Makalah "Islam dan Persamaan Gender"
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah Tim penulis panjatkan atas
kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada
junjungan kita, Nabi besar Muhammad SAW beliau adalah guru dari sebaik-baiknya
guru di dunia ini yang telah memberikan tauladan bagi kita semua di muka bumi
ini. Makalah islam dan persamaan gender
ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan tugas Pengembangan Agama Islam ( PAI ). Ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada
:
- Allah SWT, karena berkat rahmatnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya
- Guru PAI Kelas XII yang telah membantu penulisan makalah ini
- Semua teman-teman XII IPA 2, dan semua pihak-pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini yang tidak mungkin penulis sebutkan satu –satu.
Mudah-mudahan kebaikan saudara semua
mendapat pahala dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Makalah
ini penulis masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dalam segi materi maupun
tata bahasa, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan agar
kedepan penulisan makalah ini bisa lebih bak lagi. Akhirnya, mudah – mudahan
Makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan umumnya bagi para
pembaca.
Penulis
Daftar isi
Kata pengantar..........................................................................................
1
Daftar isi....................................................................................................
2
Bab I
Pendahuluan..............................................................................................
3
a.
Latar
belakang.....................................................................................
3
b.
Identifikasi masalah...........................................................................
4
c.
Tujuan
................................................................................................. 4
d.
Kerangka
pemikiran............................................................................
4
BAB II
Pengertian Gender
Secara Umum............................................................
7
BAB III
Gender Dalam Persefektif Islam.............................................................. 11
BAB IV
sintesa teori dan kendala perjuangan gender............................................ 16
BAB V PENUTUP
Kesimpulan............................................................................................... 18
Daftar Pustaka.......................................................................................... 19
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak akan bahagia suatu kaum
yang menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang perempuan." ( HR. Bukhari
).
Hadits di atas merupakan landasan dari beberapa
ulama’ yang melarang wanita untuk menjadi khalifah atau pemimpin suatu negara.
Hal ini pulalah yang telah mengakibatkan beberapa pemikir-pemikir yang berasal
dari barat untuk menyerang Islam lewat isu gender. Menurut pandangan penulis,
perempuan yang dimaksud oleh Rasulullah SAW merupakan sifat seorang perempuan
pada umumnya ketika Nabi SAW masih hidup. Perempuan yang disebut dalam hadits
ini merupakan gambaran kelemahan dan ketergantungan seorang perempuan terhadap
laki-laki. Hal inilah yang mengakibatkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa tidak
akan bahagia suatu kaum yang di pimpin oleh seorang perempuan yang tergantung
terhadap laki-laki. Nah, pada makalah ini saya tidak terlalu membicarakan
tentang kepemimpinan seorang perempuan dalam Islam, tapi peranan seorang perempuan
yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum lelaki dalam persoalan
amaliyah dan sosial kemasyarakatan.
Isu gender dalam persepektif Islam merupakan
isu yang menarik dibicarakan di kalangan akademisi, karena banyak hal yang
dapat kita gali dan kita pelajari untuk lebih mengetahui nilai-nilai serta
kandungan di balik isu yang berkembang tersebut lewat kacamata Al-Qur’anul
Karim dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Ketika isu gender di angkat, yang timbul dalam
benak kita adalah diskriminasi terhadap wanita dan penghilangan hak-hak
terhadap mereka. Gender yang telah diperjuangkan oleh beberapa kalangan, baik
dari kalangan akademisi atau dari kalangan yang menanggap bahwa Islam adalah
agama yang memicu kehadiran isu gender tersebut di dunia ini. Tentunya para
orientalis yang berbasis misionarisme ini ingin mendiskreditkan umat Islam
dengan mengangkat isu ini dalam berbagai tulisan dan buku atau artikel-artikel
yang menyudutkan dan memberikan opini secara sepihak tentang islam dan gender.
Islam tidak membedakan antara hak dan kewajiban
yang ada pada anatomi manusia, hak dan kewajiban itu selalu sama di mata Islam
bagi kedua anatomi yang berbeda tersebut. Islam mengedepankan konsep keadilan
bagi siapun dan untuk siapapun tanpa melihat jenis kelamin mereka. Islam adalah
agama yang telah membebaskan belenggu tirani perbudakan, persamaan hak dan
tidak pernah mengedapankan dan menonjolkan salah satu komunitas anatomi saja.
Islam hadir sebagai agama yang menyebarkan kasih sayang bagi siapa saja.
Rasulullah telah memberikan nasehat kepada para
muslim agar mengormati dan menghargai perempuan seperti sabdanya : “Sebaik-baik
kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang terbaik di
antara kamu terhadap keluargaku. Orang yang memuliakan kaum wanita adalah orang
yang mulia, dan orang yang menghina kaum wanita adalah orang yang tak tahu
budi”. ( HR. Abu Asakir ).
B. Identifikasi
Masalah
Dari latar belakang tersebut maka penulis
mengidentifikasikan makalah in seagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan gender?
2. apa yang dimaksud dengan gender menurut
perspektif islam?
3. Apa yang dimaksud dengan Sintesa Teori dan
Kendala Perjuangan Gender?
C. Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai penulis adalah :
1. untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
gender.
2. untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
gender menurut perspektif islam.
3. untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
sintesa teori dan kendala perjuangan gender.
D. Kerangka
Pemikiran
Allah
menciptakan bentuk fisik dan tabiat wanita berbeda dengan pria. Kaum pria di
berikan kelebihan oleh Allah subhanahu
wata’ala baik fisik maupun mental atas kaum wanita sehingga pantas kaum
pria sebagai pemimpin atas kaum wanita. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Kaum lelaki itu adalah sebagai pemimpin
(pelindung) bagi kaum wanita.” (An Nisa’: 35)
Sehingga
secara asal nafkah bagi keluarga itu tanggug jawab kaum lelaki. Asy syaikh Ibnu
Baaz berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki
kewajiban yang khusus agar keduanya menjalankan perannya, hingga sempurnalah
bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari
nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya,
memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain
yang sesuai baginya, mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka,
dan mengobati mereka serta pekerjaan lain yang khusus bagi kaum wanita. Bila
wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan
rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik
hakiki maupun maknawi. (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fil Maidanil
amal, hal. 5)
BAB
II
PENGERTIAN
GENDER SECARA UMUM
Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan
tingkah laku. Sejauh ini persoalan Gender lebih didominasi oleh perspektif
perempuan, sementara dari perspektif pria sendiri belum begitu banyak dibahas.
Dominannya perspektif perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari
solusi yang diharapkan, karena akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber
dari kaum laki-laki. Ada beberapa fenomena yang sering kali muncul pada
persoalan Gender.
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang
berarti jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara
umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies
Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya
membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat.
Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh
Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap
laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut,
cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional,
jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat
dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang
kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat
terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih
1999: 8-9).
Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan
bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini:
Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu
fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai
suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis,
Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Epistimologi penelitian Gender secara garis
besar bertitik tolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu;
fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural
tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai
bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar
yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara
inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte
(1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang
lain.
Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada
isu-isu mengenai stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan
sebagai evolusi alamiah yang merupakan respons terhadap ketidakseimbangan antar
fungsi sosial dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat
dianggap perubahan disfungsional.
Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan
teori strukturalis dan teori fungsionalis. Teori strukturalis condong ke
sosiologi, sedangkan teori fungsionalis lebih condong ke psikologis namun
keduanya mempunyai kesimpulan yang sama. Dalam teori itu, hubungan antara
laki-laki dan perempuan lebih merupakan kelestarian, keharmonisan daripada
bentuk persaingan (Talcott Parson dan Robert Bales). Sistem nilai senantiasa
bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, misalnya
laki-laki sebagi pemburu dan perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi
reproduksinya menuntut untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki
pemegang peran publik. Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender
ditentukan oleh jenis kelamin (sex).
Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur
keluarga kecil yang menjadi ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan
dalam masyarakat. Jika dulu tugas dan tanggung jawab keluarga besar dipikul
bersama-sama, dewasa ini fungsi tersebut tidak selalu dapat dilakukan.
Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan
teori marxis karena bersumber pada tulisan dan pikiran Karl Marx. Menurut teori
itu, perubahan sosial, terjadi melalui proses dialektika. Teori itu berasumsi
bahwa dalam susunan masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling
memperebutkan pengaruh dan kekuasaan.
Friedrich Engels, melengkapi pendapat Marx
bahwa perbedaan dan ketimpangan Gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis
kelamin (biologis), akan tetapi merupakan divine creation.
Engels memandang masyarakat primitiv lebih
bersikap egaliter karena ketika itu belum dikenal adanya surplus penghasilan.
Mereka hidup secara nomaden sehingga belum dikenal adanya pemilikan secara
pribadi. Rumah tangga dibangun atas peran komunitas. Perempuan memiliki peran
dan kontribusi yang sama dengan laki-laki.
Menurut Marxisme, penindasan perempuan dalam
dunia kapitalis karena mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi wanita
dalam rumah tangga akan meningkatkan meningkatkan produksi kerja laki-laki di
pabrik-pabrik. Kedua, perempuan yang terlibat peran produksi menjadi buruh
murah, memungkinkan dapat menekan biaya produksi, sehingga perusahaan lebih
diuntungkan. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh murah dan mengkondisikan
buruh-buruh cadangan akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis, mengancam
solidaritas kaum buruh. Ketiga, hal tersebut dapat mempercepat akumulasi
kapital bagi kapitalis (Mansour Fakih, 1996: 87-88).
Sedangkan Dahrendarf dan Randall Collins tidak
sepenuhnya sependapat dengan Marx dan Engels. Menurutnya konflik tidak hanya
terjadi pada perjuangan pekerja kepada pemilik modal, tetapi juga disebabkan
oleh faktor kesenjangan antara anak dan orang tua, istri dengan suami, yunior
dengan senior dan sebagainya.
BAB
III
GENDER
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Dalam perspektif Islam, semua yang diciptakan
Allah SWT berdasarkan kudratnya masing-masing.
“Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan
dengan qadar” (QS. Al-Qamar: 49).
Para pemikir Islam mengartikan qadar di sini dengan
ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah SWT bagi segala sesuatu, dan
itu dinamakan kudrat. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu
dan jenis kelamin memiliki kudratnya masing-masing. Syeikh Mahmud Syaltut
mengatakan bahwa tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan berbeda,
namun dapat dipastikan bahwa Allah SWT lebih menganugerahkan potensi dan
kemampuan kepada perempuan sebagaimana telah menganugerahkannya kepada
laki-laki. Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan
tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 1 :
”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada
Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya
Allah menciptakan pasangannya dan keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak..............”
Yang dimaksud dengan nafs di sini menurut
mayoritas ulama tafsir adalah Adam dan pasangannya adalah istrinya yaitu Siti
Hawa. Pandangan ini kemudian telah melahirkan pandangan negatif kepada
perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian laki-laki. Tanpa
laki-laki perempuan tidak ada, dan bahkan tidak sedikit di antara mereka
berpendapat bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam.
Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir bersepakat mengartikan demikian.
Kalaupun pandangan di atas diterima yang mana
asal kejadian Hawa dari rusuk Adam, maka harus diakui bahwa ini hanya terbatas
pada Hawa saja, karena anak cucu mereka baik laki-laki maupun perempuan berasal
dari perpaduan sperma dan ovum. Allah menegaskan hal ini dalam QS. Ali Imran:
195
”Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan,
(karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang
yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada
jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang
mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah
pada sisi-Nya pahala yang baik."
Maksud dari sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain adalah sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan
perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan berasal dari laki-laki dan
perempuan. kedua-duanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari
yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.
Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan
tidak dapat disangkal karena memiliki kudrat masing-masing. Perbedaan tersebut
paling tidak dari segi biologis. Al-Quran mengingatkan:
” Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan, dan
bahwa masing-masing memiliki keistimewaan. Walaupun demikian, ayat ini tidak
menjelaskan apa keistimewaan dan perbedaan itu. Namun dapat dipastikan bahwa
perbedaan yang ada tentu mengakibatkan fungsi utama yang harus mereka emban
masing-masing. Di sisi lain dapat pula dipastikan tiada perbedaan dalam tingkat
kecerdasan dan kemampuan berfikir antara kedua jenis kelamin itu. Al-Quran
memuji ulul albab yaitu yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit
dan bumi. Zikir dan fikir dapat mengantar manusia mengetahui rahasia-rahasia
alam raya. Ulul albab tidak terbatas pada kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum
perempuan, karena setelah Al-Quran menguraikan sifat-sifat ulul albab
ditegaskannya bahwa “Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan
berfirman; “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal
di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan”. (QS. Ali Imran: 195). Ini
berarti bahwa kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dalam potensi
intelektualnya, mereka juga dapat berpikir, mempelajari kemudian mengamalkan
apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka pikirkan
dari alam raya ini.
Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan
Allah. Memang ada ayat yang menegaskan bahwa “Para laki-laki (suami) adalah
pemimpin para perempuan (istri)” (QS. An-Nisa’: 34), namun kepemimpinan ini
tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi
Al-Quran memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dan
pada sisi lain Al-Quran memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya
mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama.
Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini
merupakan keistimewaan dan derajat tingkat yang lebih tinggi dari perempuan.
Bahkan ada ayat yang mengisyaratkan tentang derajat tersebut yaitu firmanNYA,
“Para istri mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu derajat/tingkat atas mereka (para
istri)” (QS. Al-Baqarah: 228). Kata derajat dalam ayat di atas menurut Imam
Thabary adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan
sebagian kewajiban istri. Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa laki-laki
bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena itu,
laki-laki yang memiliki kemampuan material dianjurkan untuk menangguhkan
perkawinan. Namun bila perkawinan telah terjalin dan penghasilan manusia tidak
mencukupi kebutuhan keluarga, maka atas dasar anjuran tolong menolong yang
dikemukakan di atas, istri hendaknya dapat membantu suaminya untuk menambah
penghasilan.
Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya
hubungan suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah hubungan kemitraan.
Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat Al-Quran menggambarkan hubungan
laki-laki dan perempuan, suami dan istri sebagai hubungan yang saling
menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan. Hal ini
diungkapkan Al-Quran dengan istilah ba’dhukum mim ba’dhi – sebagian kamu
(laki-laki) adalah sebahagian dari yang lain (perempuan). Istilah ini atau
semacamnya dikemukakan kotab suci Al-Quran baik dalam konteks uraiannya tentang
asal kejadian laki-laki dan perempuan (QS. Ali Imran: 195), maupun dalam konteks
hubungan suami istri (QS. An-Nisa’: 21) serta kegiatan-kegiatan sosial (QS.
At-Taubah: 71).Kemitraan dalam hubungan suami istri dinyatakan dalam hubungan
timbal balik: “Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu
adalah pakaian untuk mereka” (QS. Al-Baqarah: 187), sedang dalam keadaan sosial
digariskan: “Orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka
adalah penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan yang
ma’ruf) dan mencegah yang munkar” (QS. At-Taubah: 71).Pengertian menyuruh
mengerjakan yang ma’ruf mencakup segi perbaikan dalam kehidupan, termasuk
memberi nasehat/saran kepada penguasa, sehingga dengan demikian, setiap
laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar
mampu menjalankan fungsi tersebut atas dasar pengetahuan yang mantap.
Mengingkari pesan ayat ini, bukan saja mengabaikan setengah potensi masyarakat,
tetapi juga mengabaikan petunjuk kitab suci.
BAB
IV
SINTESA
TEORI DAN KENDALA PERJUANGAN GENDER
Teori dan konsep Gender memang mudah nampaknya, namun aplikasinya bukan perkara
gampang, butuh proses dan dukungan penuh serta partisipasi langsung dari
masyarakat dunia, jika Gender memang menjadi pilihan utama untuk menyeimbangkan
peran-peran individu dalam masyarakat global.
Berpijak pada kasus diatas sebagai contoh
paling mutakhir kesetaraan gender belum berjalan optimal di tengah-tengah
masyarakat”Indonesia”, betapa indahnya gagasan ini jika telah berjalan optimal,
tentu akan berimbas positif pada pembangunan mental individu-individu, elemen
terpenting bangsa Indonesia. Di mulai dari lingkup diri pribadi, keluarga,
masyarakat, negara dan dunia.
Menurut penulis ada dua faktor yang menghambat
perjuangan gender
1. faktor internal yang merupakan faktor dari
dalam diri perempuan itu sendiri, misalnya perempuan selalu mempersepsikan
status dirinya berada di bawah status
laki-laki, sehingga tidak mempunyai keberanian dan kepercayaan diri untuk maju
2. faktor ekternal yaitu faktor yang berada
diluar diri perempuan itu sendiri, dan hal yang paling dominan adalah
terdapatnya nilai-nilai budaya patriarki yang mendominasi segala kehidupan di
dalam keluarga masyarakat, sehingga menomor duakan peran perempuan
Selain itu, juga interprestasi agama yang bias
gender, kebijakan umum, peraturan perundang-undangan dan sistem serta aparatur
hukum yang dikriminatif serta bias gender, baik di pusat maupun daerah. Di
samping itu juga masih kuatnya budaya sebagian besar masyarakat yang menganggap
perempuan kurang berkiprah di ruang publik, ditambah dengan adanya ajaran agama
yang dipahami secara keliru, membuat perjuangan perempuan untuk mencapai
keadilan dan kesetaraan gender semakin sulit tercapai.
BAB
V
PENUTUP
Kesimpulan
Ketimpangan peran gender sebagai suatu
permasalahan, serta sisi gelap perilaku-perilaku yang di kaitkan dengan
maskulin tidak bisa hanya didekati melalui prespektif perempuan saja, namun
juga harus secara empati melihatnya dari sisi pria.
Menurut teori dan paradigma konflik peran gender,
sosialisasi yang berlebihan dalam hal norma-norma maskulin, di tengah
lingkungan yang seksis dan patrichitlah yang berperan dalam hal peran gender,
diskriminasi terhadap wanita serta timbulnya sisi gelap perilaku yang di
kaitkan dengan maskulin seperti kekerasan terhadap wanita, perkosaan, pelecehan
seksual dan lain-lain.
Konflik peran gender merupakan implikasi dari permasalahan-permasalahan kognitif, emosional, ketidak sadaran atau perilaku yang disebabkan oleh peran-peran gender yang dipelajari pada masyarakat yang seksis dan patriarchal.
Konflik peran gender merupakan implikasi dari permasalahan-permasalahan kognitif, emosional, ketidak sadaran atau perilaku yang disebabkan oleh peran-peran gender yang dipelajari pada masyarakat yang seksis dan patriarchal.
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa
- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Daftar Pustaka
[1][1]Dadang S Ansori, Engkos
Kosasih, Farida Sarimayu, Membincangkan Feminisme : Refleksi Muslimah Atas
peran Sosial Kaum Wanita, Pustaka Hidayah, Bandung, 1997, hlm. 109.
[3][3]Athibi, Ukhasyah Abdul Manan, Tad-huuru
Akhlaaqun-Nisaa’i, Terj. Chairul Halim, Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya,
Gema Insani Press, Jakarta, 1998, hlm. 246.
https://docs.google.com/document/d/1S_sPlU0eOMcmx6dOEimZRjAgGAn8NEU1x5mqyG3Fu20/edit?hl=
&pli=1
Label: Makalah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda