Senin, 04 April 2016

Pembagian Hadits berdasarkan Kuantitas Perawinya



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

              Dalam pembagian Hadist dilihat drai kuantitas perawinya, para ulama berbeda pendapat. Diantara mereka ada yang mengelompokan menjadi tiga bagian, yaitu hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada pula yang membaginya menjadi dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
             
              Sebagian ulama ushul menjadikan hadist masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk bagian hadist ahad. Degan demikian, pembagian hadist dari segi perawi. Karena rawi terakhir yang menuliskan hadist hidup berbeda zaman dengan Rasulullah SAW, yang sampai kepadanya untuk ditulis melalui rawi-rawi yang panjang dan antargenerasi.
              
B.     Rumusan Masalah
-          Bagaimana langkah-langkah dalam mengartikan pembagian hadits berdasarkan kuantitas perawinya menurut Mustofa Hasan, M. Ag.
-          Bagaimana langkah-langkah dalam menjelaskan pembagian hadits berdasarkan kuantitas perawinya menurut Mustofa Hasan, M. Ag.

C.    Tujuan Masalah
                  Untuk mengungkapkan apa saja langkah-langkah yang dilakukan oleh Mustofa Hasan dalam membahas tentang pembagian hadits berdasarkan kuantitas perawinya.

D.    Kontribusi Akademik
                  Dalam makalah ini penyusun beruhasa mengungkapkan hasil pemikiran Mustofa Hasan dalam membahas pembagian hadits berdasarkan kuantitas perawinya.
BAB II
Kajian Teori
A.    Definisi Pembagian Hadits

1.      Hadist Mutawatir

             Menurut bahasa mutawatir, berarti mutatabi, yakni sesuata yang datang, secara beriringan antara satu dan lainnya dan di antara keduannya tidak ada sekat.
Menurut istilah hadist mutawatir, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil, mereka terlebih dahulu bersepakat.

             Hadist mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu bersepakat untuk tidak berdusta. Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Jika jumlah para sahabat yang menjdi rawi pertama suatu hadist itu banyak sekali, kemudian rawi dalam generasi tabi’inyang menerima hadist dari rawi-rawi generasi pertama (sahabat) juga banyak jumlahnya dan tabi’it-tabi’in yang menerimanya dari tabi’in pun seimbang jumlahnya.

             Menurut ulama yang tidak mengisyaratkan jumlah tertentu, mereka menegaskan bahwa yang penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan bahwa yang diberikan adalah benar dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta.

             Menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya. Al-Qadi Al-Baqillani menetapkan bahwa jumlah perawi hadist mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang. Ia menganalogikan dengan jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi. Sementara itu, Astikhary menetapkan bahwa yang paling baik minimal 10 orang sebab jumlah itu merupakan awal bilangan banyak.[1]

             Ada pula yang mengatakan bahwa jumlah perawi yang diperlukan dalam hadist mutawatir minimal 40 orang. Selain pendapat tersebut, ada juga yang menetapkan jumlah perawi dalam hadist mutawatir sebanyak 70.
             
             Jumlah perawi hadist mutawatir, jika hadist diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian diterima oleh 10 tabiin, tidak dapat digolongkan sebagai hadist mutawatir sebab jumlah perawinya tidak seimbang.

             Berita yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan tanggapan pancaindra. Artinya, berita yang disampaikan harus merupakan hasil pengindraan sendiri.

             Menurut Ibnu hibban dan Al-Hazimy, hadist mutawatir tidak mungkin ada persyaratannya sangat ketat, adapun menurut Ibnu Shalah, hadist mutawatir banyak. Hal itu terbukti dengan munculnya kitab-kitab hadist yang menghimpuun hadist mutawatir, yaitu :
a)      Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah karya As-Suyuti (911 H);
b)      Nadhm Al-Mutanatsir min Al-Hadist Al-Mutawatir karya Muhammad Abdullah bin Ja’far Al-Kattany (1345 H);

1.      Hadist Masyhur

             Hadist masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyn’ (sesuatu yang sudah populer). Adapun menurut istilah ialah hadist yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak mencapai ukuran bilangan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka.
             Hadist masyhur didefinisikan juga sebagai hadist yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadist mutawatir.[2]
           
             Hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, hanya belum mencapai hadist mutawatir. Mudasir mengatakan bahwa hadist ini disebut masyhur karena telah tersebar luas di kalangan masyarakat. Ada ulama yang memasukkan seluruh hadist yang telah populer dalam masyarakat sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik status sahih maupun dha’if ke dalam hadist masyhur.[3]

             Ulama Hanifah mengatakan bahwa hadist masyhur menghasilkan ketenangan hati, kedekatan pada keyakinan dan kewajiban untuk diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir. Hadist masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan dha’if.

             Ulama fiqh menyamakan hadist masyhur dengan hadist mustafidh, yakni hadist yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih sedikit. Ulama lain menolak menyamakan hadist masyhur dengan mutafidh karena pada hadistmasyhur jumlah rawinya tidak harus sama.

             Istilah masyhur ditetapkan pada suatu hadist kadang-kadang bukan untuk menetapkan kriteria hadist menurut jumlah rawi yang meriwayatkannya, melainkan diterapkan untuk memberikan sifat hadist yang dianggap populer oleh para ahli ilmu tertentu dan di kalangan masyarakat tertentu.

2.      Hadist Ahad

             Hadist ahad meurut istilah adalah, khabar yang jumlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadist mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya. Yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadist mutawatir.

             Menurut Abdul Wahab Khallaf, hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih, tetapi jumlahnya tidak mencapai perawi hadist mutawatir. Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama hingga terakhir.

             Jumhur ulama sepakat bahwa hadist ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul, hukumnya wajib. Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad memakai hadist ahad apabila syarat-syarat periwayatannya yang shahih telah terpenuhi. Akan tetapi, Abu Hanifah menetapkan syarat siqah dan adil bagi perawinya. Adapun Imam Malik menetapkan persyaratan bahwa perawinya hadist ahad tidak menyalahi amalan ahli madinah. Pada hadist ahad, jumlah rawi pada setiap tingkatan terdiri atas satu, dua, tiga atau lebih.

3.      Hadist Shahih

             Shahih meurut bahasa berarti lawan sakit. Kata shahih juga telah menjadi kosakata bahasa indonesia dengan arti sah, benar, sempurna, sehat, dan pasti. Menurut ta’rif muhadditsin bahwa suatu hadist dapat dinilai shahih, apabila memenuhi lima syarat, yaitu :
c)      Rawinya bersifat adil.
d)     Sempurna ikatan.
e)      Sanadnya tiada putus.
f)       Hadist itu tidak ber’illat.
g)      Tidak janggal.

             Ibnu Shalah berpendapat bahwa, syarat hadist shahih seperti di atas, telah disepakati oleh para muhadditsin. Hanya saja, banyak perselisihan tentang keshahihan suatu hadist, bukan karena syarat-syarat itu sendiri, melainkan karena adanya perselisihan dalam menetapkan dalam mensyaratkan sebagian sifat-sifat tesebut.
             
             Abi Zinad mensyaratkan bagi hadist shahih, hendaknya rawinya mempunyai ketenaran dan keahlian dalam menyampaikan hadist. Ibnu As-Sam’any mengatakan, hadist shahih itu tidak cukup diriwayatkan oleh rawi yang adil saja, tetapi juga harus diriwayatkan oleh orang yang paham terhadap hadist yang diriwayatkan. Bnyak hadist yang didengarnya dan ingatannya kuat.

             Abu Hanifah mensyaratkan, perawinya harus benar-benar paham. Ibnu Hajar tidak sependapat dengan ketentuan syarat-syarat hadist shahih sebagaimana yang telah diutarakan oleh ulama-ulama. Sebab syarat-syarat yang dikemukakan oleh Ibnu As-Sam’any itu sudah termasuk dalam syarat “tidak ber’illat”.

             Diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya amalan baik hadist yang diriwayatkan, mengatahui perubahan arti hadist apabila terjadi perubahan lafalnya; mampu meriwayatkan hadist secaralafal; terpeliharahafalannya apabila meriwayatkan hadist secara lafal, bunyi hadist yang diriwayatkan sama dengan bunyi hadist yang diriwayatkan oleh orang lain.

4.      Hadist Hasan

              Hadist hasan menurut bahasa yaitu, berasal dari kata al-husnu (keindahan), sedangkan menurut istilah adalah, para ulama memberi definisi hadist hasan secara beragam, Namun, yang lebih kuat adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani yaitu, hadist yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, tidak ada keganjilan, dan tidak ada ‘illat.

              Menurut At-Tirmidzi masih belum jelas karena perawinya tidak tertuduh dusta dan matannya tidak terdapat kejanggalan disebut hadist shahih. Akan tetapi, At-Tirmidzi tidak bermaksud menyamakan hadist hasan dan hadist shahih, karena At-Tirmidzi yang mula-mula memunculkan hadist hasan.

5.      Hadist Dha’if

               Hadist dha’if dari segi bahasa dha’if berarti lemah, lawan dari al-qawi yang berarti kuat. Kelemahan hadist dha‘if ini karna sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadist kuat yang di terima sebagai hujjah.

              Menurut istilah hadist dha‘if adalah hadist yang tidak menghimpun sifat hadist hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi. atau definisi lain yang biasa diungkapkan mayoritas ulama adalah hadist yang tidak menghimpun sifat hadist shahih dan hasan.

               Jadi, hadist dha’if adalah hadist yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadist hasan atau shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (mustahil), para perawinya tidak adil, terjadi keganjilan, baik dalam sanad atau matan dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘illat) pada sanad dan matan.

               Hadist dha‘if tidak identik dengan hadist mawdhu’ (hadist palsu) di antara hadist dha‘if terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah seperti daya hafalan yang kurang kuat, tetapi adil dan jujur. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadist dha‘if sekalipun tanpa menjelaskan kedo ‘ifan nya dalam 2 syarat, yaitu sebagai berikut :
a.       Tidak berkaitan dengan akidah atau sifat-sifat Allah.
b.      Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi berkaitan dengan hadist-hadist tentang ancaman, janji, kisah-kisah dan lain-lain.

               Dalam meriwayatkat hadist dha’if, jika tanpa sanad maka sebaiknya tidak menggunakan kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan kebenaran Rasulullah SAW. Tetapi cukup menggunakan kata pasif (mabni majhul) yang meragukan. Periwayatan hadist dha’if dilakukan karena berhati-hati.

                Ibnu Hajar Al-Asqalani memaparkan, ada beberapa persyaratan, diantaranya yaitu :
a)      Tidak terlalu dha’if.
b)      Masuk ke dalam kategori hadist yang diamalkan (ma’mul bih).
c)      Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadist dari Nabi, karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.

B.     Cabang-cabang Hadits

a)      Hadits Mutawatir
-          Mutawatir Lafzhi;
-          Mutawatir Ma’nawi;
-          Mutawatir ‘Amali;.[4]
b)      Hadits Masyhur
-          Masyhur Ishthilahi;
-          Masyhur Ghayr Ishthilahi;.[5]
c)      Hadits Ahad
-          Hadits masyhur;
-          Hadits ‘aziz;
-          Hadits gharib;.[6]
d)     Hadits Shahih
-          Shahih Lidzatih (shahih dengan sendirinya);
-          Shahih Lighayrih (shahih karena yang lain);.[7]
e)      Hadist Hasan
-          Hasan Lidzatih;
-          Hasan Lighayrih;.[8]
f)       Hadits Dha’if
-          Hadits Mursal;
-          Hadits Munqati’;
-          Hadits Mu’dhal;
-          Hadits Mudallas;.[9]





















BAB III
PEMBAHASAN

A.    Langkah-langkah dalam mengartikan pembagian hadits berdasarkan kuantitas perawinya menurut Mustofa Hasan, M. Ag.

           Langkah yang dilakukan oleh Mustofa Hasan, M. Ag adalah dengan menggunakan metode pendekatan historis dengan cara mengutip dari berbagai sumber buku yang dapat digunakan sebagai rujukan atau referensi.

B.     Langkah-langkah dalam menjelaskan pembagian hadits berdasarkan kuantitas perawinya menurut Mustofa Hasan, M. Ag.

          Dalam pembagian Hadist dilihat drai kuantitas perawinya, para ulama berbeda pendapat. Diantara mereka ada yang mengelompokan menjadi tiga bagian, yaitu hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada pula yang membaginya menjadi dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
             
           Sebagian ulama ushul menjadikan hadist masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk bagian hadist ahad. Degan demikian, pembagian hadist dari segi perawi. Karena rawi terakhir yang menuliskan hadist hidup berbeda zaman dengan Rasulullah SAW, yang sampai kepadanya untuk ditulis melalui rawi-rawi yang panjang dan antargenerasi.
             







BAB IV
PENUTUP
v  Kesimpulan
-          Dalam pembagian Hadist dilihat drai kuantitas perawinya, para ulama berbeda pendapat. Diantara mereka ada yang mengelompokan menjadi tiga bagian, yaitu hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada pula yang membaginya menjadi dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.

-          Sebagian ulama ushul menjadikan hadist masyhur berdiri sendiri,               tidak termasuk bagian hadist ahad. Degan demikian, pembagian hadist dari segi perawi. Karena rawi terakhir yang menuliskan hadist hidup berbeda zaman dengan Rasulullah SAW, yang sampai kepadanya untuk ditulis melalui rawi-rawi yang panjang dan antargenerasi.

-          Cabang-cabang Hadits

                           a) Hadits Mutawatir
                               - Mutawatir Lafzhi;
                               - Mutawatir Ma’nawi;
                               - Mutawatir ‘Amali;.
                           b) Hadits Masyhur
                               - Masyhur Ishthilahi;
                               - Masyhur Ghayr Ishthilahi;.
                            c) Hadits Ahad
                              - Hadits masyhur;
                              - Hadits ‘aziz;
                              - Hadits gharib;.
                             d) Hadits Shahih
                              - Shahih Lidzatih (shahih dengan sendirinya);
                             - Shahih Lighayrih (shahih karena yang lain);.
                            e) Hadist Hasan
                              - Hasan Lidzatih;
                              - Hasan Lighayrih;.
                            f) Hadits Dha’if
                             - Hadits Mursal;
                             - Hadits Munqati’;
                             - Hadits Mu’dhal;
                             - Hadits Mudallas;.






















Literatur

Ø  Hasan, M. 2012. Ilmu Hadits. Bandung : Pustaka Setia.
Ø  K, Majid, A. 2013. Ulumul Hadits. Jakarta : Amzah.
Ø  Fatakh, Abdul dan H. Wasman. 2015. Pengantar Studi Hadits. Cirebon : Cetak Mandiri.
Ø  Khaeruma, Badri. 2010. Ulumul Al-Hadits. Bandung : Pustaka setia.



[1] Mustofa Hasan, M. Ag “Ilmu Hadits” (Bandung, Pustaka Setia, 2012) hlm. 192
[2] Ibid., hlm. 204
[3] H. Abdul Majid khon “Ulumul Hadits”  (Jakarta, Amzah, 2013)
[4] Ibid, (H. Abdul Majid khon) hlm, 150
[5] Ibid, (H. Abdul Majid khon) hlm, 155
[6] H. Wasman, MA dan Abdul Fatakh, SHI., S.H., M. Hum “Pengantar Studi Hadits”(cirebon, 2015)
[7] Ibid, (H. Abdul Majid khan) hlm, 173
[8] Ibid, (H. Abdul Majid khan) hlm, 180
[9] Ibid, (Mustofa Hasan, M. Ag) hlm, 231

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda