Pembagian Hadits berdasarkan Kuantitas Perawinya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam pembagian Hadist dilihat
drai kuantitas perawinya, para ulama berbeda pendapat. Diantara mereka ada yang
mengelompokan menjadi tiga bagian, yaitu hadits mutawatir, masyhur, dan ahad.
Ada pula yang membaginya menjadi dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan hadits
ahad.
Sebagian ulama ushul menjadikan
hadist masyhur berdiri sendiri, tidak
termasuk bagian hadist ahad. Degan
demikian, pembagian hadist dari segi perawi. Karena rawi terakhir yang
menuliskan hadist hidup berbeda zaman dengan Rasulullah SAW, yang sampai
kepadanya untuk ditulis melalui rawi-rawi yang panjang dan antargenerasi.
B.
Rumusan
Masalah
-
Bagaimana langkah-langkah
dalam mengartikan pembagian hadits berdasarkan kuantitas perawinya menurut
Mustofa Hasan, M. Ag.
-
Bagaimana langkah-langkah
dalam menjelaskan pembagian hadits berdasarkan kuantitas perawinya menurut
Mustofa Hasan, M. Ag.
C.
Tujuan
Masalah
Untuk mengungkapkan apa saja
langkah-langkah yang dilakukan oleh Mustofa Hasan dalam membahas tentang
pembagian hadits berdasarkan kuantitas perawinya.
D.
Kontribusi
Akademik
Dalam makalah ini penyusun
beruhasa mengungkapkan hasil pemikiran Mustofa Hasan dalam membahas pembagian
hadits berdasarkan kuantitas perawinya.
BAB II
Kajian Teori
A.
Definisi
Pembagian Hadits
1.
Hadist
Mutawatir
Menurut
bahasa mutawatir, berarti mutatabi, yakni sesuata yang datang,
secara beriringan antara satu dan lainnya dan di antara keduannya tidak ada
sekat.
Menurut
istilah hadist mutawatir, yaitu
hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil,
mereka terlebih dahulu bersepakat.
Hadist mutawatir harus
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu
bersepakat untuk tidak berdusta. Mengenai masalah ini, para ulama berbeda
pendapat. Ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya.
Jika jumlah para sahabat yang menjdi rawi pertama suatu hadist itu banyak
sekali, kemudian rawi dalam generasi tabi’inyang menerima hadist dari rawi-rawi
generasi pertama (sahabat) juga banyak jumlahnya dan tabi’it-tabi’in yang
menerimanya dari tabi’in pun seimbang jumlahnya.
Menurut ulama yang tidak
mengisyaratkan jumlah tertentu, mereka menegaskan bahwa yang penting dengan
jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan bahwa yang diberikan
adalah benar dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta.
Menurut ulama yang menetapkan
jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya. Al-Qadi
Al-Baqillani menetapkan bahwa jumlah perawi hadist mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang. Ia
menganalogikan dengan jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi. Sementara itu, Astikhary menetapkan bahwa yang paling
baik minimal 10 orang sebab jumlah itu merupakan awal bilangan banyak.[1]
Ada pula yang mengatakan bahwa
jumlah perawi yang diperlukan dalam hadist mutawatir minimal 40 orang. Selain pendapat tersebut, ada juga yang
menetapkan jumlah perawi dalam hadist mutawatir sebanyak 70.
Jumlah perawi hadist mutawatir, jika hadist diriwayatkan oleh 20 orang
sahabat, kemudian diterima oleh 10 tabiin, tidak dapat digolongkan sebagai
hadist mutawatir sebab jumlah
perawinya tidak seimbang.
Berita yang disampaikan oleh
perawi harus berdasarkan tanggapan pancaindra. Artinya, berita yang disampaikan
harus merupakan hasil pengindraan sendiri.
Menurut
Ibnu hibban dan Al-Hazimy, hadist mutawatir
tidak mungkin ada persyaratannya sangat ketat, adapun menurut Ibnu Shalah,
hadist mutawatir banyak. Hal itu terbukti dengan munculnya kitab-kitab hadist yang
menghimpuun hadist mutawatir, yaitu :
a) Al-Azhar Al-Mutanatsirah
fi al-Akhbar al-Mutawatirah karya As-Suyuti (911 H);
b) Nadhm Al-Mutanatsir min
Al-Hadist Al-Mutawatir karya Muhammad Abdullah
bin Ja’far Al-Kattany (1345 H);
1.
Hadist
Masyhur
Hadist masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar
wa az-zuyn’ (sesuatu yang sudah populer). Adapun menurut istilah ialah
hadist yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak mencapai ukuran
bilangan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula
setelah mereka.
Hadist masyhur didefinisikan juga
sebagai hadist yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dari dua jalan
dan tidak sampai kepada batas hadist mutawatir.[2]
Hadist masyhur adalah hadist yang
diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, hanya belum mencapai hadist
mutawatir. Mudasir mengatakan bahwa hadist ini disebut masyhur karena telah tersebar luas di kalangan masyarakat. Ada
ulama yang memasukkan seluruh hadist yang telah populer dalam masyarakat
sekalipun tidak mempunyai sanad sama
sekali, baik status sahih maupun dha’if ke dalam hadist masyhur.[3]
Ulama Hanifah mengatakan bahwa
hadist masyhur menghasilkan ketenangan hati, kedekatan pada keyakinan dan
kewajiban untuk diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.
Hadist masyhur ini ada yang berstatus sahih,
hasan dan dha’if.
Ulama fiqh menyamakan hadist
masyhur dengan hadist mustafidh,
yakni hadist yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih sedikit. Ulama lain
menolak menyamakan hadist masyhur dengan mutafidh
karena pada hadistmasyhur jumlah rawinya tidak harus sama.
Istilah masyhur ditetapkan pada suatu hadist
kadang-kadang bukan untuk menetapkan kriteria hadist menurut jumlah rawi yang
meriwayatkannya, melainkan diterapkan untuk memberikan sifat hadist yang
dianggap populer oleh para ahli ilmu tertentu dan di kalangan masyarakat
tertentu.
2.
Hadist
Ahad
Hadist ahad meurut istilah adalah, khabar yang
jumlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadist mutawatir, baik perawinya
itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya. Yang memberikan pengertian bahwa
jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadist mutawatir.
Menurut Abdul Wahab Khallaf,
hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih,
tetapi jumlahnya tidak mencapai perawi hadist mutawatir. Keadaan perawi seperti
ini terjadi sejak perawi pertama hingga terakhir.
Jumhur ulama sepakat bahwa hadist
ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul, hukumnya wajib. Abu Hanifah, Imam
Syafi’i, dan Imam Ahmad memakai hadist ahad apabila syarat-syarat
periwayatannya yang shahih telah terpenuhi. Akan tetapi, Abu Hanifah menetapkan
syarat siqah dan adil bagi perawinya. Adapun Imam Malik menetapkan persyaratan
bahwa perawinya hadist ahad tidak menyalahi amalan ahli madinah. Pada hadist
ahad, jumlah rawi pada setiap tingkatan terdiri atas satu, dua, tiga atau
lebih.
3.
Hadist
Shahih
Shahih meurut bahasa berarti lawan sakit. Kata
shahih juga telah menjadi kosakata bahasa indonesia dengan arti sah, benar, sempurna, sehat, dan pasti. Menurut ta’rif muhadditsin bahwa
suatu hadist dapat dinilai shahih, apabila memenuhi lima syarat, yaitu :
c) Rawinya
bersifat adil.
d) Sempurna
ikatan.
e) Sanadnya
tiada putus.
f) Hadist
itu tidak ber’illat.
g) Tidak
janggal.
Ibnu Shalah berpendapat bahwa,
syarat hadist shahih seperti di atas, telah disepakati oleh para muhadditsin.
Hanya saja, banyak perselisihan tentang keshahihan suatu hadist, bukan karena
syarat-syarat itu sendiri, melainkan karena adanya perselisihan dalam
menetapkan dalam mensyaratkan sebagian sifat-sifat tesebut.
Abi Zinad mensyaratkan bagi hadist
shahih, hendaknya rawinya mempunyai ketenaran dan keahlian dalam menyampaikan
hadist. Ibnu As-Sam’any mengatakan, hadist shahih itu tidak cukup diriwayatkan
oleh rawi yang adil saja, tetapi juga harus diriwayatkan oleh orang yang paham
terhadap hadist yang diriwayatkan. Bnyak hadist yang didengarnya dan ingatannya
kuat.
Abu Hanifah mensyaratkan,
perawinya harus benar-benar paham. Ibnu Hajar tidak sependapat dengan ketentuan
syarat-syarat hadist shahih sebagaimana yang telah diutarakan oleh ulama-ulama.
Sebab syarat-syarat yang dikemukakan oleh Ibnu As-Sam’any itu sudah termasuk
dalam syarat “tidak ber’illat”.
Diriwayatkan oleh para perawi yang dapat
dipercaya amalan baik hadist yang diriwayatkan, mengatahui perubahan arti
hadist apabila terjadi perubahan lafalnya; mampu meriwayatkan hadist
secaralafal; terpeliharahafalannya apabila meriwayatkan hadist secara lafal,
bunyi hadist yang diriwayatkan sama dengan bunyi hadist yang diriwayatkan oleh
orang lain.
4.
Hadist
Hasan
Hadist hasan menurut bahasa
yaitu, berasal dari kata al-husnu (keindahan), sedangkan menurut istilah
adalah, para ulama memberi definisi hadist
hasan secara beragam, Namun, yang lebih kuat adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani yaitu, hadist yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh orang adil, tidak ada keganjilan, dan tidak ada ‘illat.
Menurut
At-Tirmidzi masih belum jelas karena perawinya tidak tertuduh dusta dan
matannya tidak terdapat kejanggalan disebut hadist shahih. Akan tetapi,
At-Tirmidzi tidak bermaksud menyamakan hadist hasan dan hadist shahih, karena
At-Tirmidzi yang mula-mula memunculkan hadist hasan.
5.
Hadist
Dha’if
Hadist
dha’if dari segi bahasa dha’if berarti lemah, lawan dari al-qawi yang berarti
kuat. Kelemahan hadist dha‘if ini karna sanad dan matannya tidak memenuhi
kriteria hadist kuat yang di terima sebagai hujjah.
Menurut istilah hadist dha‘if
adalah hadist yang tidak menghimpun sifat hadist hasan sebab satu dari beberapa
syarat yang tidak terpenuhi. atau definisi lain yang biasa diungkapkan
mayoritas ulama adalah hadist yang tidak menghimpun sifat hadist shahih dan
hasan.
Jadi, hadist dha’if adalah
hadist yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadist hasan atau
shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (mustahil), para perawinya tidak
adil, terjadi keganjilan, baik dalam sanad atau matan dan terjadinya cacat yang
tersembunyi (‘illat) pada sanad dan matan.
Hadist dha‘if tidak identik
dengan hadist mawdhu’ (hadist palsu) di antara hadist dha‘if terdapat kecacatan
para perawinya yang tidak terlalu parah seperti daya hafalan yang kurang kuat,
tetapi adil dan jujur. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadist dha‘if
sekalipun tanpa menjelaskan kedo ‘ifan nya dalam 2 syarat, yaitu sebagai
berikut :
a. Tidak
berkaitan dengan akidah atau sifat-sifat Allah.
b. Tidak
menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi
berkaitan dengan hadist-hadist tentang ancaman, janji, kisah-kisah dan
lain-lain.
Dalam meriwayatkat hadist dha’if,
jika tanpa sanad maka sebaiknya tidak menggunakan kata aktif (mabni ma’lum)
yang meyakinkan kebenaran Rasulullah SAW. Tetapi cukup menggunakan kata pasif
(mabni majhul) yang meragukan. Periwayatan hadist dha’if dilakukan karena berhati-hati.
Ibnu Hajar Al-Asqalani memaparkan,
ada beberapa persyaratan, diantaranya yaitu :
a) Tidak
terlalu dha’if.
b) Masuk
ke dalam kategori hadist yang diamalkan (ma’mul
bih).
c) Tidak
diyakinkan secara yakin kebenaran hadist dari Nabi, karena berhati-hati semata
atau ikhtiyath.
B.
Cabang-cabang
Hadits
a) Hadits
Mutawatir
-
Mutawatir Lafzhi;
-
Mutawatir Ma’nawi;
-
Mutawatir ‘Amali;.[4]
b) Hadits
Masyhur
-
Masyhur Ishthilahi;
-
Masyhur Ghayr
Ishthilahi;.[5]
c) Hadits
Ahad
-
Hadits masyhur;
-
Hadits ‘aziz;
-
Hadits gharib;.[6]
d) Hadits
Shahih
-
Shahih Lidzatih (shahih
dengan sendirinya);
-
Shahih Lighayrih (shahih
karena yang lain);.[7]
e) Hadist
Hasan
-
Hasan Lidzatih;
-
Hasan Lighayrih;.[8]
f) Hadits
Dha’if
-
Hadits Mursal;
-
Hadits Munqati’;
-
Hadits Mu’dhal;
-
Hadits Mudallas;.[9]
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Langkah-langkah
dalam mengartikan pembagian hadits berdasarkan kuantitas perawinya menurut
Mustofa Hasan, M. Ag.
Langkah yang dilakukan oleh Mustofa
Hasan, M. Ag adalah dengan menggunakan metode pendekatan historis dengan cara
mengutip dari berbagai sumber buku yang dapat digunakan sebagai rujukan atau
referensi.
B.
Langkah-langkah
dalam menjelaskan pembagian hadits berdasarkan kuantitas perawinya menurut
Mustofa Hasan, M. Ag.
Dalam pembagian Hadist dilihat drai
kuantitas perawinya, para ulama berbeda pendapat. Diantara mereka ada yang
mengelompokan menjadi tiga bagian, yaitu hadits mutawatir, masyhur, dan ahad.
Ada pula yang membaginya menjadi dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan hadits
ahad.
Sebagian ulama ushul menjadikan
hadist masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk bagian hadist ahad. Degan
demikian, pembagian hadist dari segi perawi. Karena rawi terakhir yang
menuliskan hadist hidup berbeda zaman dengan Rasulullah SAW, yang sampai
kepadanya untuk ditulis melalui rawi-rawi yang panjang dan antargenerasi.
BAB IV
PENUTUP
v Kesimpulan
-
Dalam pembagian Hadist
dilihat drai kuantitas perawinya, para ulama berbeda pendapat. Diantara mereka
ada yang mengelompokan menjadi tiga bagian, yaitu hadits mutawatir, masyhur,
dan ahad. Ada pula yang membaginya menjadi dua bagian, yaitu hadits mutawatir
dan hadits ahad.
-
Sebagian ulama ushul
menjadikan hadist masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk bagian hadist
ahad. Degan demikian, pembagian hadist dari segi perawi. Karena rawi terakhir
yang menuliskan hadist hidup berbeda zaman dengan Rasulullah SAW, yang sampai
kepadanya untuk ditulis melalui rawi-rawi yang panjang dan antargenerasi.
-
Cabang-cabang Hadits
a) Hadits Mutawatir
- Mutawatir
Lafzhi;
- Mutawatir
Ma’nawi;
- Mutawatir
‘Amali;.
b) Hadits Masyhur
- Masyhur
Ishthilahi;
- Masyhur Ghayr
Ishthilahi;.
c) Hadits Ahad
- Hadits masyhur;
- Hadits ‘aziz;
- Hadits gharib;.
d) Hadits Shahih
- Shahih Lidzatih
(shahih dengan sendirinya);
- Shahih Lighayrih
(shahih karena yang lain);.
e) Hadist Hasan
- Hasan Lidzatih;
- Hasan
Lighayrih;.
f) Hadits Dha’if
- Hadits Mursal;
- Hadits Munqati’;
- Hadits Mu’dhal;
- Hadits
Mudallas;.
Literatur
Ø Hasan,
M. 2012. Ilmu Hadits. Bandung :
Pustaka Setia.
Ø K,
Majid, A. 2013. Ulumul Hadits.
Jakarta : Amzah.
Ø Fatakh,
Abdul dan H. Wasman. 2015. Pengantar
Studi Hadits. Cirebon : Cetak Mandiri.
Ø Khaeruma,
Badri. 2010. Ulumul Al-Hadits.
Bandung : Pustaka setia.
[1] Mustofa Hasan, M. Ag “Ilmu
Hadits” (Bandung, Pustaka Setia, 2012) hlm. 192
[2] Ibid., hlm. 204
[3] H. Abdul Majid khon “Ulumul
Hadits” (Jakarta, Amzah, 2013)
[4] Ibid, (H. Abdul Majid khon) hlm,
150
[5] Ibid, (H. Abdul Majid khon)
hlm, 155
[6] H. Wasman, MA dan Abdul Fatakh, SHI., S.H., M. Hum “Pengantar Studi Hadits”(cirebon, 2015)
[7] Ibid, (H. Abdul Majid khan)
hlm, 173
[8] Ibid, (H. Abdul Majid khan) hlm,
180
[9] Ibid, (Mustofa Hasan, M. Ag)
hlm, 231
Label: Makalah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda