Sejarah Dan Analisis Politik Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
MAKALAH
Sejarah
Dan Analisis Politik Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama
Diajukan
untuk memenuhi Tugas Mandiri
Mata
Kuliah : Hukum Acara Peradilan Agama II
Dosen
Pengampu : Asep Saefullah, M.H.I
Disusun Oleh :
Fazar Sodik (1415201019)
Jurusan
Ahwal Syakhsiyyah Semester VI (Enam)
FAKULTAS
SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI CIREBON
TAHUN
1439 H/2018 M
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum Islam di Indonesia telah telah lama menjadi
bagian dari norma hukum dan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Perkembangannya terus berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur
politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya
masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam
Keanekaragaman pemahaman orang Islam Indonesia di
dalam memahami hukum Islam memiliki dua kecenderungan, yakni hukum Islam
identik dengan syari’ah dan identik dengan fiqh. Ini banyak terjadi bukan hanya
di kalangan ulama Fiqh, tetapi juga di kalangan akademisi dan praktisi
hukum Islam.
Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam
keanekaragaman pemahaman orang Islam terhadap hakikat hukum Islam telah
berimplikasi dalam sudut aplikasinya. Oleh karea itu dalam penerapanya
didasarkan pada beberapa dasark hukum yaitu kitab-kitab fiqh,
keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan Perundang-undangan di
negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.
Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh
cukup besar dalam proses transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi
hukum Islam sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama Islam di
Indonesia, di mana stigma hukum yang beriaku dikategorikan menjadi hukum adat,
hukum Islam dan hukum Barat.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Sejarah pembentukan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama ?
2.
Bagaimana
Perdebatan Politik ketika pembentukan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama ?
3.
Bagaimana
analisi politik Hukum dalam Pembentukan undang-undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama ?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui sejarah pembentukan undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan agama
2.
Untuk
mengetahui perdebatan Politik ketika pembentukan Undang-undang Nomor 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama
3.
Untuk
mengetahui analisi Politik Hukum dalam pembentukan Undang-undang Nomor 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Pembentukan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Lembaga Peradilan Agama telah tumbuh dan berkembang
sesuai dengan keyakinana umat Islam jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia.
Usaha Belanda menghapuskan lembaga tersebut tidak berhasil, dan karenanya,
wajar apabila umat Islam sangat mendambakan segera keluarnya Undang-Undang
Peradilan Agama sejah Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman telah mengakui Peradilan Agama setara dengan
peradilan lainnya. Ini terdapat pada pasal 10 ayat 2, yaitu: “Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan (a) Peradilan Umum, (b)
Peradilan Agama, (c) Peradilan Militer, (d) Peradilan Tata Usaha Negara”.
Hal ini membuat umat Islam semangat untuk membuat Undang-Undang yang mengatur
Peradilan Agama.
Makna kekuasaan kehakiman sama artinya dan tujuannya
dengan kekuasaan peradilan atua judicial power yakni kekuasaan yang
menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
dalam negara hukum Republik Indonesia. Tugas pokoknya menerima, memeriksa dan
mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.[1]
Usaha untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang
Peradilan Agama telah dimulai oleh Departemen Agama sejak tahun 1961, yaitu
sejah dibentuknya sebuah panitia dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 66 Tahun
1961. Dalam masa 28 tahun sejarah pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama (1961-1989), kegiatan persiapan RUU PA telah
menghabiskan waktu selama 27 tahun (1961-1988) dan pembahasannya di DPR
Republik Indonesia selama satu tahun, yaitu sejak diantarkannya RUU tersebut
melalui amanat Presiden Nomor R.06/PU/XII/1988 tanggal 3 Desember 1988 untuk
dibicarakan dalam sidang DPR Republik Indonesia guna mendapatkan persetujuan,
sampai disetujui dalam sidang pleno DPR RI pada tanggal 14 Desember 1989.
Dalam kurun waktu 27 tahun mempersidangkan RUU PA
dapat dibagi kedalam tiga periode, yaitu[2]:
1.
Periode Pertama (1961-1971), dalam
periode ini kegiatan terbatas dalam lingkungan intern Departemen Agama sendiri
dan belum dilakukan langkah-langkah keluar;
2.
Periode Kedua (1971-1981), dalam
periode ini sudah dilakukan usaha-usaha keluar Departemen Agama, namun belum
diperoleh sambutan dari instansi terkait maupun yang langsung menyetujui
gagasan dipersiapkannya RUU PA;
3.
Periode Ketiga (1981-1988), dalam
periode ini gagasan mempersiapkan RUU PA yang telah lama didambakan oleh
Departemen Agama langsung mendapat persetujuan dari instansi terkait yang lain.
Persetujuan tersebut dimulai oleh Mahkamah Agung pada tahun 1981 dan kemudian
oleh Departemen Kehakiman pada tahun 1982, yaitu melalui Keputusan Menteri
Kehakiman tahun 1982 No. G-164-PR-04.03/1982 yang berisi keputusan untuk
membentuk tim pembahas dan penyusun rancangan tersebut. Tertunjuk sebagai ketua
tim adalah Prof. Dr. Bustanul Arifin (Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan
Agama Mahkamah Agung saat itu)[3].
Dengan keluarnya keputusan Menteri Kahakiman tahun
1982 yang berisi keputusan untuk membentuk tim pembahas dan penyusun Rancangan
Undang-Undang mengenai Peradilan Agama, maka rancangann Undang-Undang mengenai
peradilan ini mulai ditanggapi. Dengan menunjuk Prof. Dr. Bustanul Arifin
sebagai ketua tim pembahas RUU ini. Untuk menegakkan hukum Islam yang berlaku
secara yuridis formal dalam negar Republik Indonesia, pada tanggal 8 Desember
1988 Presiden Republik Indonesia menyampaikan RUU Peradilan Agama kepada DPR
untuk dibicarakan dan disetujui sebagai Undang-Undang menggantikan semua
peraturan perundang-undangan tentang peradilan agama yang tidak sesuai lagi
dengan UUD 1945 dan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.[4]
Setelah dibicarakan secara mendalam, dibahas dan diuji
dengan berbagai wawasan perundang-undangn yang berlaku di negara kita, akhirnya
pada hari Kamis tanggal 14 Desember 1989, RUU Peradilan Agama itu disetujui
oleh DPR menjadi Undang-Undang Republik Indonesia tentang Peradilan Agama. Lima
belas hari kemudian, tanggal 29 Desember 1989, Undang-Undang tersebut disahkan
menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 oleh Presiden RI, diundangkan pada
tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat dalam Lembar Negara
Nomor 49 Tahun 1989.
B. Perdebatan Politik
Menurut Bustanul Arifin dalam penyusunan RUU tersebut
banyak tantangan dari berbagai pihak untuk menggagalkannya. Ridwan Saidi
mengelompokkan pihak yang menentang ini kepada tiga, yaitu:
1.
Kelompok pertama, mengatakan bahwa
dalam rangka menuju unifikasi hukum di Indonesia, Peradilan Agama tidak
diperlukan lagi. Sebab akan ada kesan dualisme dalam sistem peradilan di
Indonesia. Kalaupun ada Peradilan Agama, maka harus berinduk kepada Peradilan
Umum. Kelompok ini ingin mempertahankan status quo, dimana Peradilan Agama
tidak mempunyai kebebasan untuk mengimplementasikan kompetensinya, bahkan
mereka ini ingin supaya Peradilan Agama sebagai subordinat dari Peradilan Umum.
Hal ini menurut Bustanul Arifin, sesuatu yang tidak konstitusional, sebab
lingkungan peradilan berinduk kepada Mahkamah Agung.
2.
Kelompok kedua, malah menginginkan
agar Peradilan Agama dibubarkan. Umat Islam seharusnya mengurus sendiri hukum
islam yang mereka anut. Orang-orang ini menolak Peradilan Agama, dimana mereka
berpendapat bahwa agama itu dipisahkan dari campur tangan negara (sekuler),
termasuk intervensi negara dalam soal mengurus Peradilan Agama. Partai
Demokrasi Indonsia (PDI), kelompok non muslim dan kelompok sekuler bahakn
sebagian pemimpin-pemimpin Islam juga keberatan dengan RUU PA ini. Bahkan
partai berkuasa Golkar terpecah menjadi dua kelompok, kelompok yang setuju dan
kelompok yang menentang. Namun, fraksi ABRI berusaha dengan serius untuk
mencari solusi terbaik diantara pro-kontra tersebut sehingga dapat mengurangi
terjadinya konflik.
3.
Kelompok ketiga, bukan saja menolak
RUU PA, tetapi juga eksistensi Peradilan Agama. Franz Magnis Suseno yang
termasuk kelompok ini berpendapat, dibentuknya Peradilan Agama bagi umat Islam
sebagai peradilan khusus, berarti diskriminasi terhadap terhadap kelompok
lainnya. Lebih jauhnya juga ada tuduhan bahwa RUU PA termasuk pada usaha untuk
memberlakukan kembali Piagam Jakarta.
Dari ketiga kelompok di atas, pada prinsipnya sama
yakni keberatan terhadap Peradilan Agama. Kelompok pertama melihat dari segi
politik hukum yang berkembang sejah masa penjajahan dengan memberlakukan
Peradilan Agama hidup tanpa eksistensi yang jelas. Munawir Sadjali menyebutkan
kebijakan seperti itu dengan istilah politik peradilan pupuk bawang yang selalu
dikebiri.
Tanggapan kelompok ketiga mengaitkan dengan rencanan
menghidupkan kembali Piagam Jakarta yang pernah direvisi terutama menyangkut
kalimat: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
pada sila pertama menjadi “ Ketuhanan yang maha esa”. Kelompok ini terlalu
berlebihan karena mereka khawatir terhadap rencana pembentukan Negara Islam.
Tuduhan lain menyatakan bahwa RUU PA berlawanan dengan
prinsip kesatuan hukum yang sudah ada di Indonesia, yang meliputi prinsip
kesatuan, wawasan nusantara, berlawanan dengan Negara Pancasila, bahkan
dinyatakan diskriminatif karena RUU PA itu dikhususkan bagi orang-orang Islam
di Indonesia. Seolah-olah kelompok ini tidak ingin membandingkan permasalahan
ini dengan BW yang merupakan warisan Kolonial Belanda, dimana BW ini sampai
sekarang masih tetap berada di Indonesia sesuai Peraturan Peralihan pasal 1 UUD
1945. Padahal nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya berasal dari etika
Kristen, seharusnya peraturan-peraturan yang terdapat didalam BW itu hanya
berlaku bagi agama Kristen saja. Begitu pula peradilan negeri yang nota bene
peraturannya dari etika Kristen itu harus pula dikhususkan untuk umat Kristiani
saja. Hal-hal seperti inilah yang kurang diperhatikan oleh intelektual dan ahli
hukum non muslim di Indonesia.
Pada sisi lain, terlihat pula politik Kristian yang
cenderung menghalangi setiap kebijakan yang tampaknya menguntungkan hukum Islam
atau umat Islam pada umumnya. Sekedar contoh, permainan politik Kristen, muncul
RUU Perkawinan dan RUU PA. Politik Kristen ini bergerak baik dalam jajaran
pemerintah, partai politik dan para intelektual mereka. Dari dalam jajaran
pemerintah misalnya memperlambat proses pembicaraan RUU PA dengan berbagai alasan
yang terkadang seolah-olah sulit untuk diterima oleh akal sehat. Seperti
pertimbangan ketetapan waktu yang dianggap mengguncang stabilitas nasional,
persoalan konsep yang dianggap masih mentah, dan memperlambat jalur surat dari
instansi pemerintah. Dalam kasus RUU PA dari patai politik seperti aliansi
nasionalis sekuler dengan Kristen melalui Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang
sikapnya menolak dan berupaya meninggalkan. Karena suara-suara yang vokal dari
fraksi ini seperti Sabam Sirait dan konco-konconya. Dari Golkar, ketika
pembicaraan tahap persiapan draft, dalam setiap rapat Golkar diwakili dari
agama Kristen, begitu juga dari jajaran Departemen, seperti Departemen
Kehakiman dan Departemen Sekretariat Negara. Sementera dari kalangan intelektual
Franz Magis Suseno dan romo-romo lainnya.
Meskipun gencarnya penolakan, ternyata presiden
Soeharto mempunyai andil yang cukup signifikan dan menentukan. Soeharto sendiri
ikut menyatakan bahwa RUU PA itu adalah sebagai implementasi dari Undang-Undang
Dasar 1945 dan Pancasila serta hal itu ada hubungannya sama sekali dengan
Piagam Jakarta.[5]
Bahkan presiden Soeharto ketika itu menjamin bahwa dianjurkannya RUU PA tidak
akan memberlakukan kembali ke Piagam Jakarta. Berkat perjuangan yang gigih dari
pakar hukum dan para ulama, serta jaminan politik dari presiden Soeharto RUU PA
disetujui menjadi Undang-Undang No. 7 tahun 1989. Jika ketika RUU No. 1 Tahun
1974 dulu para ulama mengajukan protes kepada pemerintah, maka dalam kasus RUU
PA ini umat Islam mendukung sepenuhnya RUU tersebut.
Perjuangan menggolkan RUU PA hanya mengembalikan
posisi Peradilan Agama pada posisi semula, yang dulu oleh Belanda dihanguskan.
Yang menonjol kata Daud Ali adalah kecemburuan kalangan non Muslim sangat gigih
melobi DPR untuk menggagalkan RUU PA tersebut. Malah salah seorang anggota DPR
yang mengatakan bahwa Peradilan Agama tidak terlalu diminati umat Islam untuk
menyelesaikan perkaranya. Namun pendapat ini dapat dibantah dengan data
penelitian Habibah Daud bahwa tahun 1976 saja “dari 1081 orang yang mengajukan
masalah waris di Jakarta hanya 47 orang yang ke Pengadilan Umum (4,35%)
sissanya 1034 orang (96,65%) mengajukan masalahnya ke Pengadilan Agama”.
Kehadiran Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 membawa
dampak positif dan dapat mengakhiri perlakuan tidak wajar terhadap Peradilan
Agama sebagai lembaga pradilan yang sudah ada semenjak tahun 1882 dengan
diundangkannya rancangan tersebut, maka Undang-Undang Peradilan Agama memberi
status yang kuat dan sejajar dengan tiga peradilan lainnya dan kompetensi
absolutnya tidak hanya dalam hal perkawinan, tetapi juga kewarisan, wakaf dan
shodaqoh.
C. Analisis
Politik Hukum
Untuk menjelaskan politik hukum pemerintahan Orde Baru
terhadap lembaga Peradilan Agama, maka perlu dipahami mulai dari sejarah hukum terutama
yang berkaitan dengan lembaga itu, ide lahirnya, persiapan, penyusunan samapai
pada bentuk final produk hukum itu. Usaha ini menjadi penting untuk melihat
secara pasti refleksi politik pada masa rezim Soeharto.
Dalam perspektif produk hukum, ada dua proses politikk
dalam suatu masyarakat, untuk pembangunana hukum, yaitu:
1.
Pertama, produk hukum yang
dihasilkan melalui kerangka strategi pembangunan hukum yang dapat disebut
ortodok, dimana karakter ini bersifat kaku dan kurang terbuka bagi perubahan, dengan
demikian hukum menjadi tanggap terhadap tuntunan kebutuhan masyarakat.
2.
Kedua, produk hukum yang dihasilkan
juga bersifat opresif karena secara sepihak hukum menentukan persepsi sosial
para pengambil kebijakan.[6]
Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap
penegakan hukumnya dan karakteristik produki-produk serta proses pembuatannya.
Keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi sproduk hukum, untuk kasus
Indonesia, kita dapat mencatat banyak contoh. Kasus lahirnya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dapat diambil sebagai contoh. Kedua Undang-Undang
tersebut sama-sama lahir pada era Orde Baru, tetapi hubungan politik anatara
pemerintah dan umat Islam atau hubungan antara negara dan agama yang
melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda.
Undang-Undang Perkawinan lahir dalam keadaan politik
konflik dan saling curiga, sedangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 lahir
ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan akomodasi.
Dari kedua Undang-Undang yang lahir pada periode hubungan yang berbeda itu kita
dapat melihat betapa keadaan politik tertentu telah menetukan pilihan atas
materi produk hukum. RUU tentang perkawinan yang diajukan pada periode konflik
politik ternyata menyambut protes dan demonstrasi karena materinya memuat
banyak hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pada saat itu pemerintah yang
tidak mesra dengan Islam mengajukan RUU yang dipandang dari sudut akidah Islam
harus ditolak, sementara umat Islam sendiri yang sedang “agak” oposan dengan
pemerintah mencurigai RUU tersebut sebagai upaya mengucilkan Islam.
Maka, jelas bahwa politik saling curiga dan konflik
itu melahirkan rancangan produk hukum yang juga menggambarkan kesalingcurigaan.
Akan terlihat sebaliknya pada kasus RUU tentang Peradilan Agama (yang kemudiann
menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989) yang lahir pada saat hubungan antara
pemerintah dan umat Islam secara politis saling akomodasi ini ternyata dapat
dukungan luas dari umat Islam karena hal itu seakan-akan menjadi kado mewah
bagi umat Islam. Pada saat musim akomodasi Undang-Undang pemerintah tidak ragu
untuk mengajukan RUU yang sangat didambakan oleh umat Islam. Itulah bukti,
untuk kasus Indonesia, betapa keadaan politik tertentu memberi jalan bagi
munculnya pembuatan hukum yang tertentu pula.[7]
Dalam masalah produk hukum terutama mengenai
Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok Kehakiman (Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970) mengakui secara tegas Peradilan Agama sebagai kekuasaan kehakiman. Oleh
sebab itu secara formal dilihat dari aspek yuridis, konfigurasi politik Orde
Baru dapat disebut berada dalam demokratis dan produk hukumnya yang responsif.
Dari perspektif pembentukan hukum, Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 dapat disebut responsif karena aspirasi seluruh masyarakat
tertampung dan cenderung akomodatif terhadap kebuthan dalam bidang peradilan.
Sedangkan dari segi implementasi perundangannya, bersifat fakultatif dan
legitimatif. Regulatif karena ia lebih banyak mengatur etika peradilan,
prosedural dan praktis operasional.
Politik akomodasi legislatif yang dilakukan
pemerintah, yaitu untuk mencari simpati dan dukungan dari umat Islam, karena:
1.
Pada masa itu bersamaan dengan
munculnya :Revolusi Islam Iran” (tahun 1979) yang merupakan sumbol kebangkitan
Islam dunia yang dapat mempengaruhi politik Soeharto.
2.
Pada tahun 1980 TNI perlahan-lahan
mulai meniggalkan Soeharto.
DAFTAR PUSTAKA
Bisri, Cik Hasan, Drs.,MS, Peradilan
Agama di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 126
Harahap, M. Yahya,SH, Kedudukan,
Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta:
Pustaka Kartini, 1997), cet. Ke-3, hal. 89.
Karim G, Abd., Nusantara Politik
Hukum Indonesia (Jakarta: Yayasan LBM, 1998), hal. 37-8.
Kumpulan Undang-Undang Terbaru, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), cet. ke-1, hal. viii.
Mahfud MD, Dr. Moh., Pergulatan
Hukum dan Politik di Indonesia (Jogjakarta: Gama Media, 1999), hal. 72-4.
Praja, Dr. Juhaya S., Hukum Islam
di Indonesia (pemikiran dan praktek), (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
1994), hal. 76.
Sadjali, Munawir, Islam Realitas
Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa (Jakarta, UI Press, 1993), hal. 27.
Tempo, “Bukan RUU Piagam
Jakarta”, 3 Juni 1989, lihat juga Masykuri Abdullah, “The Status of
Islamic Law in Indonesia Under The New Order Govorment”, makalah ini
disampaikan pada Workshop Islamic Revitalism and Brunei, Singapore, 2-3 Juni
1997, hal. 17.
Zarkasyi, Muchtar, Kerangka
Historis Pembentukan UU No. 7 Tahun 1989 (Bandung: Ulul Albab Press, 1997),
hal. 305
[1] M. Yahya Harahap, SH, Kedudukan, Kewenangan dan
Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), cet.
Ke-3, hal. 89.
[2] Muchtar Zarkasyi, Kerangka Historis Pembentukan UU No. 7
Tahun 1989 (Bandung: Ulul Albab
Press, 1997), hal. 305
[3] Munawir Sadjali, Islam Realitas
Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa (Jakarta, UI Press, 1993), hal. 27.
[4] Dr. Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia (pemikiran dan praktek), (Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya, 1994), hal. 76.
[5] Lihat “Bukan
RUU Piagam Jakarta”, Tempo, 3 Juni 1989, lihat juga Masykuri Abdullah, “The
Status of Islamic Law in Indonesia Under The New Order Govorment”, makalah
ini disampaikan pada Workshop Islamic Revitalism and Brunei, Singapore, 2-3
Juni 1997, hal. 17.
[7] Dr. Moh. Mahfud MD, Pergulatan Hukum dan Politik di Indonesia (Jogjakarta:
Gama Media, 1999), hal. 72-4.
Label: Makalah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda