HUKUM PERKAWINAN ISLAM INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal, hal
inilah yang menjadi dambaan dan tujuan utama setiap orang dalam menempuh bahtra
rumah tangga yang diikat oleh suatu akad yang namanya perkawinan akan tetapi
hal itu sulit dan tidak sepenuhnya bisa di jalani. Karena itu pemerintah mengatur perkawinan supaya
terjalin nya ketertiban masyarakat dan
tidak ada pihak-pihak yang merasa terugikan karena perkawinan nya itu di
lindungi hukum oleh pemerintah. Beberapa perkawinan yang sering dilakukan
dengan hanya mengesahkan perkawinan menurut agamanya saja tidak sah menurut
hukum. Maka setiap perkawinan pemerintah memberikan jalan kepada Masyarakat
yang akan melakukan perkawinan untuk di catatkan dan berkekuatan hukum.
Diantara perkawinan yang tidak di
catatkan yaitu, kawin banwah tangan, kawin kontrak, terkadang juga Poligami
yang tidak di ketahui isteri pertama. Ada juga perkawinan yang tidak di
perkenankan oleh agama dan Negara antara lain poliandri, perkawinan sejenis,
perkawinan beda agama. Beberapa perkawinan di atas akan di jelaskan secara
rinci dalam makalah ini.
Larangan perkawinan bagi seorang
pria dan wanita di bahas dalam makalah ini kemudian pembatalan suatu perkawinan
akan di bahas dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun
1974. Dan Kompilasi Hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami
Kata
poligami sacara etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu pous yang berarti
banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian ini digabungkan maka
akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang.
Pengertian
poligama menurut bahasa Indonesia adalah sistem perkawinan yang salah satu
pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis diwaktu yang bersamaan. Para
ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari
seorang istri dengan istilah poligami yang berasal dari kata pous berarti
banyak dan gune berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai
lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata pous yang
berarti banyak dan Andros berarti laki-laki.
Jadi
kata yang tepat bagi seorang laki-laki mempunyai istri lebih dari seorang,
dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan poligami. Meskipun demikian,
dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan
seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersaan.
Yang dimaksud poligini itu meurut masyarakat umum adalah poligami.[1]
1.
POLIGAMI DALAM ISLAM
Poligami dalam islam
dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, baik jumlah maksimal maupun persyaratan
lain seperti:
a)
Jumlah
istri yang boleh dipoligami paling banyak empat orang wanita.seandainya salah
satu diantaranya ada yang meninggal atau diceraikan, suami dapat mencari ganti
yang lain asalkan jumlahnya tidak melebihi empat orang pada yang waktu yang
bersamaan sebagaimana yang terdapat dalam Q.S An-nisa ayat 3.
“ Dan jika kamu khawatir tidak akan
mampu berbuat adil terhadap hak-hak
perempuan yatim (bila kamu menikahinya) maka nikahilah perempuan lain yang kamu
senangi, dua, tiga atau empat. Tetapijika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil[2]
maka nikahilah seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang
demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”.
(QS. An-Nisa 4:3)
b)
Laki-laki
itu dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya yang menyangkut
masalah-masalah lahiriah seperti pembagian waktu jika pemberian nafkah dan
hal-hal yang menyangkut kepentingan lahir.
2.
SYARAT-SYARAT POLIGAMI
Hukum
perkawinan sebagaimana terdapat dalam undang-undang perkawinan (UUP) Nomor 1
tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) memperbolehkan poligami, walaupun
terbatas hanya sampai empat orang istri. Ketentuan ini tercantum daam pasal 3
dan 4 Undang-undang Perkawinan 1974 dan pasal 55 - 59 KHI. Adapun kebolehan
poligami dalam KHI terdapat pada bab IX pasal 55 - 59, antara lain menyebutkan
syarat utama poligami harus berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya
(pasal 55 ayat 2).
Alasan yang dipakai pengadilan agama
untuk memberikan izin poligami kepada suami antara lain:
1)
Istri
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
2)
Istri
menderita cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3)
Istri
tidak dapat meahirkan keturunan.[3]
3.
PROSEDUR POLIGAMI
Mengenai
prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh islam memang tidak ada
ketentuan secara pasti, namun di Indonesia dengan Kompilasi Hukum Islamnya,
telah mengatur hal tersebut:
1)
Suami
yang berhak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan
agama, yang pengajuannya telah diatur dengan peraturan pemerintah KHI pasal 56
(1).
2)
Perkawinan
yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari
pengadilan agama tidak mempunyai kekuatan hukum KHI pasal 56 (1).
B. NIKAH SIRI
Secara harfiah “siri”itu artinya “rahasia”. Jadi nikah siri adalah pernikahan
yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak. Secara umum nikah siri adalah
sebuah perbuatan dalam melakukan pernikahan sesuai aturan agama dalam hal ini
Ajaran Islam. Nikah siri tidak berkekuatan hukum karena pernikahan nya tidak
tercatat dan tidak di akui pemerintah, akan tetapi pernikahan siri di legalkan
atau di sahkan apabila kedua belah pihak meminta atau mengajukan isbath nikah
kepada Pengadilan Agama setempat Sesuai pasal 7 Kompilasi Hukum Islam.
1.
TATA CARA PERNIKAHAN SIRI
Tata cara menikah
siri tidak jauh beda dengan menikah secara resmi di KUA, dimana dalam
pernikahan itu harus dipenuhi syarat dan rukunnya.
1)
Adanya
calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
2)
Adanya
ijab qabu.
3)
Adanya
mahar (mas kawin).
4)
Adanya
wali.
5)
Adanya
saksi-saksi.
2.
PENGESAHAN PERNIKAHAN SIRI
Dalam KHI Pasal 7 (3) Mencatatkan
perkawinan dengan istbat nikah. Istbat nikah yang dapat diajukan kepengadilan
agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a)
Dalam
rangka penyelesaian perceraian. Dalam kasus ini biasanya menggunakan gugatan
komuatif, yaitu pemohon meminta atau memohon disahkan dahulu perkawinannya,
setelah itu mohon diceraikan;
b)
Hilangnya
akta nikah;
c)
Adanya
keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d)
Adanya
perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang No. 1 tahun 1974; dan
e)
Perkawinan
yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
f)
Yang
berhak mengajukan permohonan istbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak
mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
C. KAWIN KONTRAK
Menurut Dr. H. Mahjuddin, M.Pd. I,
kawin kontrak merupakan tradisi masyarakat jahiliyah.[4]
Yang pengertiannya menurut Sayyid Syabiq, ”kawin kontrak adalah adanya seorang
pria mengawini wanita selama sehari, atau seminggu, atau sebulan.” Dan
dinamakan muth’ah karena laki-laki mengambil manfaat serta merasa cukup dengan
melangsungkan perkawinan dan bersenang-senang sampai kepada waktu yang telah
ditentukannya.[5]
Secara istilah, kawin kontrak adalah
pernikahan antara laki-laki dan perempuan dengan menyebutkan batas waktu
tertentu ketika akad nikah, misalnya satu minggu,satu bulan, satu tahun, dan
sebagainya. Apabila telah sampai pada waktu yang ditentukan,maka pernikahan itu
putus dengan sendirinya tanpa kata thaaq dan tanpa warisan.[6]
Menurut undang-undang perkawinan di
Indonesia.
Dalam sudut
pandang hukum, kawin kontrak pada dasarnya tidak diperkenankan oleh hukum
perkawinan Indonesia yaitu yang terangkum dalam undang-undang perkawinan Nomor
1 Tahun 1974. Pasal 1 pasal 2 ayat (1).[7]
Kawin kontrak bukan merupakan
perkawinan yang sah karena pada dasarnya dilakukan bukan karena adanya tujuan
yang mulia untuk mematuhi perintah tuhan dan untuk membentuk keluarga yang
berbahagia, melainkan hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan yang didasari
kepentingan yang bertentangan dengan hukum perkawinan itu sendiri, misalnya
demi memenuhi kebutuhan ekonomi / hawa nafsu. Selain itu dalam hukum perkawinan
dikenal adanya asas pencatatan perkawinan yang tertuang dalam pasal 2 ayat (2)
undang-undang nomor 1 tahun 1974.[8]
Kawin kontrak bukan hanya tidak
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi proses dari
perkawinannya itu sendiri berlangsung secara diam-diam bahkan tidak banyak
orang yang mengetahuinya. Adapun pengertian “sah” dalam pandangan para pelaku
kawin kontrak hanya didasarkan pada terpenuhunya persyaratan dua calaon
mempelai, persetujuan orang tua, penghulu, dan mahar, sehingga mereka berfikir
bahwa secara agama perkawinan tersebut sah meskipun tidak dicatat.
Ini adalah pemahaman yang keliru
karena berdasarkan hukum perkawinan, perkawinan itu akan sah apabila dicatat
oleh lembaga yang berwenang melakukan pencatatan. Mengenai asas pencatatan ini
pun tertuang dalam Instruksin Presiden Nomor 1 tahun 1991 yang merupakan
pelaksanaan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan. Kemudian jika dilihat dari syarat-syarat perkawinan yaitu yang
termuat dalam pasal 6 ayat (1) yang berbunyi: “perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai.”[9]
Dalam undang –undang perkawinan
dikenal asas bahwa para pihak harus sudah aqil balig. “aqil” dalam hal ini
adalah “berakal” dan balig adalah “dewasa secara fisik”. Banyak pihak yang
mengartikan dewasa itu hanya hanya sebagai “balig”, padahal kedewasaan itu
ditunjang oleh “aqil” sehingga seseorang tersebut mempunyai akal untuk berfikir
atau mempertimbangkan sesuatu itu apakah benar atau tidak, apakah berakibat
buruk atau tidak.
Kawin kontrak merupakan sebuah
fenomena terselubung dalam masyarakat sekarang ini. Pelaksanaan kawin kontrak
sangat bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974, karena dalam kawin kontrak yang
ditonjolkan hanya nilai ekonomi, dan perkawinan ini hanya bersifat sementara.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan haruslah bersifat kekal untuk selama-lamanya.
D. POLIANDRI
Poliandri yaitu system perkawinan
yang memperolehkan seorang wanita memiliki suami lebih dari satu orang di waktu
yang bersamaan. Islam melarang tegas bentuk perkawinan poliandri. ALLAH SWT
berfirman ” Dan diharamkan juga kamu (para
laki-laki) mengawini wanita-wanita yang bersuami ..................” (QS.
An-Nisa:24).
Sementara dalam undang-undang Nomor
1 tahun 1974, terdapat pula larangan
poliandri yang tercantum dalam pasal 3 ayat 1:
“para azasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita harus hanya
boleh memiliki seorang suami.”
E. PERKAWINAN
SEJENIS
Perilaku Homoseksual adalah perilaku
seksual yang ditujukan pada pasangan sejenis, yang bila terjadi pada kaum
wanita sering disebut lesbianism. Homoseksualitas sudah sering terjadi
sepanjang sejarah umat manusia, reaksi berbagai bangsa di berbagai kurun waktu
sejarah terhadap homoseksualitas ternyata berlainan. Dalam praktik sulit
membagi orang kedalam dua kelompok: homoseksual dan heteroseksual, keduanya
merupakan dua kutub yang ekstrim. Banyak masyarakat yang memandang
heteroseksualitas sebagai perilaku yang “wajar”, sedangkan homosuksualitas
secara tradisional dipandang sebagai gangguan mental.
Dalam masyarakat yanga sudah lebih
toleran terhadap homoseksual, sering ditemukan komunitas gay. Yang mana
komunitas gay adalah wilayah geografis yang terdapat subkultur homoseksual
beserta aneka pranatanya.[10]
Adapun factor penyebab terjadinya homoseksualitas bisa bermacam-macam, seperti
karena mendapat kekurangan hormone lelaki selama masa pertumbuhan, karena
mendapat pengalaman homoseksual yang menyenangkan pada masa depan remaja atau
masa sesudahnya, karena memandang perilaku heteroseksual sebagai sesuatu yang
menakutkan atau tidak menyenangkan, ataupun karena besar ditengah keluarga
dimana ibu lebih dominan dari pada sang ayah atau bahkan tidak ada.
Bisa dikatakan bahwa homoseksual
atau lesbian itu adalah sebuah penyakit dimana mereka melampiaskan kebutuhan
seksualnya tetapi tidak pada hal yang sewajarnya , mereka melakukannya tidak
pada lawan jenis tetapi sesama jenis.
Biasanya perilaku itu muncul karena lingkungannya lah yang sudah membentuk main
sheet / pikiran mereka untuk melakukan tindakan penyimpangan itu, mungkin pada
suatu daerah,hal itu dianggap biasa saja tetapi pada masyarakat umumnya hal itu
adalah suatu yang tabu untuk dilakukan, apabila menurut agama perbuatan itu
sangat dilarang dan melanggar ajaran-ajaran agama.
1.
Peraturan
pemerintah di Indonesia terhadap kaum homoseksual
2.
Berdasarkan
pasal 1 undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan (“UU Perkawinan”),
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri.
Pasal 1
“perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita subagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
yang maha esa.”
Negara hanya mengakui perkawinan
pria dan wanita juga dapat kita lihat dalam kompilasi hukum islam (“ KHI”)[11]
Pemakalah hanya memaparkan beberapa pasal saja:
ü Pasal 1 huruf a KHI:
”Peminangan ialah kegiatan upaya kearah
terjadinya hubungan perjodohan antara seorang peria dengan seorang wanita”.
ü Pasal 1 huruf d KHI
“
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita,
baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum
islam”.
Selain itu mengenai perkawinan
sejenis ini, beberapa tokoh juga memberikan pendapatnya. di dalam artikel hukum
online yang berjudul menilik kontrofersi perkawinan sejenis, sebagai mana kami
sarikan, Ketua Komisi fatwa MUI KH. Ma’ruf Amin dengan tegas menyatakan bahwa
pernikahan sejenis adalah haram. Lebih
lanjut Ma’ruf amin mengatakan, ”masa
laki-laki sama laki-laki atau perempuan sama perempuan. Itukan kaumnya
Nabi Luth. perbuatan ini jelas lebih buruk dari pada zina”
Penolakan serupa juga di katakana
oleh pengajar hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Farida Prihatini.
Dia mengatakan bahwa perkawinan sejenis itu tidak boleh karena dalam al qur’an
jelas perkawinan itu antara laki-laki dan perempuan.[12]
F.
PERKAWINAN BEDA AGAMA
1. Perkawinan beda Agama menurut UU Perkawinan
No. 1 tahun 1974.
Di
Indonesia, sebagaimana terdapat dalam pasal 2 Undang-Undang No.1 tahun 1974
tentang perkawinan Pasal 2 (1) , Perkawinan adalah sah apa bila dia Lakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. .
Berdasarkan
pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan
undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pencatatan perkawinan dari
mereka yang melangsungkan perkawinanya menurut agama Islam, di lakukan oleh
pegawai pencatat sebagai mana dimaksud dalam undang-undang Nomor 32 tahun 1954
tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan pencatatan perkawinan dari
mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya
selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor
Catatan Sipil.
Pengaturan yang demikian menimbulkan
kekosongan hukum karena tidak secara jelas memperbolehkan atau menolak
perkawinan beda agama. Maka di kembalikan lagi kepada agama masing-masing
apakah memperbolehkan pernikahan beda agama. Akan tetapi dalam pasal 2 (1)
tersebut untuk umat islam di pertegas atau di jelaskan dalam pasal 40 dan 44
KHI.
2. Perkawinan
beda agama dalam KHI
Perkawinan beda agama dalam KHI
diatur secara eksplisit dalam pasal 40 huruf (c) yang menyatakan bahwa :
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keaadan tertentu; di antaranya, Karena seorng wanita yang tidak
beragama Islam.
Dalam
pasal 44 disebutkan bahwa seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
islam.
Berdasarkan dua pasal di atas ,dapat
dikatakan bahwa menurut KHI, seorang wanita non muslim apapun agama yang di
anutnya tidak boleh dinikahi oleh seorang pria yang beragama islam dan seorang
wanita muslim tidak boleh dinikahi oleh seorang pria non muslim, baik dari
kategori ahli kutab atau pun bukan ahli kitab.
G. LARANGAN PERKAWINAN
Larangan
perkawinan bagi seorang pria dan wanita telah di atur dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 39 yang berbunyi. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita disebabkan :
1. Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau
yang menurunkannya atau keturunannya.
b. dengan seorang wanita keturunan
ayah atau ibu.
c. dengan seorang wanita saudara
yang melahirkannya.
2. Karena pertalian kerabat semenda
:
a. dengan seorang wanita yang
melahirkan isterinya atau bekas isterinya.
b. dengan seorang wanita bekas
isteri orang yang menurunkannya.
c. dengan
seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul.
d. dengan seorang wanita
bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian
sesusuan :
a. dengan wanita yang
menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.
b. dengan seorang wanita
sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.
c. dengan seorang wanita
saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah.
d. dengan seorang wanita
bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.
e. dengan anak yang
disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn
seorang wanita
karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang
bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang
tidak beragama islam.
Pasal 41
1)
Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai
hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a. saudara kandung,
seayah atau seibu atau keturunannya
b. wanita dengan bibinya
atau kemenakannya.
2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap
berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang
mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali
perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara
mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak
raj`i.
Pasal 43
(1) Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a. dengan seorang wanita
bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b. dengan seorang wanita
bekas isterinya yang dili`an.
(2)
Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah
kawin dengan pria lain, kemudian
perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam
H. BATALNYA PERKAWINAN
Pembatalan
perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Terdapat dalam
Pasal 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28.
Pasal 22
Perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan
Pembatalan perkawinan yaitu:
a)Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari
suami atau isteri.
b)
Suami atau isteri.
c)Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum
diputuskan.
d)
Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini
dan setiap orang mempunyai kepentingan
hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
perkawinan itu putus.
Pasal 24
Barang siapa karena
perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah
pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-undang ini.
Pasal 25
Permihonan pembatalan
perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum
dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal 26
(1)
Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak
berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus
berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus
ke atas dari suami atau
isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2)
Hak untuk membatalkan oleh suami atau
isteri berdasrkan alasan dalam ayat (1) pasal
ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat
memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus
diperbaharui supaya sah.
ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat
memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus
diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
(1)
Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2)
Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri
suami atau isteri.
(3)
Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari
keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup
sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup
sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 28
(1)
Batalnya suatu perkawinan dimulai
setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku
sejak berlangsungnya perkawinan.
(2)
Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b.
suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang
lebih dahulu.
c.
Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh
hakhak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Adapun batalnya Perkawinan dalam KHI
tersapat pada Pasal 70 sampai dengan 76.
Pasal 70
Perkawinan batal apabila
:
a.
Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari
keempat isterinya dalam iddah talak raj`i;
b. seseorang menikah bekas isterinya yang telah
dili`annya;
c.
seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali
talak olehnya, kecuali bila bekas isteri
tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul
dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
d.
perkawinan dilakukan antara
dua orang y ang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat
tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun
1974, yaitu :
1.berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah
ataukeatas.
2.berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya.
3.berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dan ibu atau ayah tiri.
4.berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak
sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
e. isteri adalah saudara kandung atau sebagai
bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya.
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat
dibatalkan apabila:
a.
seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b.
perempuan yang dikawini
ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c.
perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;
d.
perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang-undang No.1. tahun 1974.
e.
perkawinan dilangsungkan
tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f.
perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
1)
Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabil perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
2)
Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau
salah sangka mengenai diri suami atau isteri
3)
Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih
tetap hidup sebagai suami isteri, dan
tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 73
Yang dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a.
para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
dari suami atau isteri;
b.
Suami atau isteri;
c.
Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
Undang undang.
d.
para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam
rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum
Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
tersebut dalam pasal 67.
Pasal 74
1)
Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan
dilangsungkan.
2)
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
perkawinan.
Pasal 75
Keputusan pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
a.
perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad;
b.
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c.
pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad
baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.
Pasal 76
Batalnya suatu
perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
BAB III
KESIMPULAN
Poligami adalah memiliki Isteri lebih dari satu orang dan hanya di
perbolehkan sampai empat isteri. Sesuai pasal 55 KHI, dalam pasal 55 ayat (1)
mengatakan bahwa syarat beristeri lebih dari satu orang yaitu suami harus
berlaku adil terhadap isteri dan anak-anaknya. Dalam pasal 56 (1) mengatakan bahwa suami yang beristeri lebih
dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Pasal 57 Pengadilan
Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami untuk yang akan beristeri
lebih dari satu orang apabila :
a.
Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.
b.
Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.
Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
akan
tetapi jika suami melangsungkan pernikahan dengan isteri kedua, ketiga, keempat
tanpa seizin dari Pengadilan Agama maka tidak mempunyai kekuatan hukum sesuai
pasal 56 (3).
Nikah
siri adalah nikah yang tidak berkekuatan hukum karena pernikahan nya tidak
tercatat dan tidak di akui pemerintah, akan tetapi pernikahan siri bisa di
legalkan atau di sahkan apabila kedua belah pihak meminta atau mengajukan
isbath nikah kepada Pengadilan Agama setempat Sesuai pasal 7 Kompilasi Hukum
Islam.
Kawin Kontrak adalah pernikahan
antara laki-laki dan perempuan dengan menyebutkan batas waktu tertentu ketika
akad nikah, misalnya satu minggu, satu bulan, satu tahun, dan sebagainya.
Apabila telah sampai pada waktu yang ditentukan,maka pernikahan itu putus
dengan sendirinya tanpa kata thalaq dan tanpa warisan. Dalam sudut pandang hukum, kawin kontrak pada
dasarnya tidak diperkenankan oleh hukum perkawinan Indonesia yaitu yang
terangkum dalam undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 1 dan 2.
Bahwa perkawinan itu ikatan lahir batin antara seorang laki laki dan perempuan
yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Poliandri
yaitu system perkawinan yang memperolehkan seorang wanita memiliki suami lebih
dari satu orang di waktu yang bersamaan. Islam melarang tegas bentuk perkawinan
poliandri. ALLAH SWT berfirman ” Dan
diharamkan juga kamu (para laki-laki) mengawini wanita-wanita yang bersuami
..................” (QS. An-Nisa:24).
Sementara dalam undang-undang Nomor
1 tahun 1974, terdapat pula larangan
poliandri yang tercantum dalam pasal 3 ayat 1:
“para azasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita harus hanya
boleh memiliki seorang suami.”
Perkawinan
sejenis tidak di bolehkan Berdasarkan pasal 1 undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan (“UU Perkawinan”), perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.
Pasal 1
“perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita subagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
yang maha esa.”
Negara hanya mengakui perkawinan
pria dan wanita juga dapat kita lihat dalam kompilasi hukum islam (“ KHI”)[13]
Pasal 1 huruf a KHI: ”Peminangan ialah kegiatan upaya kea
rah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang peria dengan seorang wanita”.
Pasal 1 huruf d KHI “
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita,
baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum
islam”.
Perkawinan beda agama tidak di
perkenankan sesuai pasal 2 (1) UU Perkawinan 1974. Dan KHI pasal 40 serta pasal
44.
DAFTAR PUSTAKA
~
Tihami,
Sohari Sahrani: Fikh Munahahat kajian
fiqh nikah lengkap. Jakarta :
rajawali pers, 2010.
~
M.
Hasan Ali.Masailfiqhiyah al-haditsah pada
masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
~
Prof.
Drs. H. Masjfuk zuhdi. Masail fiqhiyah,kapita selekta hukum islam,
Jakarta:CV.Haji masagung
~
Ann
Landers., problema dan Romantika Remaja terjemahan.
Bina Pustak: Jakarta.
~
Kementrian
Agama, Kompiasi Hukum Islam Bandung: Hunaniora Utama Press,1999
~
Soemiyati,Hukum
Perkawinan Isam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: liberty,7
~
Mahjuddin, Masaiu Fiqhiyah Jakarta: Kalam Mulia, 2003
~
Sayyid
Syabiq, Fikih Sunnah 6 Bandung: PT. A-Ma’arif, 1998
~
Rodli
Makmun, dkk., poigami dalam tafsir
Muhammad syahrur. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009
~
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam,. Jakarta : Grahamedia Press, 2014
[1]Tihami,
Sohari Sahrani: Fikh Munahahat kajian
fiqh nikah lengkap. ( Jakarta : rajawali pers, 2010).
[2]
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam memenuhi kebutuhan istri seperti
pakaian, tempat giliran dll yang bersifat lahiriah dan batiniah.
[3]
Rodli Makmun, dkk., poigami dalam tafsir
Muhammad syahrur. (Ponorogo: Stain Ponorogo Press 2009). Hal 4-41.
[4]
Mahjuddin, Masaiu Fiqhiyah (Jakarta:
Kalam Mulia,2003) Hal 51
[5]
Sayyid Syabiq, Fikih Sunnah 6(Bandung: PT. A-Ma’arif, 198 Ha 63
[6]
Team Musyawarah Guru Bina PAI MA A HikmahFiqih(Sragen: Akik Pustaka, 8 Ha 1
[7]
Soemiyati,Hukum Perkawinan Isam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta:
iberty,7 Hal 138
[8]
Kementrian Agama, Kompiasi Hukum Islam (Bandung: Hunaniora Utama Press,1999 Hal
18
[9]
Soemiyati,Op. Cit. Hal 140
[10]
Ann Landers., problema dan Romantika
Remaja (terjemahan). Bina Pustak: Jakarta. Hal 5-6
[11]
M. Hasan Ali.Masailfiqhiyah al-haditsah
pada masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada), Hal 145
[12]
Prof.Drs.H.Masjfuk zuhdi.Masail fiqhiyah,kapita selekta hukum
islam,(Jakarta:CV.Haji masagung)hal.78
[13]
M. Hasan Ali.Masailfiqhiyah al-haditsah
pada masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada), Hal 145
Label: Dunia Dakwah, Makalah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda