ANALISIS KOMPILASI HUKUM ISLAM PASAL 39 AYAT 2 HURUF C DIKAITKAN DENGAN TAFSIR SURAH AN-NISA AYAT 23
ANALISIS KOMPILASI HUKUM ISLAM PASAL 39 AYAT 2 HURUF C DIKAITKAN DENGAN TAFSIR SURAH AN-NISA AYAT 23
FAZAR SODIK
(NIM : 1415201019)
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM / AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2017
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Nikah merupakan sunnah
Rasulullah SAW yang jika tidak mengikuti sunnahnya
berarti bukan dari golongannya. Itu yang tersurat dalam suatu haditsnya yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad.
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه ( أَنَّ
اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَمِدَ اَللَّهَ , وَأَثْنَى عَلَيْهِ , وَقَالَ :
لَكِنِّي أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ , وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ , وَأَتَزَوَّجُ
اَلنِّسَاءَ , فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي ) مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
“Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata:
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan
sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang
subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di
hadapan para Nabi pada hari kiamat." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut
Ibnu Hibban”[1]
Akan tetapi dalam
pernikahan itu pasti ada suatu masalah, salah satunya yaitu orang-orang yang
haram untuk dinikahi atau mahram. Namun orang-orang seringkali
menyebutnya dengan kata muhrim padahal maknanya berbeda antara mahram
dan muhrim.
Dalam tulisan ini penulis
mencoba mengulas sedikit tentang apa dan siapa orang-orang yang haram untuk
dinikahi yang ada dalam Fiqih Madzhab dan Kompilasi Hukum Islam. Kemudian lebih
mengkhusukan Mengenai larangan
pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 ayat 2 huruf C mengatakan bahwa
“ larangan menikah Karena kerabat semenda : dengan seorang wanita keturunan
isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas
isterinya itu qobla al dukhul” pasal ini di kaitkan dengan tafsir surat an-nisa
ayat 23.
2. PEMBAHASAN
A. Pengertian Orang yang Haram dinikahi (Mahram)
Mahram (محرم) adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan
dalam syariat Islam. Muslim Asia Tenggara sering salah dalam menggunakan istilah mahram
ini dengan kata muhrim, sebenarnya kata muhrim memiliki arti yang lain. Dalam bahasa arab,
kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang berihram dalam ibadah haji sebelum bertahallul. Sedangkan kata mahram (mahramun) artinya
orang-orang yang merupakan lawan jenis kita yang haram (tidak boleh)
kita nikahi sementara atau selamanya. Namun kita boleh bepergian dengannya,
boleh berboncengan, melihat wajahnya, boleh berjabat tangan, dan seterusnya.
B.
Macam-macam Penafsiran dari para Mufasir mengenai orang orang yang haram di nikahi
Seperti dijelaskan dalam surat
An-Nisa ayat 23 bahwa mahram terbagi menjadi beberapa macam,
berikut uraiannya:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ
نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
غَفُورًا رَحِيمًا -
Artinya 23; Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi
pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Menurut tafsir Fi
Zhilalil Qur’an karya Sayyid Qutub dikatakan, bahwa wanita yang haram dinikahi
itu sudah terkenal (masyhur) pada semua umat, baik yang masih konservatif
maupun yang sudah maju. Sebab-sebab keharamannya itu banyak, demikian pula
kelas-kelas mahram menurut bermacam-macam umat. Daerahnya luas dikalangan
bangsa-bangsa yang masih terbelakang dan menyempit dikalangan bangsa-bangsa
yang telah maju.[2]
Wanita-wanita yang diharamkan-untuk
dinikahi-karena perkawinan (mushaharah) ada lima[3].
1)
Ushul az-Zaujah (induk istri) hingga keatas. Maka
seorang lelaki diharamkan menikahi ibu istrinya dan neneknya dari pihak bapak
istrinya atau dari pihak ibu istrinya hingga keatas. Pengharaman ini berlaku
begitu terjadi akad dengan istri, baik sudah digauli ataupun belum.
Artinya: “… dan ibu-ibu istrimu
…” (23)
2) Furu’
az-Zaujah (cabang-cabang istri) hingga ke bawah. Maka seorang lelaki diharamkan
menikahi anak perempuan istrinya dan anak-anak perempuan dari anak-anak
istrinya, baiklelaki maupun perempuan hingga ke bawah.pengharaman ini tidak
berlaku kecuali setelah istrinya digauli.
Artinya:
”.. dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu
cerauikan), maka tidak berdosa kamu menikahinya ..” (23)
3)
Istri-istri bapak dan kakek dari kedua belah pihak
–hingga ke atas. Maka seorang lelaki diharamkan menikahi istri bapaknya dan
istri kakeknya dari pihak bapaknya atau dari pihak ibunya hingga ke atas.
Artinya: “ dan janganlah kamu
nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang
telah lampau ..” (22)
4)
Istri-istri anak dan istri-istri cucuhingga ke
bawah. Maka seorang lelaki diharamkan menikahi istri anak kandungnya dan istri
cucunya hingga ke bawah.
Artinya: “… dan istri-istri anak
kandungmu (menantu)…” (23)
Ini sekilas membatalkan tradisi
Jahiliyah yang mengharamkan menikahi (mantan) istri anak asuh (adopsi).
5)
Saudara perempuan istri. Ini diharamkan selama waktu
tertentu, selagi istrinya masih hidup dalam tanggungjawab lelaki tersebut. Yang
diharamkan adalah menghinpun dua saudara perempuan dalam satu waktu:
Artinya: “…dan menghimpunkan
dalam pernikahan dua perempuan yang bersaudara kecuali yang telah terjadi pada
masa lampau …”(23)
Dalam Tafsir Al-Azhar[4]
menafsirkan “ Ibu-ibu istri-istrimu” yaitu
yang kita sebut mertua perempuan. Tetapi ibu tiri istri,atau saudara perempuan
mertua itu sendiri tidaklah menjadi mahram pula. Sehingga kalau istri kita
meninggal, lalu kita menikah dengan adik ibu mertua, tidaklah mengapa. Atau
meninggal mertua kita yang laki-laki, lalu kita nikahi ibu tiri istri kita dan
kita permadukan dengan istri kita, tidaklah mengapa.
“Anak-anak
perempuan yang dalam pangkuanmu dari istri-istrimu yang telah kamu campuri.”
Itu yang kita sebut anak tiri atau anak tepatan. Haramlah anak perempuan itu
kita nikahi kalau habis nikahi ibunya, kita telah menyetubuhi ibunya itu.
“Tetapi jika belum kamu campuri mereka, tiadalah halangan atas kamu.” Misalnya
setelah
ibunya kita nikahi, belum sempat bercampur, istri itu telah meninggal dunia.
Maka tidakah mengapa kita nikahi anaknya, karena tidak jadi dengan ibunya. Tetapi kalau sudah pernah
kita campuri lalu kita bercerai, dan sehabis bercerai janda kita itu mati,
tidaklah boleh anaknya kita nikahi sebab dia telah jadi mahram kita, sebab
pernah kita menyetubuhi ibunya.
“Dan
istri-istri anak kadung laki-laki.” Antaran anak laki-laki datang dari sulbi
kamu, niscaya anak dari anakmu, yaitu cucu dan anak dari cucu, cucu pula dari
cucu sampai kebawah adalah turunan langsung darahmu, sebab itu segala istri
mereka itu mahramah bagi kamu, haram kamu nikahi.
Dalam tafsir Ibnu Katsir mengatakan bahwa. Adapun mengenai ibu mertua (ibu istri)
maka ia menjadi mahram bagi sang menantu, begitu ia melakukan akad nikah dengan
puterinya walaupun ia belum atau tidak sampai mencampurinya. Sedang mengenai
anaknya istri (anak tiri) maka ia menjadi mahram bila ia sudah mencampuri
ibunya. Dan andai kata ia mencerai ibunya sebelum dicampuri, maka halal baginya
mengawini si anak tiri.
Sementara ahli
tafsir berpendapat bahwa kedudukan ibu mertua terhadap anak menantu sama dengan
kedudukan anak tiri terhadap ayah tirinya. Pendapat ini didasarkan atas
beberapa yang diantaranya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwa Ali bin Abi Thalib
r.a. takkala ditanya tentang seorang yang hendak mengawini mertuanya setelah ia
menceraikan istrinya (anak mertua itu sebelum ia mencampurinya), bolehkah ia
melakukan itu? Ali bin Abi Thalib menjawab,”kedudukan mertua dalam hal ini sama
dengan kedudukan anak tiri.”
Dan diriwayatkan
oleh Ibnu Bassyar bahwa Zaid bin Tsabit berkata “jika seorang menceraikan
istrinya sebelum ia mencampurinya maka ia dapat mengawini ibu istri itu
(mertuanya)”.
Kebanyakan ulama
berpendapat bahwa anak tiri menjadi mahram dikarenakan nikahnya sang ibu dengan
ayah tiri dan ibu mertua menjadi mahram begitu sang anak dinikahi. Diriwayatkan
oleh Ibnu Abu Hatim dari Ikrimah bahwa Ibnu Abbas berkata,”jika seorang
menceraikan istrinya sebelum dicampuri, maka ibu istrinya (mertua) tidak halal
baginya (menjadi mahram).pendapat ini disekutui oleh keempat madzhab :Syafi’i, Hanafi,
Maliki, dan Hambali dan ketujuh ahli fiqih.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mutsanna dari Syuaib
dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw bersabda. Artinya: ”jika seorang pria
menikahi seorang perempuan maka ia tidak halallah baginya mengawini ibunya
(mertuanya) ia telah mencampuri istrinya itu atau belum. Dan jika ia telah
mengawini sang ibu tetapi belum mencampurinya, maka jika ia dapat mengawini
anak tirinya, setelah ia menceraikan keduanya.”
Mengenai
kedudukan anak tiri, maka menurut pendapat kebanyakan para ulama, ia termasuk
mahram, apakah ia berada dibawah pemeliharaan sang Ayah tiri atau tidak.
Ada yang berpendapat bahwa anak tiri yang menjadi
mahram ialah yang berada dibawah asuhan atau pemeliharaan sang Ayah tiri dan
jika tidak demikian maka ia bukan mahram. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari
Malik bin Aus yang bercerita : “ tatkala isteriku meninggal dunia sesudah
melahirkan anak dari padaku, aku bersedih hati atas musibah itu. Maka tatkala aku bertemua dengan Ali bin Abi Thalib dan aku bercerita
dengan musibah yang menimpaku ia bertanya . “ Apakah ia mempunyai (seorang
putri yang bukan dari pada mu?).” Aku jawab, Ya, sekarang berada di Tha’if”.
Apakah ia berada dalam asuhan mu ? “Tidak” Jawab ku, ia selalu berada di
Tha’if”. Kawinilah
dia, jika demikian halnya, kata Ali bin Abi Thalib. Aku bertanya, “Bagaimana
dengan Firman Allah tentang anak-anak tiri yang berada di bawah Asuhan ?.
“Beliau menjawab “ Diakan tidak berada di bawah asuhanmu, sedangkan yang
menjadi mahram ialah anak tiri yang berada di bawah asuhanmu. Dan inilah
pendapat Abu Dawud bin Ali Adzzahiri dan sahabat-sahabatnya.
Dalam Tafsir assa’ady jilid 1 hal 173 anak istri ( yang sudah
digauli ):
وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ
لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
Keharaman menikahinya jika telah
terjadinya akad nikah contohnya seseorang yang menikahi perempuan lalu dia menginginkan
ibunya maka hal ini tidak diperbolehkan dalam Islam. Berbeda sebalik di bagian
4 jika seseorang telah menikahi perempuan (belum menggaulinya) maka boleh dia
memilih anaknya.[5]
3.
KESIMPULAN
Berdasarkan Tafsir dari
beberapa mufasir dan dalam pasal 39 ayat 2 huruf c. mengenai Hukum menikahi
Anak tiri beberapa ahli fiqih berbeda pendapat ada yang mengatakan boleh
menikahinya jika mencerikan isterinya qobla dukhul dan tidak boleh menikahnya
ketika sudah di dukhul menurut kebanyakan ulama, dan ada pendapat yang berbeda
sesuai dengan riwayat Ibnu Abu Hatim dari Malik bin Aus yang bercerita kepada Ali Bin Abi Thalib yang mengatakan boleh menikahi
Anak tiri jika tidak dalam pemeliharaan sang ayah tiri akan tetapi jika tidak
berada dalam pemeilharaan nya maka haram di nikahi. Jika kita amati bahwa dalam
pasal 39 ayat 2 huruf c Kompilasi Hukum Islam menggunakan madzhab Syafi’i dalam
isi pasal tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
ü Ash-Shobuny , Syekh Muhammad ‘Ali.
Rowai’ul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, (Jakarta: Darul Kutub
al-Islamiyah), tth
ü Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press) 2001
ü Abdul Malik Abdulah Karim, Tafsir Al Azhar juz 4, Jakarta : Pustaka Panjimas, , 1983.
ü Katsir, ibnu, Tafsir singkat Ibnu Katsir juz II hal. 346-348
Label: Dunia Dakwah, Makalah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda