Model Penelitian Tafsir
Model Penelitian Tafsir
A.
Pengertian Tafsir dan Fungsinya
Tafsir
berasal dari bhasa Arab, fassiru, tafsiran yang berarti penjelasan,
pemahaman dan perincian. selain itu tafsir juga berarti al-idlab yaitu
penjelas dan keterangan. Pengertian tafsir sebagaimana yang dikemukaan pakar
al-Qur’an tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Al
Jurjani misalnya: mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat
al-Qur’an dari berbagai segi, baik konteks historisnya maupun sebab
al-nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan dan keterangan yang dapat menunjukan
kepada makna yang dikehendaki secara
terang dan jelas. Sementara itu Imam al-Zarqani mengatakan, bahwa tafsir ilmu
yang membahas al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai
dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Az-Zarkasih mengatakan
bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan al-Qur’an
yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, dengan cara mengambil penjelasan
maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
Dari
beberapa pengertian di atas kita
menemukan tiga ciri utama tafsir. Pertama, segi obyek pembahasanya
adalah kitabbullah yang di dalamnya terkandung firman Allah yang diturunkan Allah
kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Kedua, dilihat dari segi
tujuannya adalah untuk menjelaskan menerangkan, menyikapi kandungan al- Qur’an
sehingga dapat dijumpai hikmah, hukum, ketetapan dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Ketiga, dilihat
dari segi sifat dan kedudukannya adalah penalaran, kajian dan ijtihad para
mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya,
sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
Dengan
demikian secara singkat pengertian model penelitian tafsir adalah suatu contoh,
ragam, acuan, atau macam dari penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran
al-Qur’an yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahu secara pasti
tentang berbagai hal yang terkait dengannya.
Obyek
pembahasan tafsir adalah Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam. kitab suci
menempati posisi sentral. berdasarkan kedudukan dan peran al-Qur’an, Quraish
Shihab mengatakan pemahaman terhadaf penafsiran al-Qur’an berperan sekali
terhadap maju mundurnya umat.
B.
Latar Belakang Penelitian Tafsir
Pada
saat al-Qur’an diturunkan 15 Abad yang
lalu, Rasulullah sebagai mubayyin (pemberi penelasan) telah menjelaskan
arti dan kandungan al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya, menyangkut ayat yang
tidak dipahami atau sama artinya. Kalau pada jaman Rosulullah, para sahabat
menanyakan persoalan yang tidk jelas kepada beliau, setelah wafatnya maka
terpaks melakukan ijtihad, khususnya mereka yang memiliki kemampuan seperti Ali
bin Abi Thalib, Ibn Abas, Ubay bin Ka’ab dan Ibn Masud. Para tokoh dari
kalangan sahabat mempunya murid dari para’ Tabi’in. Sehingga lahirlah
tokoh-tokoh Tafsir baru dari kalangan tabiin.
Gabungan
dari ketiga sember diatas yaitu penafsiran Rasullulah, Penafsiran Sahabat,
penafsiran Tabi;in dikelompokan menjadi satu kelompok, yang selanjutnya menjadi
priode pertama dari perkembangan tafsir. Beralakunya periode pertama setelah
berakhirnya masa tabi’in. sekitar tahun 150 H. priode kedua, hadits-hadits
palsu telah banyak beredar di tengah-tengah masyarakat, semntara itu perubahan
masyarakat sangat menonjol dan timbul beberapa persoalan yang tidak terjadi
pada masa Nabi Muhammad, sahabat dan tabi’in.
Pada
mulanya usaha penafsiran masih sangat terbatas namun sejalan dengan
perkembangan masayarakat, bertambahpula peranan akal, ijtihad dalam penafsiran
ayat-ayat al- Quran. keragaman tersebut ditunjang pula oleh al-Quran, seperti
dikatakan oleh Abdullah Darraz dalam al-Naba’ Al-Azbim ”Bagaikan intan
yang tiap sudutnnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar
dari sudut-sudut lain. Berdasarkan pada adanya upaya penafsiran al-Quran dari sejak zaman
Nabi Muhammad, sehigga dewasa ini ada sifat dari Kandungan al- Quran yang
memancarkan cahaya kebenaran.
C.
Model-Model Penelitian Tafsir
Berikut
ini kami akan kemukakan beberapa model penafsiran al- Quran yang dilakukan para
ulama tafsir, sebagai berikut.
1.
Model Quraish Shihab
Model
Tafsir yang dikembangkan oleh Quraish Shihab banyak bersifat eksploratif,
deskriptif, analitis dan perbandingan. yaitu menggali sejauh mungkin produk
tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan literature
tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang
bersangkutan maupun ulama lainya. Data-data literature tersebut kemudian di
deskripsikan secara lengkap serta dianalisis dengan menggunakan pendekatan
kategorisasi dan perbandingan.
Quraish
Shihab telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang dilaukan oleh para ulama
terdahulu. Dari penelitian tersbut telah dihasilkan beberapa kesimpulan
berkenaan dengan tafsir, antara lain tentang :
a.
Periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir.
b.
Corak-corak penafsiran
c.
Macam-macam metode penafsiran al- Qur’an
d.
Syarat-syarat dalam menafsirkan al- Qur’an
e.
Hubungan tafsir modereniasi.
Aspek-
aspek di atas dapat dikeukakan secar singkat sebagai berikut:
1.
Periodesasi Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir
Menurut Quraish Shihab jika
penafsiran dilihat dari segi penulisanya ( Kodifikasi) maka perkembangan tafsir
dibagi menjadi tiga Priode. (Priode I), yaitu masa Rosulullah,
Sahabat dan permulaan Tabiin, dimana waktu itu tafsir belum secara tertulis
tapi penyenyebaranya secara lisan. (Priode II), Bermula dengan
kodifikasi hadits secara resmi ketika pemerintahan “Umar bin Abdul’ Aziz”
(99-101 H.) dimana ketika itu tafsir ditulis dan bergabung dengan penulisan
hadits. (Priode III), penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus
dan berdiri sendiri. Priodesasi tersebut dapat di tambah lagi dengan (priode
ke empat) yaitu muncul para peneliti tafsir membukukan hasil
penelitianya itu sehingga dapat membantu masyarakat mengenal karya – karya
tafsir yang ditulis oleh ulama sebelumnya.
2.
Corak Penafsiran
Quraish
Shihab mengatakan bahwa corak-corak afsir dikenal antara lain :
a.
Corak Sastra ( Bahasa )
b.
Corak Filsafat dan Teologi
c.
Corak Penafsiran Ilmiah
d.
Corak Fiqh atau Hukum
e.
Corak Tawauf
f.
Corak sastra budaya kemasyarakatan
3.
Macam-macam Metode Penafsiran Al- Quran
Menurut
hasil penelitian Quraish Shihab, Metode penafsiran Al-Qur’an secara garis besar
dapat dibagi kedua bagian yaitu corak Ma’tsur ( Riwayat ) dan corak
penalaran, dapat dikemukakan sebagai berikut.
a)
Corak Ma’tsur ( Riwayat )
Kalau
kita mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi SAW, ditemukan pada
dasarnya setelah gagal menemukan penjelasan nabi, mereka merujuk pada
penggunaan bahasa dan syair-syair arab. Metode Mat’sur memilik keistimewaan
antara lain :
-
Menekankan bahasa dalam memahami Al- Qur’an
-
Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika
penyampaian pesan pesannya.
-
Mengikuti Mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat
sehingga membatasi terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.
Sedangkan
kelemahannya antara lain :
-
Terjerumusnya mufasir kedalam uraian kebahasaan
dan kesusastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al- Qur’an kabur di
celah uraian tersebut.
-
Seringnya konteks turunya ayat ( uraian
asbab-nuzul ) atau sisi kornologis turunya ayat-ayat hukum yang dipahami dari
uraian nasib mansukh hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali.
b)
Corak Penalaran
Menurut
pandangan al- Farmawi yang membagi metode tafsir yang bercorak penalaran ini,
kepada empat macam metode, yaitu tahlily, ijmali, muqarin dan maudlu’iy.
Dapat dikemukanan sebagai berikut.
a)
Metode Tahlily
Metode
tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari
berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana
tercantum di dalam mushhaf.
Kelebihan metode
ini adanya potensi untuk memperkaya kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap
kosakata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu.
b)
Metode
Ijmali
Metode
Ijmali atau disebut juga dengan metode global adalah cara mentafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan menunjukan kandungan makna yang terdapat pada suatu
ayat global. Dalam prakteknya metode ini sering terintegrasi dengan metode
tahlily karena itu seringkali metode ini tidak dibahas tersendiri. Dengan
metode ini seorang musafir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung
dalam ayat tersebut secara garis besar aja.
c)
Metode
Muqarin
Metode
Muqarin adalah suatu metode tafsir al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
membandingkan ayat al-Qur’an yang satu dengan lainnya, yaitu ayat-ayat yang
mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda, dan atau
yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau
diduga sama, dan atau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadist-hadist
Nabi Muhammad SAW., yang tampak bertentangan, serta membandingkan
pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran al-Qur’an.
d)
Metode
Maudlu’iy
Metode
Maudlu’iy dimana musafirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari
berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang diterapkan
sebelumnya. Kemudian penafsiran membahas dan menganalisa kandungan ayat-ayat
tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Adanya
metode penafsiran dengan cara tematik tersebut, menurut Quraish Shihab berasal
dari Mahmud Syaltout. Dalam hubungan ini Quraish Shihab mengatakan, bahwa pada
bulan Juli 1960, Syaikh Mahmud Syaltout menyusun kitab tafsir yang berjudul Tafsir al-Qur’an al-karim, dalam bentuk
penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syatibi (w. 1388 M). Yaitu bahwa setiap
surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda, namun ada satu
sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda
tersebut.
Kemudian
Quraish Shihab mengambil kesimpulan dari data tersebut bahwa, metode maudlu’iy
mempunyai dua pengertian. Pertama,
penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan
tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta
menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut,
sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Kedua,
penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas satu
masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an yang mungkin diurut
sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari
ayat-ayat tersebut.
2.
Model
Ahmad Al-Syarbashi
Pada
tahun 1985 Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir \dengan
menggunakan metode deskriptif, eksploratif, dan analisi sebagaimana halnya yang
dilakukan Quraish Shihab. Sedangkan sumber yang digunakan adalah bahan-bahan
bacaan atau kepustakaan yang ditilis para ulama tafsir. Hasil penelitiannya itu
mencakup tiga bidang. Pertama,
mengenai sejarah penafsiran al-Qur’an yang dibagi ke dalam tafsir pada masa
sahabat Nabi. Kedua, mengenai corak
tafsir, yaitu tafsir ilmiyah, tafsir sufi, dan tafsir politik. Ketiga, mengenai gerakan pembaharuan di
bidang tafsir.
Menurutnya
bahwa tafsir pada zaman Rasulullah SAW., pada awal masa pertumbuhan islam
disusun pendek dan tampak ringkas, karena penguasaan bahasa arab yang murni
pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat al-Qur’an.
Disamping itu mereka juga mulai menulis tafsir al-Qur’an untuk dijadikan
pedoman bagi kaum muslimin. Dengan adanya tafsir itu umat islam dapat banyak
hal yang samar dan sulit untuk ditangkap maksudnya.
Lebih
lanjut Al-Syarbashi mengatakan, tentu saja pertama-tama kita harus mengambil
tafsir dari Rasul Allah SAW, melalui riwayat-riwayat hadist yang tidak ada
keraguan atas kebenarannya. Ini sangat perlu ditekankan, karena banyak hadist
maudlu (palsu-buatan). Setelah kita pegang tafsir yang berasal dari Nabi,
barulah kita cari tafsir-tafsir dari para sahabat beliau.
Tentang
tafsir ilmiah, Ahmad Al-Syarbashi mengatakan, sudah dapat kita pastikan bahwa
dalam al-Qur’an tidak terdapat suatu teks induk yang bertantangan dengan
bermacam-macam kenyataan ilmiah.ini merupakan satu segi dari kedudukannya
sebagai mu’jizat.
Tentang
tafsir sufi, Al-Syarbashi mengatakn ada kaum sufi yang sibuk menafsirkan
huruf-huruf al-Qur’an dan berusaha menerangkan hubungannya yang satu dengan
yang lainnya. Adanya tafsir sufi tersebut, Al-Syarbashi mendasarkan kepada
kitab-kitab tafsir yang dikarang para ulama sufi.
Tentang
politik, Al-Syarbashi mendasarkannya pada pendapat-pendapat kaum khawarij dan lainnya
yang terlibat dalam politik dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. menurut mereka
terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang berkenan dengan perilaku dan peran politik
yang dimainkan oleh oleh kelompok yang bertikai.
Selanjutnya
mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir, Al-Syarbashi mendasarkan, bahwa Muhammad
Abdullah telah berusaha menghubungkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan kehidupan
masyarakat, disamping membuktikan bahwa islam adalah agama yang memiliki sifar
universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan.
Metode
tafsir yang digunakan Muhammad Abdullah dalam tafsirannya itu adalah
menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, hadist-hadist shahih, serta dengan
tetap berpengang pada makna menurut pengertian bahasa arab. Hal ini dilakukan,
karena Syaikh Muhammad Abdullah memandang bahwa teks induk Qur’an sebagai satu
kesatuan yang saling melengkapi dan menyempurnakan.
3.
Metode
Syaikh Muhammad Al-Ghazali
Syaikh Muhammad al-Ghazali dikenal sebagai tokoh pemikira islam abad
modern yang produktif. Banyak hasil penelitian yang ialakukan, termasuk dalam
bidang tafsir al-Qur’an. sebagaimana para peneliti tafsir lainnya, Muhammahd
al-Ghazali menempuh cara penelitian tafsir yang bercorak eksploratif,
deskriptif, dan analisis dengan berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang
ditulis ulama terdahulu.
Tentang
macam-macam metode memahami al-Qur’an, al-Ghazali membaginya ke dalam metode
klasik dan metode modern dalam memahami al-Qur’an. menurutnya dalam berbagai
kajian tafsir, kita banyak menemukan metode memahami al-Qur’an yang berawal
dari ulama terdahulu. Mereka telah berusaha memahami kandungan al-Qur’an,
sehingga apa yang kita kenal dengan metode memahami al-Qur’an.
Berbagai
macam metode atau kajian yang dikemukakan Muhammad Ghazali tersebut oleh ulama
lainnya disebut sebagai pendekatan, dan bukan metode. Hal ini terjadi karena
sebagai sebuah disiplin ilmu biasanya memiliki metode. Dalam hubungan ini
Muhammad Ghazali kelihatannya ingin mengatakan bahwa metode yang terdapat dalam
berbagai disiplin ilmu tersebut ingin digunakan dalam memahami al-Qur’an.
Selanjutnya
Muhammad Ghazali mengemukakan adanya metode modern dalam memahami al-Qur’an.
Metode modern ini timbul sebagai akibat dari adanya kelemahan pada berbagai
metode yang telah disebutkan diatas. Metode ini perlu mendapat kritik karena
ayat-ayat dalam kajian tersebut banyak dikaitkan dengan hadist-hadist dha’if,
sehingga apa yhang diharapkan dari sebuah tafsir al-Qur’an dengan pemikiran
Qur’ani, tampaknya belum begitu terlihat.
Muhammad
al-Ghazali mengemukakan juga tafsir yang bercorak diaologis. Menurutnya tafsir
ini banyak menyajikan tema-tema menarik, namun sebagian dari tema tafsir
tersebut sudah keluar dari batasan tafsir itu sendiri, yang menjadi acuan
kebanyakan penafsir al-Qur’an.
4.
Metode
Penelitian Lainnya
Penelitian
yang dilakukan para ulama terhadap aspek-aspek tertentu dari al-Qur’an.
Diantaranya adalah ada yang memfokuskan penelitiannya terhadap kemu’jizatan
al-Qur’an, metode-metode, kaidah-kaidah dalam menafsirkan al-Qur’an, serta ada
pula yang khusu meneliti mengenai corak dan arah penafsiran al-Qur’an yang
khusus terjadi pada abad keempat.
Selanjutnya
Amin Abdullah dalam bukunya berjudul Studi
Agama juga telah melakukan deskriptif secara sederhana terhadap
perkembangan tafsir. Amin Abdullah mengatakan jika dilihat secara garis besar,
perjalanan sejarah penulisan tafsir pada abad pertengahan, agaknya tidak
terlalu terpeleset jika dikatakan bahwa dominasi penulisan tafsir al-Qur’an
secara leksiografis (lugowi) tampak lebih menonjol. Tafsir karya Shihab al- Din
al-Khawarij (1659) memutuskan perhatian pada analisis atas ayat-ayat al-Qur’an.
Juga karya Al-baydawi (1286), yang hingga sekarang masih dipergunakan di
pesantren-pesantren, memusatkan perhatian pada penafsiran al-Qur’an corak
leksiografis.
Amin
Abdullah lebih lanjut mengatakan, masih perlu digarisbawahi bahwa karya tafsir
mutakhir ini dengan metode komparatif di dalam memahami dan menafsirkan arti
suatu kosa kata al-Qur’an. Binti al-Syati’ selalu melihat ulang bagaimana
penafsiran dan pemahaman para penafsir pendahulunya sebelum beliau mengemukakan
pendapatnya sendiri di akhir suatu bahasan.
Tanpa
harus mengecilkan jasa besar tafsir yang bercorak leksiografis, corak
penafsiran seperti itu dapat membawa kita kepada pamahaman al-Qur’an yang
kurang utuh karena belum mencerminkan suatu kesatuan pemahaman yang utuh dan
terpadu dari ajaran al-Qur’an yang fundamental.
Karya
tafsir yang menonjolkan I’jaz, akan
membuat kita terpesona akan keindahan bahasa al-Qur’an, tetapi belum dapat
menguak nilai-nilai spiritual dan sosio moral al-Qur’an untuk kehidupan
sehari-hari manusia.
Begitu
juga penonjolan Asbabun Nuzul bila
terlepas dari nilai-nilai fundamental universal yang ingin ditonjolkan, tentu
bermanfaat untuk mempelajari latar belakang sejarah turunnya ayat per ayat,
tetapi juga mengandung minus keterkaitan dan transendental bagi kehidupan
manusia di manapun mereka berada.
Para ulama sepanjang sejarah islam telah
berusaha secara serius merumuskan berbagai metode yang dapat diterapkan dalam
mengkaji Al-Qur’an, sehingga umat islam yang meyakini kitab suci ini sebagai
pedoman hidup, dapat menangkap makna pesan-pesannya. Diantaranya metode-metode
itu adalah :
1.
Metode
Tahlily
Secara
etimologis tahlili dapat diartikan sebagai cara menjelaskan arti dan maksud
ayat-ayat Al-Qur’an dari sekian banyak seginya, dengan menjelaskan ayat demi
ayat sesuai urutan-urutannya di dalam mushhaf, melalui penafsiran kosa kata,
penjelasan asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya suatu ayat).
Tahlily
adalah salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat
al-Qur’an dari seluruh aspeknya.13 Musafir yang menggunakan metode ini
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan dari awal hingga akhir
berdasarkan susunan mushaf. Menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat dengan
menjelaskan makna mufradatnya, juga unsur i’jaz dan balaghahnya.
Penafsiran
yang menggunakan metode ini juga tidak mengabaikan asbab nuzul al-ayat dan munasabah
al-ayat. Para penafsir yang menggunakan metode tahlily ini dapat dibedakan
atas : 19
a)
Tafsir
bil-Ma’tsur
b)
Tafsir
bil-ra’y
c)
Tafsir
al-Shufi’
d)
Tafsir
al-Fiqhi
e)
Tafsir
al-Falsafi
f)
Tafsir
al-‘Ilmi
g)
Tafsir
al-Adabi al-Ijtima’i
Metode
ini disebut juga metode tajzi’iy (parsial), untuk membedakannya, dengan metode
tawhidy (utuh/menyeluruh) pada tafsir maudhu’iy (tematik). Meskipun demikian,
seperti halnya setiap metode, penafsiran tahlili juga mengundang kekurangan dan
kelemahan. Kelemahan yang paling menonjol disini adalah penafsiran bisa
tergelincir kepada penafsirang yang amat parsial.
2.
Metode
Ijmali
Metode Ijmali adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan cara mengemukakan makna global.17[1] Dengan metode ini penafsir menjelaskan arti dan
maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya dalam
uraiannya, penafsir membahas secara runtut berdasarkan urutan mushaf, kemudian
mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut.
Metode
Ijmali secara umum berupaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan mengemukakan
makna ijmali. Dengan metode ini musafir menjelaskan maksud ayat-ayat al-Qur’an
sesuai dengan susunan ayat yang terdapat pada mushaf20 sebagaimana
halnya pada bagian pertama.
Penafsiran
dengan metode ini, dalam penyampaiannya, menggunakan bahasa yang ringkas dan
sederhana, sama dengan al-Qur’an. sehingga pembacanya merasakan seolah-olah
al-Qur’an sendiri yang berbicara kepadanya. Sehingga dengan demikian dapatlah
diperoleh pengetahuan yang diharapkan dengan sempurna dan sampailah ia kepada
tujuannya dengan cara yang mudah serta uraian yang singkat dan bagus.
3.
Metode
Muqaran
Metode
tafsir ini menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparasi) tasrif
al-Qur’an. penafsiran yang menggunakan metode ini pertama sekali menggunakan
himpun sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, kemudian mengkajinya dan meneliti
penafsiran sejumlah penafsir mengenai ayat-ayat tersebut dalam karya mereka.18[2]
Melalui
cara ini penafsir mengetahui posisi dan kecenderungan para penafsir sebelumnya
yang dimaksudkan dalam objek kajiannya. Metode muqaran juga digunakan dalam
membahas ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan redaksi namun berbicara
tentang topik yang berbeda. Atau sebaliknya, topik yang sama dengan redaksi
yang berbeda. Ada juga diantara penafsiran yang membandingkan antara ayat-ayat
al-Qur’an dengan hadist Nabi yang secara lahiriah tampak berbeda.
Metode ini dipakai oleh penafsir untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an
dengan cara membandingkan pendapat-pendapat para musafir. Ia membahas ayat-ayat
al-Qur’an dengan mengemukakan pendapat para musafir terhadap tema tertentu,
lalu membandingkannya bukan untuk menentukan benar dan salah, tetapi menentukan
variasi penafsiran terhadap ayat al-Qur’an.
Tafsir
perbandingan (Muqaran) adalah suatu metode mencari kandungan Al-Qur’an dengan
cara membandingkan satu ayat dengan ayat lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai
kemiripan dalam dua masalah atau kasus yang berbeda atau lebih.
4.
Metode
Maudlu’iy
Metode
ini adalah suatu metode penafsiran Al-Qur’an dengan himpunan ayat-ayat, baik
dari suatu surat maupun beberapa surat, yang bicara tentang topik tertentu,
untuk kemudian mengaitkan antara satu dengan yang lainnya. Kemudian mengambil
kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan Al-Qur’an.8[3]
Pembahasannya didasarkan pada tema-tema khusus
al-Qur’an seperti yang telah ditentukan oleh musafir. Untuk menghasilkan karya
tafsir semacam ini dibutuhkan kecermatan dalam menghimpun ayat-ayat yang
berkenaan dengan tema yang telah dipilih.
Metode
ini juga mempunyai kelemahan, yaitu bisa terjadi terutama dari segi
subjek/mufassir yang tidak sama kemampuannya dalam menguasai ilmu alat dalam
menerapkan langkah-langkah metode ini.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa objek tafsir adalah ayat-ayat
al-Qur’an. Data yang diperlukan dalam penelitian tafsir adalah ayat-ayat
al-Qur’an, sunnah Nabi, asar sabahat, pendapat-pendapat para ulama, riwayat
yang merupakan kenyataan sejarah pada masa turunnya al-Qur’an
pengertian-pengertian bahasa dan lafadz al-Qur’an kaedah-kaedah bahasa, kaedah-kaedah
istinbat dan teori ilmu pengetahuan. Data ilmiah yang dapat dijadikan sebagai
landasan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Al-Qur’an berfungsi sebagai sumber pengetahuan dan petunjuk. Agar fungsi
ideal itu dapat teraplikasikan maka al-Qur’an harus dipelajari dan diupayakan
penafsirannya.
Label: Dunia Dakwah, Makalah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda