Mereka memegang hadis seperti halnya yang diterimanya dari Rasul SAW secara utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber Tasyri’ setelah Al-Qur’an, yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Qur’an. Oleh karenanya, para sahabat khususnya khulafa’ al-rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatandan penerimaan hadis.[19][19] 
Abu Bakar  sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama kali menerima hadis dengan hati-hati. Diriwayatkan oleh ibn Syihab dari Qabisah ibn Zuaib, bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar soal bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam al-Quran maupun hadis. Al-Mughirah menyebutkan bahwa, Rasul SAW  memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian meminta supaya Al-Mughirahmengajukan saksi lebih dahulu baru kemudian hadisnya diterima.[20][20]
Setelah rasul SAW wafat Abu Bakar pernah mengumpulkan para sahabat. Kepada mereka ia berkata:”kalian meriwayatkan hadis-hadis Rasul SAW yang diperselisihkan orang-orang  setelah kalian akan lebih banyak berselisih karenanya. Maka janganlah kalian meriwayatkan hadis (tersebut).[21][21]
Sikap kehati-hatian juga oleh Umar ibn Khattab. Ia seperti halnya Abu Bakar, suka meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Akan tetapi untuk masalah tertentu acapkali iapun menerima periwayatan tanpa Syahid dari orang tertentu, seperti hadis-hadis dari Aisyah. Sikap kedua sahabat juga diikuti oleh usman dan Ali. Ali, selain dengan cara-cara di atas, juga terkadang mengujinya dengan sumpah.

2.        Periwayatan Hadis dengan Lafaz dan Makna 
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis ,yang di tunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya , tidak berarti hadis-hadis Rasul tidak diriwayatkan.dalam batas-batas tertentu hadis-hadis itu diriwayatkan,khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinya, seperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadis tersebutdan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasul SAW. Pertama, dengan jalan periwayatan lafzy (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW), dan kedua, dengan jalan periwayatan Maknawi (makna saja).

a.      Periwayatan Lafzhi
Seperti telah dikatakan, bahwa periwayatan Lafzhi, adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul  SAW ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redksi dari Rasulullah SAW bukan menurut redaksi mereka. Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis dengan jalan lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia sering kali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya terhadap Ubaid ibn amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadis tentang Lima prinsip dasar islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan keempat, sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah SAW.

b.        Periwayatan Maknawi
Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW. Akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.

D.      HADIS PADA MASA TABI’IN

Pada  dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka , bagaimanapun mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain , usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa Kekhalifaan Usman para sahabat ahli hadis menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam. Kepada merekalah para Tabi’in mempelejari hadis.
Ketika pemerintah  dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan islam sampai meliputi Mesir,Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol, disamping Madinah, Mekkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam, penyebaran para sahabat kedaerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga pada masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (istisydar al-riwayah  ila al-amshdar).

1.      Pusat-pusat Pembinaan Hadis
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut, ialah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi, dan Andalaus, Yaman dan Khurusan. Dari sejumlah para sahabat pembina hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup banyak, antara lain Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas ibn Malik, Aisyah, Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah dan Abi Sa’id Al-Khudri.[22][22]
2.      Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada msa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal  dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam kedalam beberapa kelompok (Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut).
Langsung atau tidak ,dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah  dengan munculnya hadis-hadis palsu (Maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masung kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.[23][23]
Adapun pengaruh yang bersifat positif, adalah lahirnya rencana dan usaha yangmendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai upaya penyelematan dari pemusnahan dan pemalsuan,sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.



BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi SAW baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang di syariatkan kepada manusia .
Para sahabat menerima hadis (Syari’at) dari Rasul SAW ada kala langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada sesuatu soal yang dimajukan oleh seseorang lalu Nabi SAW menjawabnya, ataupun karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala tidak langsung yaitu mereka menerima dari sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya, selain pada masa Rasulullah pertumbuhan hadis juga terjadi pada masa sahabat Rasulullah dan pada masa tabi’in, yang bertujuan untuk menjaga hadis Rasulullah yang merupakan sumber ajaran agama ke dua setelah Al-qur’an.
B.  Saran
sebagai umat islam hendaknya kita menjadikan hadis sebagai sunah Rasul SAW yang harus kita jadikan landasan dan sumber ajaran agama islam, selain itu kitapun harus mengetahui asal muasal petumbuhan dan perkembagan hadis dari zaman Rasulullah SAW sampai munculnya ilmu hadis, Agar kita juga dapat mengetahu bagaimana proses lahir dan tumbuhnya hadis ini, dari zaman Rasulullah sampai masa Tabi’in seperti yang di bahas dalam makalah ini.
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Salawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliau kita dapat menikmati pencerahan iman dan islam dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Sejarah Pertumbuhan Hadis” dalam rangka memenuhi tugas Ilmu Hadis.
Makalah ini telah dibuat berdasarkan hasil diskusi kelompok kami. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Saya  menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun saya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.





















DAFTAR PUSTAKA

Tulisnya “Muhammedanische Studien”,Goldziher berhasil menambahkan keragu-raguan kepada banyak orang islam sendiri terhadap sumber tasyri’ yang kedua ini,(Jakarta:INIS, 1988)

Syahraeni, “Kritik sanad dalam perspektif Sejarah” (Alauddin, samata 2011), cet.ke- 1    hlm. 45 Penerbit: Bulan Bintang.

M. Hasbi Ash Shiddieqy  “Sejarah dan pengantar ilmu hadis” (Yogyakarta 1953),       cet.ke-4 ,hlm. 47 Penerbit: Bulan Bintang

Dr. Mushthafa  Al-Siba’i, “Al-Sunnah Wa Makanatuha fi Al- Tasyri” Al- Islami,(Kairo: Dar Al-Salam 1998), cet. Ke-1, hlm. 64

Ibnu hajar Al-asykalani, fath Al Bari, jilid 1 (Beirut:Dar Al- Fikr Wa Maktabah Al-Salafiyah , t.t), hlm.150.

Mushthafa Al- Siba’i, cit., hlm.64-65

Prfo. DR. H. Abustani Ilyas. M,ag , DR. La Ode Ismail Ahmad, M.th.i “Studi ontologi, epistemologi, dan aksologi ;studi metodologi hadis” (Uin Alauddin, samata 2011) cet. 1      hlm. 61.

Prof. DR.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy “Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis”(Jakarta, Bulan Bintang, Kramat Kwitang) cet. Ke-4 hlm. 71

Prof. DR.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy “Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits.”(Jakarta, Bulan Bintang, Kramat Kwitang), cet. Ke-4  hlm. 72
           
Prof. DR.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy “Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits”(Yogyakarta, Bulan Bintang, Kramat kwitang) cet. Ke-4 hlm.73













































Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda