Rabu, 26 Oktober 2016

Prinsif Maslahah Mursalah dan Ta'arud Al adillah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
               Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat mengandung dasar-dasar akidah, akhlak, dan hukum. Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Rasulullah SAW dengan sunnahnya sehingga sepanjang hidup beliau, hukum setiap kasus dapat diketahui berdasarkan nash al-Qur’an atau al-Sunnah, namun pada masa berikutnya, masyarakat mengalami perkembangan pesat. Wilayah kekuasaan Islam semakin luas dan para sahabat pun tersebar ke berbagai daerah seiring dengan arus ekspansi yang berhasil dengan gemilang. Kontak antara bangsa arab dan bangsa lain diluar jazirah arab dengan corak budayanya yang beragam sehingga menimbulkan berbagai kasus baru yang tidak terselesaikan dengan rujukan lahir nash semata-mata. Untuk menghadapi hal itu para sahabat terpaksa melakukan ijtihad. Tentu saja mereka tetap mempedomani nash- nash al-Qur’an atau Hadits dan hanya melakukan ijtihad secara terbatas, sesuai dengan tuntutan kasus yang dihadapi.
               Karena ijtihad merupakan upaya memahami serta menjabarkan al-Qur’an dengan sunnah dengan mempertimbangkan seluruh makna serta nilai- nilai yang terkandung didalamnya. Maka tugas ini hanya dapat dilakukan oleh sahabat- sahabat terkemuka. Pada masa berikutnya, tanggung jawab itu beralih pada para tokoh tabi’in dan selanjutnya kepada para ulama mujtahid dari generasi berikutnya. Dalam hal penentuan hukum ini sering ditemui antara dua dalil secara Zhahir nampak bertentangan, tentunya hal ini menimbulkan permasalahan yang harus diselesaikan oleh para ulama. Inilah permaslaahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yang dikenal dengan istilah Ta’arrudl Al-Adillah atau pertentangan antara dalil. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi para penulis, dan umumnya bagi para pembaca. Amin.[1]

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian Ta’arudh Al-adillah ?
2.      Apa bentuk-bentuk dalil yang kontradiktif ?
3.      Apa saja syarat-syarat Ta’arud Al Adillah ?
4.      Bagaimana Metode penyelesaian Ta’arud Al Adillah ?
5.      Bagaimana contoh penyelesaian Ta’arud Al Adillah ?
6.      Apa pengertian Maslahah?
7.      Apa pembagian Maslahah?
8.      Apa tingkatan-tingkatan Maslahah?
9.      Apa saja syarat-syarat maslahah mursalah?
10.  Bagaimana kehujanan maslahah mursalah?

            C.  Tujuan
1.      Untuk mengetahui  pengertian Ta’arudh Al-adillah
2.      Untuk mengetahui  bentuk-bentuk dalil yang kontradiktif
3.      Untuk mengetahui  Apa saja syarat-syarat Ta’arud Al Adillah
4.      Untuk mengetahui  Bagaimana Metode penyelesaian Ta’arud Al Adillah
5.      Untuk mengetahui  Bagaimana contoh penyelesaian Ta’arud Al Adillah
6.      Untuk mengetahui  pengertian Maslahah
7.      Untuk mengetahui  pembagian Maslahah
8.      Untuk mengetahui  tingkatan-tingkatan Maslahah
9.      Untuk mengetahui  Apa saja syarat-syarat maslahah mursalah
10.  Untuk mengetahui  Bagaimana kehujanan maslahah mursalah





BAB II
PEMBAHASAN


1.    Pengertian  Ta’arudh Al-Adillah
               Ta’arudh menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya. Sementara kata Al-Adillah  adalah bentuk Plural dan kata dalil, yang berarti argumen, alasan dan dalil.
               Secara istilah Ta’arud la-adillah diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil lain. Sehingga dalam implikasinya kedua dalil yang berlawanan tersebut tidak mungkin dipakai pada satu waktu.[2] Perlawanan itu dapat terjadi antara ayat Al-Qur’an dengan Al-Qur’an yang lain, Hadits Mutawatir dengan Hadits Mutawatir yang lain, Hadits Ahad dengan Hadits Ahad yang lain. Sebaliknya perlawanan tersebut tidak akan terjadi apabila kedua daaul tersebut berbeda kekuatannya, karena pada hakikatnya dalil yang lebih kuatlah yang diamalkan.
               Diantara beberapa definisi Taarud al-Adillah menurut beberapa ahli usul fiqh diantaranya yang dikemukakan oleh Amir Syarifudin mena’rifkan ta’arudh dengan berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu Siantar dua dalil itu meniadakanhukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya.[3]
               Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan ta’arudh secara singkat, yaitu kontradiktif antara dua Nash atau dalil yang sama kekuatannya. Dari beberapa definisi tersebut memberi tik penekanan yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa ta’arud itu merupakan pembahasan dua dalil yang saling bertentangan[4]
2. Bentuk-bentuk Dalil yang Kontradiktif
               Pengertian dalil yang kontradiktif mencakup dalil yang naqli (dalil yang memang telah termaktub dalam Al-Qur’an atau hadist nabi secara tekstual) dan dalil aqli (dalil dimana rasionalitas menjadi penentunya) seperti qiyas, bahkan juga mencakup dalil yang qath’i dan juga zhanni.
Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa saja yang memungkinkan adanya kontra antara satu dengan yang lain. Perbedaan itu antara lain:
               Menurut jumhur ulama mengatakan bahwa antara dua dalil yang qath’i tidak mungkin terjadi kontradiksi secara makna dhahir karena setiap dalil qath’i mengharuskan adanya madlul (hukum). Bila dua dalil yang qath’i berbenturan berarti setiap dalil itu mengharuskan adanya hukum yang saling berbenturan. Dengan demikian maka akan terjadi dua hal yang saling meniadakan pihak lain, hal ini sangat mustahil terjadi. Sebagian ulama berpendapat memungkinkan adanya dua dalil yang qath’i yang saling meniadakan
               Segolongan ulama menolak terjadinya perbenturan antara dua dalil yang zhanni sebagaimana tidak boleh terjadi perbenturan antara dua dalil yang qath’i, dengan tujuan untuk menghindarkan perbenturan dalam firman pembuat hukum syar’i. sedangkan sebagian ulama yang lain membolehkan terjadinya perbenturan dua dalil yang zhanni karena tidak ada halangan bagi perbenturan tersebut selama terbatas pada dalil yang tidak qath’i, seperti yang terjadi pada qiyas. Jika kontradiksi antara dua dalil yang bukan nash seperti dua qiyas yang saling bertentangan, maka ini mungkin saja kontradiksi yang hakiki atau sebenarnya. Karena kadang-kadang dari salah satu dari keduanya salah, maka jika mungkin memenangkan salah satu dari dua qiyas tersebut, yang menang itulah yang diamalkan.
               Kedua golongan yang berbeda pendapat itu semuanya sepakat bahwa terjadinya kontradiksi dalil tersebut hanya dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil itu sendiri tidak ada benturan. Dengan kesimpulan dari dua pendapat itu bahwa kontradiksi antara dua dalil ini tidak akan terjadi kecuali apabila kedua dalil itu sama kekuatannya. Maka jika salah satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka yang diikuti adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat. Dengan demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash yang qath’i dan nash yang zhanni. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi sebagai berikut:
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ
بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 180)
   Ayat di atas secara dhahir maknanya mengalami kontradiksi dengan ayat sebagai berikut:
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءٗ ......
“Allah mensyari’tkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian orang laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’: 11)
                 Ayat pertama mewajibkan kepada yang telah merasa mendekati ajalnya agar mewasiatkan harta kepada orang tua dan sanak kerabatnya secara baik. Dan ayat kedua menetapkan asing-masing orangtua anak-anak dan sanak kerabat mendapat hak dari harta pusaka lantaran wasiat Allah bukan wasiat yang mewariskan. Berarti kedua ayat tersebut kontradiksi secara makna lahirnya dan mungkin bisa mengkopromikan keduanya, yaitu jika yang dimaksudkan ketentuan tentang mereka yang terhalang mendapat warisan oleh satu penghalang seperti perbedaan agama[5].
3. Syarat-syarat Ta’arud Al Adillah
Syarat-syarat ta’arud adalah sesuatu yang ada atau tidak adanya dapat menyebabkan ada atau tidak adanya pertentangan. Syarat-syarat pertentangan tersebut antara lain:
A.    Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan, seperti halal dengan haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan meniadakan. Karena bila tidak saling berlawanan, maka tidak ada pertentangan.

B.     Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama. Apabila obyeknya berbeda, maka tidak ada pertentangan. Seperti mengenai akad nikah. Nikah menyebabkan boleh (halal) nya menggauli istri dan melarang (haram) menggauliibu si istri. Dalam hal ini tidak ada pertentangan antar duahukum yang saling berlawanan. Karena orang yang menerima halal dan haram berbeda.

C.     Masa atau waktu berlakunya hukum yang saling bertentangan tersebut sama. Karena mungkin sja terdapat dua ketentuan hukum yang saling berlawanan dalam obyek (tempat) yang sama, namun masa atau waktunya berbeda. Seperti khamr dihalalkan pada permulaan Islam, namun kemudian diharamkan. Begitu juga dihalalkannya menggauli istri sebelum dan sesudah haidl dan diharamkan menggaulinya pada masa haidl.

D.    Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama. Karena mungkin saja dua hukum yang saling bertentangan tersebut sama dalam obyek (tempat) dan masa, namun hubungannya berbeda. Seperti halalnya menggauli istri bagi suami dan haramnya menggauli istri tersebeut bagi laki-laki selain suaminya.


E.      Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya. Tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dengan hadits ahad, karena dari segi asalnya al-Qur’an adalah qath’i sedangkan hadits ahad dzanni[6].

4. Metode Penyelesaian Ta’arud Al Adillah
               Perlu dicatat, bahwasannya tidak akan ada pertentangan yang hakiki antara dua ayat atau dua hadits shahih, antara ayat dan hadits yang shahih. Apabila tampak ada pertentangan antara dua nash dari nash-nash ini,maka sebenarnya ia hanyalah pertentangan yang lahiriyah saja, sesuai dengan yang Nampak pada akal pikiran kita. Ia bukan pertentangan yang hakiki. Karena pembuat hukum yang Maha Esa lagi Maha Bijaksana tidak mungkin mengeluarkan suatu dalil yang menghendaki hukum pada satu kasus, dan mengeluarkan dalil lain pada kasus itu juga yang menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum tersebut pada waktu yang sama.
               Jika ada dua nash, yang lahiriyah kedua nash itu saling bertentangan, maka ijtihad wajib dilakukan untuk memalingkan keduanya dari pengertian lahiriyah ini dan berhenti pada hakikat yang dikehendaki dari dua nash itu, untuk membersihkan Allah Yang Maha mengeluarkan syari’at Yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana dari kontradiksi dalam hukum-Nya. Jika memungkinkan untuk menghilangkan pertentangan yang bersifat lahiriyah antara dua nash itu dengan menggabungkan dan mengadakan sintesa antara dua nash itu dan dua-duanya diamalkan. Penggabungan ini merupakan penjelasan, karena sebenarnya tidak ada pertentangan antar kedua-duanya dalam hakikatnya[7].
Apabila seorang mujtahid menemukan dua dalil yang bertentangan, maka ia dapat menggunakan dua cara untuk berusaha menyelesaikannya. Kedua cara itu dikemukakan masing-masing oleh ulama Hanafiyyah dan ulama Syafi’iyyah[8].
A.            Menurut  Hanafiyyah
Ulama Hanafiyyah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan dengan cara [9]
1.   Nasakh
Nasakh ( النَّسْخُ ), adalah membatalkan hukum yang ada didasarkan adanya dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dari hukum pertama. Dalam hubungan ini seorang mujtahid harus berusaha untuk mencari sejarah munculnya kedua dalil tersebut. Apabila dalam pelacakannya ditemukan bahwa satu dalil muncul lebih dahulu daripada dalil lainnya maka yang diambil adalah dalil yang datang kemudian.

2. Tarjih
Tarjih ( التَّرْجِيْحُ ) adalah menguatkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukungnya. Apabila  masa turunnya atau datangnya dua dalil tersebut tidak diketahui, maka seorang mujtahid bisa melakukan tarjih terhadap salah satu dalil, jika memungkinkan. Akan tetapi, dalam melakukan tarjih itupun mujtahid tersebut harus mengemukakan alasan-alasan lain yang membuat ia menguatkan satu dalil dari dalil lainnya. Tarjih itu bisa dilakukan dari tiga sisi:
§    Dari segi petunjuk kandungan lafadz suatu nash
§    Dari segi hukum yang dikandungnya
§    Dari sisi  keadilan periwayat sutu hadits.
3. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Jam’u wa Al-Taufiq (الْجَمْعُ وَالتَّوفِيْقُ) yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengkrompomikannya. Dengan demikian, hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena kaidah fiqih mengatakan, “mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.

4. Tasaqut Al Dalilain
Tasaqut Al Dalilain (تَسَاقُطُ الدَّلِيْلَيْنِ)  yaitu menggugurkan (tidak mengamalkan) kedua dalil yang saling bertentangan. Dalam arti, seorang mujtahid merujuk dalil yang tingkatannya lebih rendah dari dalil yang bertentangan tersebut sebagai dasar beramal. Apabila terdapat dua dalil yang saling bertentangan yang tidak mungkin untuk mengkompromikan lagi dalam seluruh seginya, maka kedua dalil tersebut digugurkan karena dipandang bertentangan. Seorang mujtahid tidak boleh menjadikan kedua dalil yang bertentangan sebagai dasar beramal, namun ia harus mencari dalil lain yang kedudukannya lebih rendah[10].
            Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan di atas, harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai cara keempat.

b. Menurut Syafi’iyyah
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama Syafi’iyyah sebagai berikut:


1. Jam’u wa Taufiq
Jam’u wa Taufiq yaitu mengkompromikan dan menyelaraskan kedua dalil yang bertentangan tersebut sekalipun dari satu sisi saja. Mengamalkan kedua dalil, sekalipun dari satu sisi, menurut mereka dapat dilakukan dengan tiga cara:
§     Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi, maka lakukan pembagian yang sebaik-baiknya.
§     Apabila kedua hukum yang bertentangan itu mengandung beberapa ketentuan beberapa hukum, maka boleh memilih salah satu hukum, asal didukung oleh dalil lain.
§     Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bersifat universal atau mencakup beberapa hal. Kedua dalil tersebut dapat diamalkan dengan mengklasifikasikan atau membaginya dalam beberapa bagian. Sehingga hukum yang terkandung dalam bagian-bagian tersebut saling berhubungan satu sama lain[11].
2. Tarjih
Tarjih artinya menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya.
3. Nasakh
Nasakh yaitu membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat harus diketahui mana dalilyang pertama kali dating dan mana yang datang kemudian.
4. Tasaqut Al Dalilain
Tasaqut Al Dalilain yaitu meninggalkan kedua dalil yang bertentangan dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil tersebut. Menurut ulama’ Syafi’iyyah, keempat cara di atas harus ditempuh secara berurutan dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil.
               Setelah menjelaskan metode-metode penyelesaian pertentangan antara dua nash menurut dua madzhab, maka Nampak jelas beberapa perbedaan  antara keduanya, yaitu antara lain:
1.               Tindakan pertama kali yang harus dilakukan seorang mujtahid  untuk menolak pertentangan  menurut madzhab Hanafiyah adalah menasakh. Adapun menurut madzhab Syafi’iyah, tindakan petama yang harus dilakukan adalah mengkompromikan (jama’) kedua nash yang saling bertentangan tersebut. Kami memandang bahwa pendapat madzhab Syafi’iyah adalah pendapat yang unggul. Karena sebagaimana pendapat mereka mengamalkan kedua nash tersebut adalah lebih baik daripada mnggugurkan keduanya atau salah satunya. Nasakh berarti menggugurkan salah satu nash, sedangkan jama’ berarti mengamalkan keduanya secara bersama-sama. Pendapat madzhab Syafi’i ini dapat merealisasikan tujuan syari’ (Allah) yakni mengamalkan dua ketentuan hukum yang terkandung dalam kedua nash yang saling bertentangan dengan cara mengkompromikannya. Allah tidak mensyari’atkan suatu hukum dengan tanpa manfa’at[12].

2.               Madzhab Syafi’i lebih mendahulukan jama’ daripada tarjih, sehingga tidak boleh mentarjih kecuali apabila kedua dalil yang bertentangan tersebut tidak dapat dikompromikan. Sedangkan madzhab Hanafi lebih mendahulukan tarjih daripada jama’, karena mengamalkan yang lebih unggul dan meninggalkan dalil lainnya dari kedua dalil yang saling bertentangan adalah sesuai dengan pendapat yang telah disepakati oleh orang-orang berakal. Mereka memandang bahwa jika jama’ lebih didahulukan daripada tarjih, maka hal itu berarti mendahulukan dalil yang tidak diunggulkan dan meninggalkan yang lebih unggul. Mereka memandang bahwa jama’ adalah metode hyang tidak diunggulkan. Metode yang lebih unggul adalah mengamalkan dalil yang lebih unggul dengan cara mentarjihnya. Mereka juga berpendapat bahwa menggunakan tarjih bukan berarti menonaktifkan atau meninggalkan salah satu dari dalil yang bertentangan, sebagaimana pendapat madzhab Syafi’i.[13]
4.  Contoh Penyelesaian Ta’arud Al Adillah
               Contoh nash Al Quran yang berlawanan :
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفُوْن َمِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍوَعَشْرًا           
Artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’idah) empat bulan sepuluh hari…”. (QS.Al Baqarah: 234)
               Ayat ini memberikan petunjuk bahwa setiap wanita yang ditinggalkan suaminya meninggal’idahnya empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu hamil atau tidak hamil. Namun kalau dilihat dalam firman Allah pada surat lain:
وَاُوْلاَتُ اْلاَحْمَالِ اَجَلَهُنَّ اَنْ يَضَعْنَ جَمْلَهُنَّ
Artinya:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At Thalaq:4)
Ayat ini memberikan petunjuk setiap permpuan yang hamil yang suaminya meninggal atau diceraikan suaminya sedang mereka dalam keadaan hamil maka ‘idahnya sampai melahirkan.
               Kalau dilihat sekilas dalam ayat pertama perempuan yang hamil yang ditinggalkan suaminya meninggal ’iddahnya empat bulan sepuluh hari dan                                     Menurut ayat kedua nash ini berlawanan kalau dterangkan pada kasus yang sama, yang seperti ini dinamakan ta’arudh.
Tidak dapat dikatakan terjadi perlawanan dua buah dalil terkecuali kedua dalil itu sama kuat dan kalau satu dalil itu lebih kuat maka waj ib melaksanakan dalil terkuat dan dalil yang lemah wajib ditinggalkan, karena itu tidak mungkin terdapat berlawan antara dalil qath’i dan dzanni, tidak mungkin terkadi berlawanan antara nash dan ijma’ atau dengan qiyas. Yang mungkin terjadi berlawanan antara ayat dengan hadits mutawatir atau antara hadits yang mutawatir dengan hadits mutawatir atau antara kedua buah hadits yang bukan mutawatits atau antara dua buah qiyas.
               Patut digaris bawahi bahwa tidak akan terjadi berlawan yang sebenarnya antara dua buah ayat atau antara dua buah hadits yang shahih atau antara ayat dan hadits yang shahih, kalaulah nampaknya berlawanan hanya menurut lahirnya saja atau menuru yang dapat dijangkau oleh otak manusia, namun apabila diteliti dengan seksama tidak terjadi pertentangan. Allah Yang Maha Bijaksana tidak akan menentapkan dua hukum yang berlawan, dua hukum yang berlaku pada satu kasus pada satu waktu yang sama.
               Menurut riwayat Abdullah bin Mas’ud, ayat kedua turunnya lebih akhir daripada ayat pertama. Sehingga dengan demikian, maka ayat kedua dapat menasakh ayat pertama. Jadi iddahnya wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil adalah sampai ia melahirkan janinnya, baik lahir setelah lewat masa empat bulan sepuluh hari atau belum.
               Ulama’ yang tidak mengakui adanya nasakh ini, mengamalkan dua ayat sekaligus. Mereka berpendapat bahwa iddahnya wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil adalah masa terlama dari kedua masa tersebut yaitu empat bulan sepuluh hari bagi wanita yang ditinggal suaminya dan sampai melahirkan janinnya bagi wanita yang dicerai dalam keadaan hamil. Mana diantara dua masa iddah tersebut yang terlama dihitung dari saat meninggalnya suami, itulah masa iddahnya. Hal ini atas dasar alasan, karena kedua ayat tersebut menetapkan adanya masa iddah dari satu sisi saja. Oleh karenanya, kedua ayat tersebut harus dijama’kan dan diamalkan secara bersama sebagai tindakan preventif (hati-hati). Ini pendapat Ali bin Abi Thalib.
   Contoh nash hadist yang berlawanan :
   a.   اَلاَاُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ الشُّهَدَاءِ, الَّذِيْ يَأْتِيْ بِالشَّهَادَةِ قَبْلَ اَنْ يَسْئَلَهَا (رَوَاهُ مُسْلِم)
“apakah aku tidak memberitahu kamu sekalian tentang sebaik-baik saksi, yaitu seorang yang memberikan kesaksian sebelum diminta”
b.  اِنَّ وَيَخُوْنُوْنَ وَلاَ يُؤْتَمَنُوْنَ خَيْرَ اُمَّتِيْ قَرْنِيْ , ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ و ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ , ثُمَّ اِنَّ مَنْ بَعْدَهُمْ قَوْمًا يَشْهَدُوْنَ وَلاَيَسْتَشْهَدُوْنَ(رَوَاهُ بُخَارِى وَ مُسْلِم )
“bahwa sebaik-baik umatku adalah golonganku,kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka yaitu sekelompok manusia  yang memberikan kesaksian tanpa dimintai, tidak berkhianat dan dapat dipercaya”
               Hadits pertama memperbolehkan meminta kesaksian sebelum pihak yang bersangkutan memintanya, baik menyangkut hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. Hadits kedua melarang hal tersebut secara mutlak. Secara lahiriah (dzahir), kedua hadits tersebut saling bertentangan. Oleh karena itu,maka hadits pertama harus dipahami bahwa kesaksian dapat diterima dengan tanpa memintanya terlebih dahulu hanya sepanjang menyangkut hak-hak Allah. Karena dalam urusan yang menyangkut hak-hak Allah, tidak diperlukan adanya kesaksian selain Allah sendiri. Dan hadits kedua harus dipahami bahwa kesaksian dapat diterima sekalipun dengan meminta terlebih dahulu hanya sepanjang menyangkut hak-hak manusia. Dengan demikian, maka kedua hadits tersebut menjadi tidak bertentangan.






6. Pengertian Maslahah

               Menurut istilah umum Maslahah adalah: mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak. Lebih jelasnya Manfaat adalah ungkapan dari sebuah kenikmatan atau segala hal yang masih berhubungan denganya, sedangkan kerusakan adalah hal-hal yang menyakitkan atau segala sesuatu yang ada kaitan denganya.
               Pandangan terhadap Maslahah tebagi menjadi dua bagian, yaitu pandangan maslahah menurut kaum sosialis materialis serta pandanganya menurut syara’(hakikat syara’),
1.      Al Syatiby mengatakan: “ maslahah ditinjau dari segi artinya adalah segala sesuatu yang menguatkan keberlangsungan dan Menyerpurnakan kehidupan manusia, serta memenuhi segala keinginan rasio dan syahwatnya secara mutlak”[14].
2.       Sedangkan menurut arti secara Syara’ (hakikat) adalah segala sesuatu yang menguatkan kehidupan di dunia tidak dengan cara merusaknya serta mampu menuai hasil dan beruntung di akhirat, dalam hal ini al Syatiby mengatakan, “ menarik kemaslahatan dan membuang hal-hal yang merusak bisa juga disebut dengan melaksanakan kehidupan di dunia untuk kehidupan di akhira[15]
3.       
Al Ghozali maslahah adalah: “memelihara tujuan daripada syari’at”. sedangkan tujuan syara’ meliputi lima dasar pokok, yaitu:
1)   Melindungi Agama (Hifdu Al Diin),
2)   Melindungi Jiwa (Hifdu Al Nafs),
3)   Melindungi Akal (Hifdu Al Aql),
4)   Melindungi Kelestarian Manusia (Hifdu Al Nasl),
5)   .Melindungi Harta Benda (Hifdu Al Mal)[16].
7. Pembagian Maslahah
Ditinjau dari materinya, para ulama ushul fiqh membagi menjadi dua :

1. Maslahah ammah ;
Maslahah al ammah adalah kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya ulama memperbolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.

2. Maslahah khassah .
Maslahah khashsah adalah kemaslahatan pribadi. Maslahah khashsah ini sering terjadi dalam kehidupan kita seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang.
Dan dilihat dari segi keberadaan Maslahat itu sendiri, syariat membaginya atas tiga bentuk yaitu:

               1.      Maslahah Mu’tabarah
Maslahah muktabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syariat. Maksudnya, ada dalil khusus yang menjadi bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Dalam kasus peminum khamer misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadis Nabi dipahami secara berlainan oleh para ulama fikh, disebabkan perbedaan alat pemukul yang digunakan oleh Rasulullah SAW. maslahah menjaga agama, nyawa, keturunan (juga maruah), akal dan nyawa. Syarak telah mensyariatkan jihad untuk menjaga agama, qisas untuk menjaga nyawa, hukuman hudud kepada penzina dan penuduh untuk menjaga keturunan (dan juga maruah), hukuman sebatan kepada peminum arak untuk menjaga akal, dan hukuman potong tangan ke atas pencuri untuk menjaga harta.
               2.      Maslahah Mulghah
Maslahah mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak karena bertentangan dengan hukum syara’. ini bukanlah maslahah yang benar, bahkan hanya disangka sebagai maslahah atau ia adalah maslahah yang kecil yang menghalang maslahah yang lebih besar daripadanya. Misalnya, kemaslahatan harta riba untuk menambah kakayaan, kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan stress, maslahah orang- orang penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya.

3.      Maslahah Mursalah
Maslahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil syariat atau nash secara rinci, namun ia mendapat dukungan kuat dari makna implisit sejumlah nash yang ada.
Jadi, maslahah ini adalah satu keadaan di mana tiada dalil khas daripada Syara’ yang mengi’tibarkannya dan tidak ada hukum yang telah dinashkan oleh Syara’ yang menyerupainya, yang mana boleh dihubungkan hukumnya melalui dalil Qiyas. Tetapi pada perkara tersebut terdapat satu sifat yang munasabah untuk diletakkan hukum tertentu kepadanya kerana ia mendatangkan maslahah atau menolak mafsadah.
Contoh bagi maslahah ini adalah yang telah dibincangkan oleh ulama’ ialah seperti membukukan al-Qur’an, hukum qisas terhadap satu kumpulan yang membunuh seorang dan menulis buku-buku agama.






8. Tingkatan-tingkatan Dalam Maslahah

Dalam pengunaan maslahah ada tiga tingkatan yang harus kita ketahui, yaitu[17]:

1).  Maslahah Dhoruriyah,
Yaitu segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia, diniyah maupun dunyawiyah, dengan artian bahwa apabila maslahah ini ini tidak terwujud maka rusaklah kehidupan manusia di dunia.
Maslahah dhoruriyah ini meliputi:      
a.       Memlihara agama, untuk memelihara agama maka disyariatkan manusia untuk beribadah kepada Allah, menjalani semua perintahNya dan menjauhi semua laranganNya.
b.      Memelihara jiwa, untuk memlihara agama maka agama mengharamkan pembunuhan tanpa alasan yang benar, dan bagi yang melakukannya dijatuhi hukuman qishas.
c.       Memelihara keturunan, untuk memelihara keturunan maka agama mengharamkan zina, dan bagi yang melakukannya didera.
d.      Memelihara harta benda, untuk memelihara harta benda maka agama mengharamkan pencurian, bagi yang melakukannya diberi siksaan.
e.       Memelihara akal, untuk memelihara akal maka agama mengharamkan minum khomr.

2) Maslahah Hajjiyah,
Yaitu segala bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dhoruriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud ,tetapi dapat menghindarkan kesulitan. Seperti menikahkan anak- anak.

3) Maslahah Tahsiniyah,
yaitu mempergunakan segala yang layak dan pantas dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan semuanya dicakup oleh mahasinul akhlaq. Seperti menikahkan seorang perempuan dengan laki- laki yang sederajat.

9.  Syarat- Syarat Maslahah Mursalah

Uama’-ulama’ yang mengambil “maslahah mursalah” sebagai sumber hukum terutamanya ulamak Mazhab Maliki tidaklah sewenang-wenang menganggap setiap sesuatu itu sebagai “maslahah mursalah”. Bahkan mereka telah meletakkan beberapa syarat dalam mengambil “maslahah mursalah” sebagai sumber hukum agar tidak terjadi penetapan hukum yang berdasarkan nafsu. Syarat- syarat tersebut adalah:

a.       Bentuk mashlahah tersebut harus selaras dengan tujuan-tujuan syari’at, yakni bahwa kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasarnya, dan juga tidak menabrak garis ketentuan nash atau dalil-dalil yang qath’i. dengan kata lain bahwa kemashlahatan tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at, merupakan bagian keumumannya, bukan termasuk kemashlahatan yang gharib, kendati tidak terdapat dalil yang secara spesifik mengukuhkannya.
b.      Kemashlahatan tersebut adalah kemashlatan yang rasional, maksudnya secara rasional terdapat peruntutan wujud kemashlahatan terhadap penerapan hukum. Misalnya pencatatan administrasi dalam berbagai transaksi akan menetralisir persengketaan atau persaksiaan palsu. Dalam kaitannya dengan konteks syariat hal semacam ini selayaknya diterima. Beda halnya dengan pencabutan hak talak dari suami dan menyerahkan kewenangan pada qadli (hakim), keputusan kontropersial semacam ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan garis ketentuan syariat.
c.       Mashlahah yang menjadi acuan penetapan hukum haruslah bersukup universal, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Karena hukum-hukum syariat diberlakukan untuk semua manusia. Karenanya penetapan hukum tidak selayaknya mengacu secara khusus pada kepentingan-kepentingab pejabat, penguasa atau bermotif nepotisme misalnya.

10. Kehujjahan Maslahah Mursalah

                    Para ulama’ ushul fiqh bebeda argumen dalam hal kehujjahan maslahah al mursalah sebagai metode dan hujjah dalam penetapan hukum syara’. Dalam hal ini kalangan Malikiyah dan Hanabilah mengakui Maslahah mursalah sebagai metode dan hujjah dalam penetapan hukum islam, sedangkan Imam Syafi’I dan kalangan Hanafiyah menolaknya dengan alasan sebagai berikut:
Ø Syariatlah yang akan mengatur kamaslahatan manusia dengan nash- nash dan petunjuk qiyas. Sebab syar’I tidak akan berlaku semena- mena terhadap manusia dengan tanpa merumuskan ketentuan- ketentuan hukum yang menjamin segala kemaslahatan manusia. Menetapkan hukum syara’ berdasarkan maslahah mursalah berarti menganggap syari’at islam belum lengkap dan masih ada masalah yang belum terselesaikan. Hal ini bertentangan dengan fiman Allah yang berbunyi sebagai berikut:
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
Artinya:”Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja?” (QS.al- Qiyamah: 36).

        Pembentukan hukum syara’ berdasarkan maslahah mursalah berarti membuka pintu nafsu para pemimpin, ulama’, atau para hakim untuk menetapkan hukum islam menurut selaranya atau kemauannya sendiri dengan alasan kemaslahatan.
Setelah kita mengetahui argumentasi dari para Ulama’ yang menolak maslahah mursalah hendaknya kita juga harus tahu alasan-alasan para Ulama’ yang tetap mempertahankan metode ini, sebenarnya perbedaan mereka hanyalah apabila konsep maslahah mursalah dipakai di dalam muamalat (hubungan antar manusia), adapun apabila diterapkan dalam masalah yang bersifat ibadah maka semua ulama’ sepakat tentang tidak berlakunya metode ini, karena ibadah yang kita terima dari Syari’ bersifat doktrin (tauqifi) yang tidak sepenuhnya terjangkau oleh akal[18].
         Adapun alasan-alasan yang mendasari beberapa Ulama’ mengunakan maslahah mursalah adalah:

ü   bahwa kehidupan manusia akan selalu berjalan mengikuti gerak zaman oleh karena itu kemaslahatan manusia juga akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya.

ü  seandainya konsep maslahah mursalah ini tidak diterapkan di masyakat maka mereka akan banyak mendapati kesulitan-kesulitan dalam hidup ini, sedangkan Syari’at Islam tidak diturunkan kecuali untuk membuat pengikutnya menjadi labih mudah dalam mengarungi hidup ini, seperti keterangan dalam firman Allah:    وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَج

Artinya:“………dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.(QS.al hajj:78)





BAB III
PENUTUP

   Kesimpulan
1.      Pengertian Ta’arud Al Adillah
Ta’arudh (berlawanan) menurut arti bahasa ialah pertentangan satu dengan yang lainnya dan menurut arti syara’ ialah berlawanan dua buah nash yang kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu waktu. Dan Al’adillah ialah jama’ dari dalil yang berarti alasan, argumen dan dalil.
2.      Syarat-syarat Ta’arud Al Adillah
a)      Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan
b)      Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama
c)      Masa atau waktu berlakunya hukum yang saling bertentangan tersebut sama
d)     Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama
e)      Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya.
3.      Metode Penyelesaian Ta’arud Al Adillah
            Metode Hanafiyyah
            Metode syafi’iyyah
1.      Nasakh
            a.       Al-Jam’u wa Al-Taufiq
2.      Tarjih
            b.      Tarjih
3.      Al-Jam’u wa Al-Taufiq
            c.       Nasakh
4.      Tasaqut Al-Dalilain
            d.      Tasaqut Al-Dalilain
4.      Contoh penyelesaian Ta’arud Al Adillah
Contoh dalil yang berlawanan
 “Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’idah) empat bulan sepuluh hari…”. (QS.Al Baqarah: 234)
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa setiap wanita yang ditinggalkan suaminya meninggal’idahnya empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu hamil atau tidak hamil. Namun kalau dilihat dalam firman Allah pada surat lain:
 “Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At Thalaq:4)
Ayat ini memberikan petunjuk setiap perempuan yang hamil yang suaminya meninggal atau diceraikan suaminya sedang mereka dalam keadaan hamil maka ‘idahnya sampai melahirkan.
5. Pengertian Maslahah
Menurut istilah umum Maslahah adalah: mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak. Lebih jelasnya Manfaat adalah ungkapan dari sebuah kenikmatan atau segala hal yang masih berhubungan denganya, sedangkan kerusakan adalah hal-hal yang menyakitkan atau segala sesuatu yang ada kaitan denganya.










DAFTAR PUSTAKA

~        Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2001, Beirut: Dra al-Fikr, Cet.ke-2
~        Firdaus. Ushul Fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif. 2004, Jakarta: Zikrul Hakim,
~        Khalaf, Abdul Wahab, 1997, Ilmu ushulul Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press
~        Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh  Jilid 1,1997,  Jakarta: Logos Wacana Ilmu
~        Yahya, Mukhtar.,dan Fatchurrahman, 1993, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami. Bandung :Al-Ma’rif
~        http//:http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh/html
~        Abdul Wahhab Khallaf. 1994.  Ilmu Ushul Fiqh. Semarang:Dina Utama
~        Chaerul Umam dan Achyar Aminudin. 2001. Ushul Fiqh II . Bandung: CV Pustaka Setia
~        Muhammad Wafaa. 2001. Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara’ Bangil :Al-Izzah
~        Syafi’i Karim. 1997. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung:CV. Pustaka Setia




[1] http://irhambaktipasaribu.wordpress.com/2012/03/29/taarrudl-al-adillah-pertentangan- antara-dalil-dalil-dan-penyelesaiannya/
[2] Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam. (Bandung :Al-Ma’rif,1993), Halaman. 417
[3] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Halaman.204
[4] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, Halaman 205

[5] http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh/html

[6] Muhammad Wafaa, Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara’. Bangil:Al-Izzah, 2001, halaman.68-70
[7] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama:Semarang, 1994, halaman.361
[8] Chaerul Umam dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqh II , Bandung : CV Pustaka Setia, 2001 halaman. 186
[9].Chaerul Umam dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqh II , Bandung : CV Pustaka Setia, 2001    halaman. 187-190

[10] Chaerul Umam dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqh II , Bandung : CV Pustaka Setia, 2001,  halaman 97
[11] Muhammad Wafaa, ilmu ushul fiqh hlm.97
[12] Al ghozali .1997. “al mustasfa,Juz 1” Bairut.daar al ihya’ al turats al ‘araby. 218
[13] Abd. Wahbah Khalaf. Ilmu ushul fiqh.hlm. 86
[14]  Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 208
[15]  Abd. Wahbah Khalaf. Ilmu ushul fiqh.hlm. 86
[16] Dr M.ibn ahmad taqiyah.1999.”masadiru al tasyri’ al islamy”.Lebanon. muasisu al kitab al tsaqofiyah. Hal. 13.
[17] Al ghozali .1997. “al mustasfa,Juz 1” Bairut.daar al ihya’ al turats al ‘araby. 218
[18] Wahbah zuhaily.1990.”Ushul Fiqh”.kuliyat da’wah al islami. Hlm 89

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda