Prinsif Maslahah Mursalah dan Ta'arud Al adillah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an
sebagai petunjuk bagi umat mengandung dasar-dasar akidah, akhlak, dan hukum.
Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Rasulullah SAW dengan sunnahnya sehingga
sepanjang hidup beliau, hukum setiap kasus dapat diketahui berdasarkan nash
al-Qur’an atau al-Sunnah, namun pada masa berikutnya, masyarakat mengalami
perkembangan pesat. Wilayah kekuasaan Islam semakin luas dan para sahabat pun
tersebar ke berbagai daerah seiring dengan arus ekspansi yang berhasil dengan
gemilang. Kontak antara bangsa arab dan bangsa lain diluar jazirah arab dengan
corak budayanya yang beragam sehingga menimbulkan berbagai kasus baru yang
tidak terselesaikan dengan rujukan lahir nash semata-mata. Untuk menghadapi hal
itu para sahabat terpaksa melakukan ijtihad. Tentu saja mereka tetap
mempedomani nash- nash al-Qur’an atau Hadits dan hanya melakukan ijtihad secara
terbatas, sesuai dengan tuntutan kasus yang dihadapi.
Karena ijtihad
merupakan upaya memahami serta menjabarkan al-Qur’an dengan sunnah dengan
mempertimbangkan seluruh makna serta nilai- nilai yang terkandung didalamnya.
Maka tugas ini hanya dapat dilakukan oleh sahabat- sahabat terkemuka. Pada masa
berikutnya, tanggung jawab itu beralih pada para tokoh tabi’in dan selanjutnya
kepada para ulama mujtahid dari generasi berikutnya. Dalam hal penentuan hukum
ini sering ditemui antara dua dalil secara Zhahir nampak bertentangan, tentunya
hal ini menimbulkan permasalahan yang harus diselesaikan oleh para ulama.
Inilah permaslaahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yang dikenal dengan
istilah Ta’arrudl Al-Adillah atau pertentangan antara dalil. Mudah-mudahan
makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi para penulis, dan umumnya
bagi para pembaca. Amin.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian Ta’arudh Al-adillah ?
2.
Apa
bentuk-bentuk dalil yang kontradiktif ?
3.
Apa
saja syarat-syarat Ta’arud Al Adillah ?
4.
Bagaimana
Metode penyelesaian Ta’arud Al Adillah ?
5.
Bagaimana
contoh penyelesaian Ta’arud Al Adillah ?
6.
Apa
pengertian Maslahah?
7.
Apa
pembagian Maslahah?
8.
Apa
tingkatan-tingkatan Maslahah?
9.
Apa
saja syarat-syarat maslahah mursalah?
10.
Bagaimana
kehujanan maslahah mursalah?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian Ta’arudh
Al-adillah
2.
Untuk
mengetahui bentuk-bentuk dalil yang kontradiktif
3.
Untuk
mengetahui Apa saja syarat-syarat
Ta’arud Al Adillah
4.
Untuk
mengetahui Bagaimana Metode penyelesaian
Ta’arud Al Adillah
5.
Untuk
mengetahui Bagaimana contoh penyelesaian
Ta’arud Al Adillah
6.
Untuk
mengetahui pengertian Maslahah
7.
Untuk
mengetahui pembagian Maslahah
8.
Untuk
mengetahui tingkatan-tingkatan Maslahah
9.
Untuk
mengetahui Apa saja syarat-syarat
maslahah mursalah
10.
Untuk
mengetahui Bagaimana kehujanan maslahah
mursalah
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Ta’arudh Al-Adillah
Ta’arudh
menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya. Sementara
kata Al-Adillah adalah bentuk Plural dan kata dalil, yang berarti
argumen, alasan dan dalil.
Secara
istilah Ta’arud la-adillah diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah
satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil lain. Sehingga
dalam implikasinya kedua dalil yang berlawanan tersebut tidak mungkin dipakai
pada satu waktu.[2]
Perlawanan itu dapat terjadi antara ayat Al-Qur’an dengan Al-Qur’an yang lain,
Hadits Mutawatir dengan Hadits Mutawatir yang lain, Hadits Ahad dengan Hadits
Ahad yang lain. Sebaliknya perlawanan tersebut tidak akan terjadi apabila kedua
daaul tersebut berbeda kekuatannya, karena pada hakikatnya dalil yang lebih
kuatlah yang diamalkan.
Diantara
beberapa definisi Taarud al-Adillah menurut beberapa ahli usul fiqh diantaranya
yang dikemukakan oleh Amir Syarifudin mena’rifkan ta’arudh dengan berlawanannya
dua dalil hukum yang salah satu Siantar dua dalil itu meniadakanhukum yang
ditunjuk oleh dalil lainnya.[3]
Abdul
Wahab Khalaf mendefinisikan ta’arudh secara singkat, yaitu kontradiktif antara
dua Nash atau dalil yang sama kekuatannya. Dari beberapa definisi tersebut
memberi tik penekanan yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa ta’arud itu
merupakan pembahasan dua dalil yang saling bertentangan[4]
2. Bentuk-bentuk Dalil yang Kontradiktif
Pengertian
dalil yang kontradiktif mencakup dalil yang naqli (dalil yang memang telah
termaktub dalam Al-Qur’an atau hadist nabi secara tekstual) dan dalil aqli
(dalil dimana rasionalitas menjadi penentunya) seperti qiyas, bahkan juga
mencakup dalil yang qath’i dan juga zhanni.
Para
ulama berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa saja yang memungkinkan adanya
kontra antara satu dengan yang lain. Perbedaan itu antara lain:
Menurut jumhur ulama mengatakan
bahwa antara dua dalil yang qath’i tidak mungkin terjadi kontradiksi secara
makna dhahir karena setiap dalil qath’i mengharuskan adanya madlul (hukum).
Bila dua dalil yang qath’i berbenturan berarti setiap dalil itu mengharuskan
adanya hukum yang saling berbenturan. Dengan demikian maka akan terjadi dua hal
yang saling meniadakan pihak lain, hal ini sangat mustahil terjadi. Sebagian
ulama berpendapat memungkinkan adanya dua dalil yang qath’i yang saling
meniadakan
Segolongan ulama menolak
terjadinya perbenturan antara dua dalil yang zhanni sebagaimana tidak boleh
terjadi perbenturan antara dua dalil yang qath’i, dengan tujuan untuk
menghindarkan perbenturan dalam firman pembuat hukum syar’i. sedangkan sebagian
ulama yang lain membolehkan terjadinya perbenturan dua dalil yang zhanni karena
tidak ada halangan bagi perbenturan tersebut selama terbatas pada dalil yang
tidak qath’i, seperti yang terjadi pada qiyas. Jika kontradiksi antara dua dalil
yang bukan nash seperti dua qiyas yang saling bertentangan, maka ini mungkin
saja kontradiksi yang hakiki atau sebenarnya. Karena kadang-kadang dari salah
satu dari keduanya salah, maka jika mungkin memenangkan salah satu dari dua
qiyas tersebut, yang menang itulah yang diamalkan.
Kedua golongan yang berbeda
pendapat itu semuanya sepakat bahwa terjadinya kontradiksi dalil tersebut hanya
dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil itu sendiri tidak ada
benturan. Dengan kesimpulan dari dua pendapat itu bahwa kontradiksi antara dua
dalil ini tidak akan terjadi kecuali apabila kedua dalil itu sama kekuatannya.
Maka jika salah satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka
yang diikuti adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat. Dengan
demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash yang qath’i dan nash yang
zhanni. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 180
yang berbunyi sebagai berikut:
كُتِبَ
عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ
لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ
بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى
ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
“Diwajibkan
atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika
ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 180)
Ayat di atas secara dhahir
maknanya mengalami kontradiksi dengan ayat sebagai berikut:
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ
أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءٗ ......
“Allah
mensyari’tkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian
orang laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’: 11)
Ayat pertama mewajibkan kepada yang telah merasa
mendekati ajalnya agar mewasiatkan harta kepada orang tua dan sanak kerabatnya
secara baik. Dan ayat kedua menetapkan asing-masing orangtua anak-anak dan
sanak kerabat mendapat hak dari harta pusaka lantaran wasiat Allah bukan wasiat
yang mewariskan. Berarti kedua ayat tersebut kontradiksi secara makna lahirnya
dan mungkin bisa mengkopromikan keduanya, yaitu jika yang dimaksudkan ketentuan
tentang mereka yang terhalang mendapat warisan oleh satu penghalang seperti
perbedaan agama[5].
3. Syarat-syarat Ta’arud Al Adillah
Syarat-syarat
ta’arud adalah sesuatu yang ada atau tidak adanya dapat menyebabkan ada atau
tidak adanya pertentangan. Syarat-syarat pertentangan tersebut antara lain:
A.
Hukum
yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan, seperti halal
dengan haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan meniadakan. Karena
bila tidak saling berlawanan, maka tidak ada pertentangan.
B.
Obyek
(tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama. Apabila obyeknya
berbeda, maka tidak ada pertentangan. Seperti mengenai akad nikah. Nikah
menyebabkan boleh (halal) nya menggauli istri dan melarang (haram) menggauliibu
si istri. Dalam hal ini tidak ada pertentangan antar duahukum yang saling
berlawanan. Karena orang yang menerima halal dan haram berbeda.
C.
Masa
atau waktu berlakunya hukum yang saling bertentangan tersebut sama. Karena
mungkin sja terdapat dua ketentuan hukum yang saling berlawanan dalam obyek
(tempat) yang sama, namun masa atau waktunya berbeda. Seperti khamr dihalalkan
pada permulaan Islam, namun kemudian diharamkan. Begitu juga dihalalkannya
menggauli istri sebelum dan sesudah haidl dan diharamkan menggaulinya pada masa
haidl.
D.
Hubungan
kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama. Karena mungkin saja dua
hukum yang saling bertentangan tersebut sama dalam obyek (tempat) dan masa,
namun hubungannya berbeda. Seperti halalnya menggauli istri bagi suami dan
haramnya menggauli istri tersebeut bagi laki-laki selain suaminya.
E.
Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling
bertentangan tersebut sama, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya.
Tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dengan hadits ahad, karena dari segi
asalnya al-Qur’an adalah qath’i sedangkan hadits ahad dzanni[6].
4. Metode Penyelesaian Ta’arud Al Adillah
Perlu dicatat, bahwasannya tidak
akan ada pertentangan yang hakiki antara dua ayat atau dua hadits shahih,
antara ayat dan hadits yang shahih. Apabila tampak ada pertentangan antara dua
nash dari nash-nash ini,maka sebenarnya ia hanyalah pertentangan yang lahiriyah
saja, sesuai dengan yang Nampak pada akal pikiran kita. Ia bukan pertentangan
yang hakiki. Karena pembuat hukum yang Maha Esa lagi Maha Bijaksana tidak
mungkin mengeluarkan suatu dalil yang menghendaki hukum pada satu kasus, dan
mengeluarkan dalil lain pada kasus itu juga yang menghendaki hukum yang berbeda
dengan hukum tersebut pada waktu yang sama.
Jika ada dua nash, yang lahiriyah
kedua nash itu saling bertentangan, maka ijtihad wajib dilakukan untuk
memalingkan keduanya dari pengertian lahiriyah ini dan berhenti pada hakikat
yang dikehendaki dari dua nash itu, untuk membersihkan Allah Yang Maha
mengeluarkan syari’at Yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana dari kontradiksi
dalam hukum-Nya. Jika memungkinkan untuk menghilangkan pertentangan yang
bersifat lahiriyah antara dua nash itu dengan menggabungkan dan mengadakan
sintesa antara dua nash itu dan dua-duanya diamalkan. Penggabungan ini
merupakan penjelasan, karena sebenarnya tidak ada pertentangan antar kedua-duanya
dalam hakikatnya[7].
Apabila
seorang mujtahid menemukan dua dalil yang bertentangan, maka ia dapat
menggunakan dua cara untuk berusaha menyelesaikannya. Kedua cara itu
dikemukakan masing-masing oleh ulama Hanafiyyah dan ulama Syafi’iyyah[8].
A.
Menurut Hanafiyyah
Ulama
Hanafiyyah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan
dengan cara [9]
1.
Nasakh
Nasakh
( النَّسْخُ ), adalah membatalkan hukum yang ada
didasarkan adanya dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda
dari hukum pertama. Dalam hubungan ini seorang mujtahid harus berusaha untuk
mencari sejarah munculnya kedua dalil tersebut. Apabila dalam pelacakannya
ditemukan bahwa satu dalil muncul lebih dahulu daripada dalil lainnya maka yang
diambil adalah dalil yang datang kemudian.
2. Tarjih
Tarjih
( التَّرْجِيْحُ ) adalah menguatkan
salah satu di antara dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi
yang mendukungnya. Apabila masa turunnya atau datangnya dua dalil
tersebut tidak diketahui, maka seorang mujtahid bisa melakukan tarjih terhadap
salah satu dalil, jika memungkinkan. Akan tetapi, dalam melakukan tarjih itupun
mujtahid tersebut harus mengemukakan alasan-alasan lain yang membuat ia
menguatkan satu dalil dari dalil lainnya. Tarjih itu bisa dilakukan dari tiga
sisi:
§ Dari segi petunjuk kandungan lafadz suatu nash
§ Dari segi hukum yang dikandungnya
§ Dari sisi keadilan periwayat sutu hadits.
3. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Jam’u
wa Al-Taufiq (الْجَمْعُ وَالتَّوفِيْقُ)
yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengkrompomikannya.
Dengan demikian, hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena
kaidah fiqih mengatakan, “mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada
meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.
4. Tasaqut Al Dalilain
Tasaqut
Al Dalilain (تَسَاقُطُ الدَّلِيْلَيْنِ)
yaitu menggugurkan (tidak mengamalkan) kedua dalil yang saling
bertentangan. Dalam arti, seorang mujtahid merujuk dalil yang tingkatannya
lebih rendah dari dalil yang bertentangan tersebut sebagai dasar beramal.
Apabila terdapat dua dalil yang saling bertentangan yang tidak mungkin untuk
mengkompromikan lagi dalam seluruh seginya, maka kedua dalil tersebut
digugurkan karena dipandang bertentangan. Seorang mujtahid tidak boleh
menjadikan kedua dalil yang bertentangan sebagai dasar beramal, namun ia harus mencari
dalil lain yang kedudukannya lebih rendah[10].
Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan di atas, harus
dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai cara keempat.
b. Menurut Syafi’iyyah
Adapun
cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama Syafi’iyyah sebagai
berikut:
1. Jam’u wa Taufiq
Jam’u
wa Taufiq yaitu mengkompromikan dan menyelaraskan kedua dalil yang bertentangan
tersebut sekalipun dari satu sisi saja. Mengamalkan kedua dalil, sekalipun dari
satu sisi, menurut mereka dapat dilakukan dengan tiga cara:
§ Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi, maka lakukan
pembagian yang sebaik-baiknya.
§ Apabila kedua hukum yang bertentangan itu mengandung beberapa
ketentuan beberapa hukum, maka boleh memilih salah satu hukum, asal didukung
oleh dalil lain.
§ Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bersifat universal atau
mencakup beberapa hal. Kedua dalil tersebut dapat diamalkan dengan
mengklasifikasikan atau membaginya dalam beberapa bagian. Sehingga hukum yang
terkandung dalam bagian-bagian tersebut saling berhubungan satu sama lain[11].
2. Tarjih
Tarjih
artinya menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya.
3. Nasakh
Nasakh
yaitu membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan
syarat harus diketahui mana dalilyang pertama kali dating dan mana yang datang
kemudian.
4. Tasaqut Al Dalilain
Tasaqut
Al Dalilain yaitu meninggalkan kedua dalil yang bertentangan dan berijtihad
dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil tersebut. Menurut
ulama’ Syafi’iyyah, keempat cara di atas harus ditempuh secara berurutan dalam
menyelesaikan pertentangan dua dalil.
Setelah menjelaskan metode-metode
penyelesaian pertentangan antara dua nash menurut dua madzhab, maka Nampak
jelas beberapa perbedaan antara keduanya, yaitu antara lain:
1.
Tindakan
pertama kali yang harus dilakukan seorang mujtahid untuk menolak
pertentangan menurut madzhab Hanafiyah adalah menasakh. Adapun menurut
madzhab Syafi’iyah, tindakan petama yang harus dilakukan adalah mengkompromikan
(jama’) kedua nash yang saling bertentangan tersebut. Kami memandang bahwa
pendapat madzhab Syafi’iyah adalah pendapat yang unggul. Karena sebagaimana
pendapat mereka mengamalkan kedua nash tersebut adalah lebih baik daripada
mnggugurkan keduanya atau salah satunya. Nasakh berarti menggugurkan salah satu
nash, sedangkan jama’ berarti mengamalkan keduanya secara bersama-sama.
Pendapat madzhab Syafi’i ini dapat merealisasikan tujuan syari’ (Allah) yakni mengamalkan
dua ketentuan hukum yang terkandung dalam kedua nash yang saling bertentangan
dengan cara mengkompromikannya. Allah tidak mensyari’atkan suatu hukum dengan
tanpa manfa’at[12].
2.
Madzhab
Syafi’i lebih mendahulukan jama’ daripada tarjih, sehingga tidak boleh
mentarjih kecuali apabila kedua dalil yang bertentangan tersebut tidak dapat
dikompromikan. Sedangkan madzhab Hanafi lebih mendahulukan tarjih daripada
jama’, karena mengamalkan yang lebih unggul dan meninggalkan dalil lainnya dari
kedua dalil yang saling bertentangan adalah sesuai dengan pendapat yang telah
disepakati oleh orang-orang berakal. Mereka memandang bahwa jika jama’ lebih
didahulukan daripada tarjih, maka hal itu berarti mendahulukan dalil yang tidak
diunggulkan dan meninggalkan yang lebih unggul. Mereka memandang bahwa jama’
adalah metode hyang tidak diunggulkan. Metode yang lebih unggul adalah
mengamalkan dalil yang lebih unggul dengan cara mentarjihnya. Mereka juga berpendapat
bahwa menggunakan tarjih bukan berarti menonaktifkan atau meninggalkan salah
satu dari dalil yang bertentangan, sebagaimana pendapat madzhab Syafi’i.[13]
4. Contoh Penyelesaian Ta’arud Al Adillah
Contoh nash Al Quran yang berlawanan
:
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفُوْن َمِنْكُمْ
وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ
اَشْهُرٍوَعَشْرًا
Artinya:
“Orang-orang
yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri (hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya (ber’idah) empat bulan sepuluh hari…”.
(QS.Al Baqarah: 234)
Ayat ini memberikan petunjuk
bahwa setiap wanita yang ditinggalkan suaminya meninggal’idahnya empat bulan
sepuluh hari, baik wanita itu hamil atau tidak hamil. Namun kalau dilihat dalam
firman Allah pada surat lain:
وَاُوْلاَتُ اْلاَحْمَالِ اَجَلَهُنَّ اَنْ يَضَعْنَ جَمْلَهُنَّ
Artinya:
“Dan
perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya”. (QS. At Thalaq:4)
Ayat
ini memberikan petunjuk setiap permpuan yang hamil yang suaminya meninggal atau
diceraikan suaminya sedang mereka dalam keadaan hamil maka ‘idahnya sampai
melahirkan.
Kalau dilihat sekilas dalam ayat
pertama perempuan yang hamil yang ditinggalkan suaminya meninggal ’iddahnya
empat bulan sepuluh hari dan Menurut
ayat kedua nash ini berlawanan kalau dterangkan pada kasus yang sama, yang
seperti ini dinamakan ta’arudh.
Tidak
dapat dikatakan terjadi perlawanan dua buah dalil terkecuali kedua dalil itu
sama kuat dan kalau satu dalil itu lebih kuat maka waj ib melaksanakan dalil
terkuat dan dalil yang lemah wajib ditinggalkan, karena itu tidak mungkin
terdapat berlawan antara dalil qath’i dan dzanni, tidak mungkin terkadi
berlawanan antara nash dan ijma’ atau dengan qiyas. Yang mungkin terjadi
berlawanan antara ayat dengan hadits mutawatir atau antara hadits yang
mutawatir dengan hadits mutawatir atau antara kedua buah hadits yang bukan
mutawatits atau antara dua buah qiyas.
Patut digaris bawahi bahwa tidak
akan terjadi berlawan yang sebenarnya antara dua buah ayat atau antara dua buah
hadits yang shahih atau antara ayat dan hadits yang shahih, kalaulah nampaknya
berlawanan hanya menurut lahirnya saja atau menuru yang dapat dijangkau oleh
otak manusia, namun apabila diteliti dengan seksama tidak terjadi pertentangan.
Allah Yang Maha Bijaksana tidak akan menentapkan dua hukum yang berlawan, dua
hukum yang berlaku pada satu kasus pada satu waktu yang sama.
Menurut riwayat Abdullah bin
Mas’ud, ayat kedua turunnya lebih akhir daripada ayat pertama. Sehingga dengan
demikian, maka ayat kedua dapat menasakh ayat pertama. Jadi iddahnya wanita
yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil adalah sampai ia melahirkan
janinnya, baik lahir setelah lewat masa empat bulan sepuluh hari atau belum.
Ulama’ yang tidak mengakui adanya
nasakh ini, mengamalkan dua ayat sekaligus. Mereka berpendapat bahwa iddahnya
wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil adalah masa terlama
dari kedua masa tersebut yaitu empat bulan sepuluh hari bagi wanita yang
ditinggal suaminya dan sampai melahirkan janinnya bagi wanita yang dicerai
dalam keadaan hamil. Mana diantara dua masa iddah tersebut yang terlama
dihitung dari saat meninggalnya suami, itulah masa iddahnya. Hal ini atas dasar
alasan, karena kedua ayat tersebut menetapkan adanya masa iddah dari satu sisi
saja. Oleh karenanya, kedua ayat tersebut harus dijama’kan dan diamalkan secara
bersama sebagai tindakan preventif (hati-hati). Ini pendapat Ali bin Abi
Thalib.
Contoh nash hadist yang berlawanan :
a. اَلاَاُخْبِرُكُمْ
بِخَيْرِ الشُّهَدَاءِ, الَّذِيْ يَأْتِيْ بِالشَّهَادَةِ قَبْلَ اَنْ يَسْئَلَهَا
(رَوَاهُ مُسْلِم)
“apakah
aku tidak memberitahu kamu sekalian tentang sebaik-baik saksi, yaitu seorang
yang memberikan kesaksian sebelum diminta”
b. اِنَّ وَيَخُوْنُوْنَ وَلاَ يُؤْتَمَنُوْنَ خَيْرَ اُمَّتِيْ
قَرْنِيْ , ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ و ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ,
ثُمَّ اِنَّ مَنْ بَعْدَهُمْ قَوْمًا يَشْهَدُوْنَ وَلاَيَسْتَشْهَدُوْنَ(رَوَاهُ
بُخَارِى وَ مُسْلِم )
“bahwa
sebaik-baik umatku adalah golonganku,kemudian orang-orang sesudah mereka,
kemudian orang-orang sesudah mereka yaitu sekelompok manusia yang
memberikan kesaksian tanpa dimintai, tidak berkhianat dan dapat dipercaya”
Hadits pertama memperbolehkan
meminta kesaksian sebelum pihak yang bersangkutan memintanya, baik menyangkut
hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. Hadits kedua melarang hal tersebut secara
mutlak. Secara lahiriah (dzahir), kedua hadits tersebut saling bertentangan.
Oleh karena itu,maka hadits pertama harus dipahami bahwa kesaksian dapat
diterima dengan tanpa memintanya terlebih dahulu hanya sepanjang menyangkut
hak-hak Allah. Karena dalam urusan yang menyangkut hak-hak Allah, tidak
diperlukan adanya kesaksian selain Allah sendiri. Dan hadits kedua harus dipahami
bahwa kesaksian dapat diterima sekalipun dengan meminta terlebih dahulu hanya
sepanjang menyangkut hak-hak manusia. Dengan demikian, maka kedua hadits
tersebut menjadi tidak bertentangan.
6. Pengertian Maslahah
Menurut istilah
umum Maslahah adalah: mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak
segala kemungkinan yang merusak. Lebih jelasnya Manfaat adalah ungkapan
dari sebuah kenikmatan atau segala hal yang masih berhubungan denganya,
sedangkan kerusakan adalah hal-hal yang menyakitkan atau segala sesuatu yang
ada kaitan denganya.
Pandangan
terhadap Maslahah tebagi menjadi dua bagian, yaitu pandangan maslahah menurut
kaum sosialis materialis serta pandanganya menurut syara’(hakikat syara’),
1.
Al Syatiby mengatakan: “
maslahah ditinjau dari segi artinya adalah segala sesuatu yang menguatkan
keberlangsungan dan Menyerpurnakan kehidupan manusia, serta memenuhi segala
keinginan rasio dan syahwatnya secara mutlak”[14].
2.
Sedangkan menurut arti secara Syara’ (hakikat)
adalah segala sesuatu yang menguatkan kehidupan di dunia tidak dengan cara
merusaknya serta mampu menuai hasil dan beruntung di akhirat, dalam hal ini al Syatiby
mengatakan, “ menarik kemaslahatan dan membuang hal-hal yang merusak bisa juga
disebut dengan melaksanakan kehidupan di dunia untuk kehidupan di akhira[15]”
3.
Al Ghozali
maslahah adalah: “memelihara tujuan daripada syari’at”. sedangkan tujuan syara’
meliputi lima dasar pokok, yaitu:
1)
Melindungi
Agama (Hifdu Al Diin),
2)
Melindungi
Jiwa (Hifdu Al Nafs),
3)
Melindungi
Akal (Hifdu Al Aql),
4)
Melindungi
Kelestarian Manusia (Hifdu Al Nasl),
5)
.Melindungi
Harta Benda (Hifdu Al Mal)[16].
7. Pembagian Maslahah
Ditinjau dari materinya, para ulama ushul fiqh membagi menjadi dua :
1. Maslahah ammah ;
Maslahah al ammah adalah kemaslahatan umum yang menyangkut
kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk kepentingan
semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya ulama
memperbolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat, karena
menyangkut kepentingan orang banyak.
2. Maslahah khassah .
Maslahah khashsah adalah kemaslahatan pribadi. Maslahah khashsah
ini sering terjadi dalam kehidupan kita seperti kemaslahatan yang berkaitan
dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang.
Dan dilihat dari segi keberadaan Maslahat itu sendiri, syariat
membaginya atas tiga bentuk yaitu:
1.
Maslahah Mu’tabarah
Maslahah muktabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syariat.
Maksudnya, ada dalil khusus yang menjadi bentuk dan jenis kemaslahatan
tersebut. Dalam kasus peminum khamer misalnya, hukuman atas orang yang meminum
minuman keras dalam hadis Nabi dipahami secara berlainan oleh para ulama fikh,
disebabkan perbedaan alat pemukul yang digunakan oleh Rasulullah SAW. maslahah
menjaga agama, nyawa, keturunan (juga maruah), akal dan nyawa. Syarak telah
mensyariatkan jihad untuk menjaga agama, qisas untuk menjaga nyawa, hukuman
hudud kepada penzina dan penuduh untuk menjaga keturunan (dan juga maruah),
hukuman sebatan kepada peminum arak untuk menjaga akal, dan hukuman potong
tangan ke atas pencuri untuk menjaga harta.
2.
Maslahah Mulghah
Maslahah mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak karena
bertentangan dengan hukum syara’. ini bukanlah maslahah yang benar, bahkan
hanya disangka sebagai maslahah atau ia adalah maslahah yang kecil yang
menghalang maslahah yang lebih besar daripadanya. Misalnya, kemaslahatan harta
riba untuk menambah kakayaan, kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan
stress, maslahah orang- orang penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya.
3. Maslahah Mursalah
Maslahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh
dalil syariat atau nash secara rinci, namun ia mendapat dukungan kuat dari
makna implisit sejumlah nash yang ada.
Jadi, maslahah ini adalah satu keadaan di mana tiada dalil khas
daripada Syara’ yang mengi’tibarkannya dan tidak ada hukum yang telah dinashkan
oleh Syara’ yang menyerupainya, yang mana boleh dihubungkan hukumnya melalui
dalil Qiyas. Tetapi pada perkara tersebut terdapat satu sifat yang munasabah
untuk diletakkan hukum tertentu kepadanya kerana ia mendatangkan maslahah atau
menolak mafsadah.
Contoh bagi maslahah ini adalah yang telah dibincangkan oleh ulama’
ialah seperti membukukan al-Qur’an, hukum qisas terhadap satu kumpulan yang
membunuh seorang dan menulis buku-buku agama.
8. Tingkatan-tingkatan Dalam Maslahah
Dalam pengunaan maslahah ada tiga tingkatan yang harus kita
ketahui, yaitu[17]:
1). Maslahah Dhoruriyah,
Yaitu segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan
manusia, diniyah maupun dunyawiyah, dengan artian bahwa apabila maslahah ini
ini tidak terwujud maka rusaklah kehidupan manusia di dunia.
Maslahah dhoruriyah ini meliputi:
a.
Memlihara
agama, untuk memelihara agama maka disyariatkan manusia untuk beribadah kepada
Allah, menjalani semua perintahNya dan menjauhi semua laranganNya.
b.
Memelihara
jiwa, untuk memlihara agama maka agama mengharamkan pembunuhan tanpa alasan
yang benar, dan bagi yang melakukannya dijatuhi hukuman qishas.
c.
Memelihara
keturunan, untuk memelihara keturunan maka agama mengharamkan zina, dan bagi
yang melakukannya didera.
d.
Memelihara
harta benda, untuk memelihara harta benda maka agama mengharamkan pencurian,
bagi yang melakukannya diberi siksaan.
e.
Memelihara
akal, untuk memelihara akal maka agama mengharamkan minum khomr.
2) Maslahah Hajjiyah,
Yaitu segala bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait
dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dhoruriyah) yang dibutuhkan oleh
masyarakat tetap juga terwujud ,tetapi dapat menghindarkan kesulitan. Seperti
menikahkan anak- anak.
3) Maslahah Tahsiniyah,
yaitu mempergunakan segala yang layak dan pantas dibenarkan oleh
adat kebiasaan yang baik dan semuanya dicakup oleh mahasinul akhlaq. Seperti
menikahkan seorang perempuan dengan laki- laki yang sederajat.
9.
Syarat- Syarat Maslahah Mursalah
Uama’-ulama’ yang mengambil “maslahah mursalah” sebagai sumber
hukum terutamanya ulamak Mazhab Maliki tidaklah sewenang-wenang menganggap setiap
sesuatu itu sebagai “maslahah mursalah”. Bahkan mereka telah meletakkan
beberapa syarat dalam mengambil “maslahah mursalah” sebagai sumber hukum agar
tidak terjadi penetapan hukum yang berdasarkan nafsu. Syarat- syarat tersebut
adalah:
a.
Bentuk
mashlahah tersebut harus selaras dengan tujuan-tujuan syari’at, yakni bahwa
kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasarnya, dan
juga tidak menabrak garis ketentuan nash atau dalil-dalil yang qath’i. dengan
kata lain bahwa kemashlahatan tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at,
merupakan bagian keumumannya, bukan termasuk kemashlahatan yang gharib, kendati
tidak terdapat dalil yang secara spesifik mengukuhkannya.
b.
Kemashlahatan
tersebut adalah kemashlatan yang rasional, maksudnya secara rasional terdapat
peruntutan wujud kemashlahatan terhadap penerapan hukum. Misalnya pencatatan
administrasi dalam berbagai transaksi akan menetralisir persengketaan atau
persaksiaan palsu. Dalam kaitannya dengan konteks syariat hal semacam ini
selayaknya diterima. Beda halnya dengan pencabutan hak talak dari suami dan
menyerahkan kewenangan pada qadli (hakim), keputusan kontropersial semacam ini
tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan garis ketentuan syariat.
c.
Mashlahah
yang menjadi acuan penetapan hukum haruslah bersukup universal, bukan
kepentingan individu atau kelompok tertentu. Karena hukum-hukum syariat
diberlakukan untuk semua manusia. Karenanya penetapan hukum tidak selayaknya
mengacu secara khusus pada kepentingan-kepentingab pejabat, penguasa atau
bermotif nepotisme misalnya.
10. Kehujjahan Maslahah Mursalah
Para
ulama’ ushul fiqh bebeda argumen dalam hal kehujjahan maslahah al mursalah
sebagai metode dan hujjah dalam penetapan hukum syara’. Dalam hal ini kalangan
Malikiyah dan Hanabilah mengakui Maslahah mursalah sebagai metode dan hujjah
dalam penetapan hukum islam, sedangkan Imam Syafi’I dan kalangan Hanafiyah
menolaknya dengan alasan sebagai berikut:
Ø Syariatlah yang akan mengatur kamaslahatan manusia dengan nash-
nash dan petunjuk qiyas. Sebab syar’I tidak akan berlaku semena- mena terhadap
manusia dengan tanpa merumuskan ketentuan- ketentuan hukum yang menjamin segala
kemaslahatan manusia. Menetapkan hukum syara’ berdasarkan maslahah mursalah
berarti menganggap syari’at islam belum lengkap dan masih ada masalah yang
belum terselesaikan. Hal ini bertentangan dengan fiman Allah yang berbunyi
sebagai berikut:
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ
يُتْرَكَ سُدًى
Artinya:”Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu
saja?” (QS.al- Qiyamah: 36).
Pembentukan hukum
syara’ berdasarkan maslahah mursalah berarti membuka pintu nafsu para pemimpin,
ulama’, atau para hakim untuk menetapkan hukum islam menurut selaranya atau
kemauannya sendiri dengan alasan kemaslahatan.
Setelah kita mengetahui argumentasi dari para Ulama’ yang menolak
maslahah mursalah hendaknya kita juga harus tahu alasan-alasan para Ulama’ yang
tetap mempertahankan metode ini, sebenarnya perbedaan mereka hanyalah apabila
konsep maslahah mursalah dipakai di dalam muamalat (hubungan antar manusia),
adapun apabila diterapkan dalam masalah yang bersifat ibadah maka semua ulama’
sepakat tentang tidak berlakunya metode ini, karena ibadah yang kita terima
dari Syari’ bersifat doktrin (tauqifi) yang tidak sepenuhnya terjangkau oleh
akal[18].
Adapun alasan-alasan yang mendasari beberapa
Ulama’ mengunakan maslahah mursalah adalah:
ü bahwa kehidupan manusia akan
selalu berjalan mengikuti gerak zaman oleh karena itu kemaslahatan manusia juga
akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya.
ü seandainya konsep maslahah mursalah ini tidak diterapkan di
masyakat maka mereka akan banyak mendapati kesulitan-kesulitan dalam hidup ini,
sedangkan Syari’at Islam tidak diturunkan kecuali untuk membuat pengikutnya
menjadi labih mudah dalam mengarungi hidup ini, seperti keterangan dalam firman
Allah: وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَج
Artinya:“………dan
dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan”.(QS.al hajj:78)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Pengertian Ta’arud Al Adillah
Ta’arudh (berlawanan) menurut arti bahasa ialah pertentangan satu
dengan yang lainnya dan menurut arti syara’ ialah berlawanan dua buah nash yang
kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu
waktu. Dan Al’adillah ialah jama’ dari dalil yang berarti alasan, argumen dan
dalil.
2. Syarat-syarat Ta’arud Al Adillah
a)
Hukum
yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan
b)
Obyek
(tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama
c)
Masa
atau waktu berlakunya hukum yang saling bertentangan tersebut sama
d)
Hubungan
kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama
e)
Kedudukan
(tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama, baik dari segi
asalnya maupun petunjuk dalilnya.
3. Metode Penyelesaian Ta’arud Al
Adillah
Metode Hanafiyyah
Metode syafi’iyyah
1. Nasakh
a.
Al-Jam’u wa Al-Taufiq
2. Tarjih
b.
Tarjih
3. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
c.
Nasakh
4. Tasaqut Al-Dalilain
d.
Tasaqut Al-Dalilain
4. Contoh penyelesaian Ta’arud Al
Adillah
Contoh dalil yang berlawanan
“Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan
meninggalkan istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’idah)
empat bulan sepuluh hari…”. (QS.Al Baqarah: 234)
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa setiap wanita yang ditinggalkan
suaminya meninggal’idahnya empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu hamil atau
tidak hamil. Namun kalau dilihat dalam firman Allah pada surat lain:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘idah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At Thalaq:4)
Ayat ini memberikan petunjuk setiap perempuan yang hamil yang
suaminya meninggal atau diceraikan suaminya sedang mereka dalam keadaan hamil
maka ‘idahnya sampai melahirkan.
5. Pengertian Maslahah
Menurut istilah umum Maslahah adalah: mendatangkan segala
bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak. Lebih
jelasnya Manfaat adalah ungkapan dari sebuah kenikmatan atau segala hal yang
masih berhubungan denganya, sedangkan kerusakan adalah hal-hal yang menyakitkan
atau segala sesuatu yang ada kaitan denganya.
DAFTAR PUSTAKA
~
Al-Zuhaili,
Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2001, Beirut: Dra al-Fikr, Cet.ke-2
~
Firdaus.
Ushul Fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif. 2004,
Jakarta: Zikrul Hakim,
~
Khalaf,
Abdul Wahab, 1997, Ilmu ushulul Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy,
Bandung: Gema Risalah Press
~
Syarifuddin,
Amir, Ushul Fiqh Jilid 1,1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
~
Yahya,
Mukhtar.,dan Fatchurrahman, 1993, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami. Bandung
:Al-Ma’rif
~
http//:http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh/html
~
Abdul
Wahhab Khallaf. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang:Dina Utama
~
Chaerul
Umam dan Achyar Aminudin. 2001. Ushul Fiqh II . Bandung: CV Pustaka Setia
~
Muhammad
Wafaa. 2001. Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara’ Bangil :Al-Izzah
~
Syafi’i
Karim. 1997. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung:CV. Pustaka Setia
[1]
http://irhambaktipasaribu.wordpress.com/2012/03/29/taarrudl-al-adillah-pertentangan-
antara-dalil-dalil-dan-penyelesaiannya/
[2]
Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Islam. (Bandung :Al-Ma’rif,1993), Halaman. 417
[3] Amir
Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Halaman.204
[5]
http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh/html
[6]
Muhammad
Wafaa, Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara’. Bangil:Al-Izzah,
2001, halaman.68-70
[8] Chaerul Umam
dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqh II , Bandung : CV Pustaka Setia, 2001
halaman. 186
[9].Chaerul Umam
dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqh II , Bandung : CV Pustaka Setia, 2001 halaman. 187-190
[11]
Muhammad Wafaa,
ilmu ushul fiqh hlm.97
[16] Dr M.ibn ahmad
taqiyah.1999.”masadiru al tasyri’ al islamy”.Lebanon. muasisu al kitab al
tsaqofiyah. Hal. 13.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda