Jumat, 20 Mei 2016

RESUME SPI

RESUME
Sejarah Peradaban Islam
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah “ Sejarah Peradaban Islam”
Dosen Pengampu: Akhmad Shodikin, M.HI


Logo-IAIN-Transparan.gif


Nama :  Fazar Sodik  ( 1415201019 )
Jurusan :  Al- Akhwal Al- Syakhsiyah – A
Semester 2




FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2016



BAB I
TIGA KERAJAAN BESAR

    A.            DINASTI TURKI USMANI
Dinasti Usmani berasal dari suku bangsa pengembara Qayigh Oghuz yang dipimpin oleh Sulaiman Syah. Dia mengajak anggota sukunya untuk menghindari serbuan bangsa Mongol yang menyerang dunia Islam yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Khawarizmi Syah pada tahun 1219-1220. Sulaiman dan anggota sukunya lari ke arah barat dan meminta perlindungan kepada Jalaludin, pemimpin terakhir Dinasti Khawarizmi Syah di Transoxiana. Jalaluddin menyuruh Sulaiman agar pergi ke arah barat (Asia Kecil), kemudian mereka menetap disana dan pindah ke Syam dalam rangka menghindari serangan Mongol. Dalam usahanya pindah ke Syam itu, pemimpin orang-orang Turki mengalami kecelakaan dan hanyut di sungai Eufrat yang tiba-tiba pasang karena banjir besar pada tahun 1228. Akhirnya mereka terbagi menjadi dua kelompok, yan pertama ingin pulang ke negeri asalnya, dan yang kedua meneruskan perjalanannya ke Asia Kecil. Kelompok kedua berjumlah sekitar 400 keluarga yang dipimpin oleh Ertoghol bin Sulaiman. Mereka menghambakan dirinya pada Sultan Alauddin dari Dinasti Saljuk Rum yang pemerintahannya berpusat di Konya, Anatolia, Asia Kecil. Tatkala dinasti saljuk berperang melawan Romawi Timur (Bizantium), Ertoghol membantunya, sehingga Dinasti Saljuk mengalami kemenangan. Sultan merasa senang dan memberinya wilayah kekuasaan yang berbatasan dengan Bizantium, dan mereka menjadikan Sogud sebagai pusat pemerintahannya (Ali Sodikin, dkk, 2003:152).

a.    Perluasan Wilayah
Setelah Usman mengumumkan dirinya sendiri sebagai Padyisah Al-Usman (Raja Besar Keluarga Usman), dia mulai memperluas wilayahnya dengan cara mengirimkan surat kepada pemimpin daerah sekitarnya yang berisi 3 pilihan, yaitu tunduk dan memeluk agama Islam, membayar jizyah, atau diperangi.
                        Puncak ekspansi Dinasti Usmani yaitu pada masa Sultan Muhammad II yang dikenal dengan gelar Al-Fatih (sang penakluk). Pada masanya, dilakukan ekspansi secara                              besar-besaran. Kota penting yang ditaklukkannya yaitu Konstantinopel. Sultan Muhammad Al-Fatih masih berumur 17 Tahun ketika menaklukkan Konstantinopel pada tanggal 28 Mei 1453. Setelah memasuki kota, Sultan Muhammad Al-Fatih mengganti nama kota menjadi Istambul, dan menjadikannya sebagai ibukota Dinasti Usmani. Sultan juga mengubah gereja terbesar dan termegah waktu itu, Hagia Sophia, menjadi masjid (Samsul Munir, 2009:199).

                        Ada lima faktor yang menyebabkan Dinasti Usmani berhasil melakukan perluasan wilayah-wilayah Islam. (1) Kemampuan orang-orang turki dalam strategi perang yang dikombinasikan dengan cita-cita memperoleh ghanimah (harta rampasan perang). (2) Sifat dan karakter orang-orang Turki yang selalu ingin maju dan tidak pernah diam serta gaya hidupnya yang sederhana, sehingga memudahkan tujuan penyerangan. (3) Semangat jihad dan ingin mengembangkan Islam. (4) Letak Istambul yang sangat strategis sebagai ibukota kerajaan. Istambul terletak di antara dua benua dan dua lautan, dan pernah menjadi pusat kebudayaan Macedonia, Romawi Timur, maupun Yunani. (5) Kondisi kerajaan-kerajaan di sekitarnya sedang dalam kekacauan, sehingga memudahkan penaklukannya (Ali Sodikin, dkk, 2003:156)

b.   Sistem Pemerintahan
                        Bentuk kerajaan Turki Usmani didasrkan kepada sistem feodal yang ditiru langsung dari kerajaan Bizantium. Dalam sistem pemerintahan, sultan adalah penguasa tertinggi dalam bidang agama, politik, pemerintahan, bahkan masalah-masalah perekonomian                                       (Ratu Suntiah, dkk, :139). Raja-raja Dinasti Usmani bergelar Sultan sekaligus Khalifah. Sultan menguasai kekuasaan duniawi, sedangkan Khalifah menguasai bidang agama/spiritual/ukhrawi. Mereka mendapatkan kekuasan secara turun-temurun, akan tetapi tidak harus putra pertamanya yang berhak menjadi penggantinya.

c.    Hasil Peradaban
            Meskipun Dinasti Usmani berkuasa cukup lama, yaitu sejak tahun 1299 hingga tahun 1922, tidak berarti bahwa peradabannya maju pesat seperti Dinasti Abbasi. Hal ini dikarenakan politik ekspansinya yang tidak diikuti dengan pembinaan wilayah taklukannya, di samping para sultan setelah penaklukan Konstantinopel sultannya lemah-lemah. Namun demikian, tingkat kemakmuran pemerintahannya lebih baik dibandingkan dengan seluruh bagian Eropa yang dikuasi oleh kaum Kristen. Demikian juga masyarakat Kristen yang berada di bawah kekuasaan Usmani lebih banyak mendapatkan hasil bumi, kemerdekaan pribadi, dan hasil usaha lainnya, dibandingkan dengan teman-teman mereka yang berada pada daerah kekuasaan Kristen. Dalam peradabanya meninggalkan buku-buku sebagai kekayaan sejarah, Dinasti Usmani juga meninggalkan sejumlah bangunan yang memperlihatkan keunggulan penguasaan teknologi pada zamannya.

     B.            DINASTI SYAFAWI DI PERSIA

            Dinasti safawiyah di persia berdiri sejak tahun ( 1502-1722 M).                                                     (Hasan ibrahim hasan. 1989:336). Dinasti safawiyah merupakan kerajaan islam di persia yang cukup besar. Awalnya kerajaan Safawi brasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, yang diambil dari nama Safawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni kerajaan safawi. Shafi Ad-Din merupakan keturunan dari Imam Syiah yang keenam, Musa Al-Kazhim gurunya bernama Syaikh Tajuddin Ibrahim zahidi (1216 – 1301). Shafi ad-Din mendirikan tarekat safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Tarekat safawiyah diambil dari nama pendirinya, safi ad-Din dan nama syafawi terus di pertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Nama itu terus di lestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan. (Badri Yatim.2000:138).
            Di persia muncul suatu dinasti yang kemudian merupakan suatu kerajaan besar di dunia islam. Dinasti ini berasal dari seorang sufi syekh ishak safiuddin dari ardabil di azerbaijan yang beraliran syi’ah dan mempunyai pengaruh besar di daerah persia                    (Nasution, op.cit.,:84)

a.    Kemajuan Dinasti Syafawi
            Kemajuan peradaban dinasti safawiyah tidak hanya terbatas dalam bidang politik tetapi kemajuan dalam berbagai bidang:
1.    Bidang keagamaan
Pada masa Abbas,dalam bidang keagamaan yang menanamkan sikap toleransi terhadap politik keagamaan tau lapang dada yang amat besar. Paham syi’ah tidak lagi menjadi paksaan bahkan orang sunni dapat hidup bebas mengerjakan ibadahnya (Hamka. 1981:70).

2.    Bidang arsitektur
Kerajaan safawi telah berhasil menciptakan isfahan, ibukota kerajaan menjadi kota yang sangat indah. Di kota ini berdiri bangunan bangunan besar dengan arsitektur bernilai tinggi dan indah seperti masjid, rumah sakit, sekolah, jembatan raksasa di atas zende rud, dan istana chihil sutun. Dalam kota isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum (Marshal G.S hodgson.1981:40).

3.    Bidang ekonomi
Kerajaan syafawi pada massa Abbas 1 ternyata telah memacu perkembangan perekonomian syafawi, terlebih setelah kepulauan hurmuz di kuasai dan pelabuhan gumrun diubah menjadi bandar Abbas. Yang merupakan salah satu jalur dagang laut antara timur dan barat yang biasa di perebutkan oleh belanda, inggris, dan perancis sepenuhnya telah menjadi milik kerajaan syafawi. Di samping sektor perdagangan, kerajaan syafawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian terutama di daerah bulan sabit subur( Badri Yatim.1997:144).

4.    Bidang ilmu pengetahuan
Berkembangnya ilmu pengetahuan masa kerajaan syafawi tidak lepas dari suatu doktrin mendasar bahwa kaum syi’ah tidak boleh taqlid dan pintu ijtihad selamanya terbuka. Kaum syi’ah tidak seperti kaum sunni yang mengatakan bahwa ijtihad telah terhenti dan orang mesti taqlid saja. Kaum syi’ah tetap berpendirian bahwasannya mujtahid tidak terputus selamanya (Hamka. 1987:70). (Badri Yatim.1997:144).
5.    Bidang kesenian
Kemajuan tampak begitu jelas dengan gaya arsitektur bangunannya, seperti terlihat pada masjid syah yang di bangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat dalam bentuk kerajinan tangan, kerajinan karpet, permadani, pakaian. Seni lukis mulai di rintis sejak zaman Tamasp 1, raja ismail pada tahun 1522 M. Membawa seorang pelukis Timur ke Tabriz, pelukis itu bernama Bizhard (Marshal G.S Hodson, t.t.:40). Pada zaman Abbas 1 berkembanglah kebudayaan, kemajuan, dan keagungan pikiran mengenai seni lukis, pahat, syair (Hamka.1987:70).

    C.            DINASTI MUGHAL DI INDIA (1526-1857 M)
Dinasti Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya Dinasti Syafawi. Jadi, di antara tiga kerajaan besar Islam tersebut kerajaan inilah yang termuda. Dinasti Mughal bukanlah kerajaan Islam pertama di anak Benua India (Badri Yatim,2008:145).
Ibrahim Lodi (cucu sultan Lodi), sultan Delhi terakhir, memenjarakan sejumlah bangsawan yang menentangnya. Hal ini memicu pertempuran antara Ibrahim Lodi dengan Zahirudin Babur (cucu Timur Lenk) di panipazh (1526 M). Pada tanggal 21 April 1526 M terjadilah pertempuran yang dahsyat di Panipazh. Ibrahim Lodi  beserta ribuan tentaranya terbunuh dalam pertempuran itu. Babur memasuki kota Delhi sebagai pemenang dan menegakkan pemerintahannya di sana. Sejak itulah berdiri dinasti Mughal di India, dan Delhi dijadikan ibu kota.
Dinasti ini memiliki sultan-sultan yang besar dan terkenal pada abad ke-17, yaitu Akbar (1556-1606), Jengahir salim (1605-1627), Syah Jehan (1628-1658), dan Aurangzeb              (1659-1707) (Dedi Supriyadi, 2008:261).
Penguasa-penguasa Mughal setelah Aurangzeb tidak berdaya dan tidak mampu mengembalikan supremasi Mughal. Penguasa-penguasa Mughal sesudah Aungzeb                            antara lain: Bahadur Syah (1707-1712), Azimus Syah (1712), Tihandar Syah (1713), Farukh Syiyar (1713-1719), Muhammad Syah (1719-1748). Pengganti Muhammad Syah adalah Ahmad Syah (1748-1754), diteruskan Alamgir II (1754-1759), Sah Alam (1761-1806). Mulai pada tahun 1761 kerajaan Mughal yang sudah tidak berdaya diserang oleh Ajmad Shah Durrani dari Afghan pada pertempuran Pannipat. Sejak itu pelan tapi pasti Dinasti Mughal hancur dan lenyap dari India.



a.    Kemajuan Kerajaan Mughal
Kemajuan yang dicapai pada masa dinasti Mughal merupakan sumbangan yang berarti dalam mensyiarkan dan membangun peradaban Islam di India.
Kemajuan-kemajuan tersebut antara lain :

a.      Bidang Politik dan Militer
Sistem yang menonjol adalah politik sulh e-kul atau toleransi universal,yaitu pandangan yang menyatakan bahwa derajat semua penduduk adalah sama. Sistem ini sangat tepat karena mayoritas masyarakat India adalah Hindu sedangkan Mughal adalah Islam (Ali Sodikin, dkk, 2003:220). Dalam urusan pemerintahan, pada masa Akbar menyusun pentadbiran secara teratur yang jarang taranya, sehingga Inggris satu setengah abad kemudian setelah menaklukan India, tidak dapat memilih jalan lain, hanya meneruskan administrasi Sultan Akbar (Dedi Supriyadi, 2008:262). 
Di bidang militer, pasukan Mughal dikenal sebagai pasukan yang kuat. Akbar Khan menjalankan pemerintahan bersifat militeristik, pemerintahan pusat dipimpin oleh                             raja; pemerintahan daerah dipimpin oleh kepala komandan (Sipah salat); dan pemerintahan sub-daerah dipimpin oleh komandan (Faudjat) (1). Di samping itu, Akbar pun membentuk                     Din Ilahi dan juga mendirikan Mansabdhari (lembaga pelayanan umum yang berkewajiban sejumlah pasukan)(Jaih Mubarok, 2008:244).

b.      Bidang Ekonomi
Kontribusi Mughal di bidang ekonomi adalah memajukan pertanian terutama untuk tanaman padi, kacang, tebu, rempah-rempah, tembakau dan kapas. Di samping pertanian, pemerintahan juga memajukan industri tenun, pertambangan dan perdagangan. Di samping untuk kebutuhan dalam negeri, hasil industri ini banyak diekspor ke luar negeri seperti Eropa, Arabia, dan Asia Tenggara bersaman dengan hasil kerajinan, seperti pakaian tenun dan kain tipis bahn gordyn yang banyak diproduksi di Gujarat dan Bengal. Untuk meningkatkan produksi,Jehangir mengizinkan Inggris (1611 M) dan Belanda (1617 M) mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di Surat (Ali Sodikin, dkk, 2003:220).

c.       Bidang Seni dan Arsitektur
Ciri yang menonjol dari arsitektur Mughal adalah pemakaian ukiran dan marmer yang timbul dengan kombinasi warna-warni. Bangunan sejarah yang ditinggalkan periode ini adalah Tajmahal di Aqra, Benteng Merah, Jama Masjid, istana-istana, dan gedung-gedung pemerintahan di Delhi (Ali Sodikin, dkk, 2003:221) .
Sementara dalam bidang sastra yang paling menonjol adalah karya gubahan penyair istana, baik yang berbahasa Persia maupun bahasa India. Pada masa Akbar berkembang  bahasa urdu, yang merupakan perpaduan dari berbagai bahasa yang ada di India. Penyair India yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayadi seorang sastrawan sufi yang menghasilkan karya besar yang berjudul Padmavat , sebuah karya alegoris yang mengandung pesan kebajikan jiwa manusia.
Karya seni yang masih dapat dinikmati sekarang dan merupakan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan mengagumkan. Pada masa Akbar dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, villa dan mesjid-mesjid yang indah. Pada masa Syah Jehan dibangun mesjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di Agra,Mesjid Raya Delhi dan istana indah di Lahore(Dedi Supriyadi, 2008:263).

d.      Bidang Ilmu Pengetahuan
Di bidang pengetahuan kebahasaan Akbar telah menjadikan tiga bahasa nasional, yaitu bahasa arab sebagai bahasa agama, bahasa Turki sebagai bangsawan dan bahasa Persia sebagai bahasa istana kesusastraan (Dedi Supriyadi, 2008:221). Di bidang ilmu agama berhasil dikodifikasikan hukum Islam yang dikenal dengan sebuan Fatwa-Alamgri (Ali Sodikin, dkk, 2003:221).

KEMUNDURAN TIGA KERAJAAN BESAR
a.    Kemunduran Dinasti Usmani di Turki
            Faktor-faktor yang menyebabkan kerajaan Turki Usmani mengalami kemunduran        yaitu: Wilayah kekuasaan yang sangat luas; kerajaan Turki Usmani sering terlibat perang secara terus-menerus sehingga susah untuk menjaga daerah yang telah dikuasai. Kelemahan para penguasa; Sepeninggal Sulaiman Al-Qanuni, Dinasti Usmani diperintah oleh sultan-sultan yang lemah, baik kepemimpinannya maupun kepribadiannya, sehingga mudah ditaklukkan bangsa lain. Heterogenitas penduduk; sebagai kerajaan yang sangat besar, tentunya masyarakatnya terdiri dari berbagai agama, aras, etnis yang berbeda sehingga diperlukan pengambilan keputusan yang benar-benar bijaksana. Budaya korupsi; korupsi merupakan hal yang umum terjadi dalam Dinasti Usmani, sehingga mengakibatkan rapuhnya moral pemerintah. Pemberontakan tentara Yeniseri; tentara Yeniseri adalah tentara terkuat, sehingga jika para pasukan Yeniseri memberontak pasti pemerintah kalah. Merosotnya perekonomian; akibat perang yang tiada henti, perekonomian merosot karena penguasa hanya mementingkan perang. Stagnasi dalam lapangan ilmu dan teknologi; Dinasti usmani kurang berhasil dalam mengembangkan ilmu dan teknologi, sehingga tidak mampu menghadapi persenjataan musuh dari Eropa yang semakin maju (Samsul Munir, 2009:208-209).


b.   Kemunduran Dinasti Syafawi di Persia
            Setelah Abbas 1, dinasti safawi mengalami kemunduran. Sulaiman, pengganti Abbas 1, melakukan penindasan dan pemerasan terhadap ulama sunni dan memaksakan ajaran syi’ah kepada mereka. Penindasan semakin parah terjadi pada zaman sultan husein, pengganti sulaiman. Penduduk afgan (saat itu bagian dari Iran) di paksa untuk memeuk syi’ah dan di tindas. Penindasan ini melahirkan pemberontakan yang di pimpin oleh Mahmud Khan (Amir Kandahar) sehingga berhasil menguasai Herat, Masyhad, dan kemudian merebut isfahan (1772 M). setelah itu, safawi diserang oleh Turki Usmani dan Rusia. Wilayah Armenia dan beberapa wilayah azerbaijan direbut oleh Turki Usmani, sedangkan beberapa wilayah propinsi laut kaspia di jilan, mazandaran dan asteraban direbut oleh Rusia. (Ira M.Lapidus,op.cit.,:299).
            Setelah sebagian besar wilayah dikuasai oleh Afghan, Turki Usmani dan Rusia, Nadir Syah (dinasti Asfhariah) karena mendapat dukungan dari suku Zand di Iran Barat menundukan dinasti safawiyah. Nadir Syah (bergelar Syah Iran) memadukan Sunni-Syi’ah untuk mendapat dukungan dari Afgan dan Turki Usmani; dan ia mengusulkan agar madzhab fiqih ja’fari (Syi’ah) dijadikan madzhab hukum yang kelima oleh ulama Sunni. Dinasti safawi pimpinan Nadir Syah kemudian di taklukan oleh dinasti Qajar (Ibid:300).
c.    Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Mughal
Setelah satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para pelanjut Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh            sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa kemunduran. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepemimpinan di tingkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan sparatis Hindu di India Tengah, Sikh di belahan utara dan Islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam(Badri Yatim,2008:159).
Pada masa Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul, tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan Aurangzeb yang dengan keras menerapka pemikiran puritanisme. Setelah iya wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang ditinggalkan (Badri Yatim,2008:159).
Sementara itu, para pedagang inggris (EIC) untuk pertama kalinya diizinkan oleh Jehangir menanamkan modal di India yang didukung oleh kekuatan bersenjata menjadi semakin kuat menguasai wilayah pantai.( Ratu Suntiah, 2010:147).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal itu mundur pada satu setengah abad terakhir dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M, yaitu:
1.      Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim Mughal. Begitu juga kekuatan pasukan darat. Bahkan, mereka kurang terampil dalam mengoperasikan persenjataan buatan Mughal sendiri.
2.      Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elit politik, yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
3.      Pendekatan Aurangzeb yang berlampau “kasar” dalam melaksanakan ide-ide puritan dan kecenderungan asketisnya, sehingga konflik antar agama sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan sebelumnya.
4.      Semua pewaris tahta kerajaan pada paruh terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.


BAB II
PERADABAN ISLAM DI ASIA TENGGARA

A. Proses Masuknya Islam di Asia Tenggara
Islam masuk ke Asia Tenggara disebarluaskan melalui kegiatan kaum pedagang dan para sufi. Hal ini berbeda dengan daerah Islam di Dunia lainnya yang disebarluaskan melalui penaklulan Arab dan Turki. Islam masuk di Asia Tenggara dengan jalan damai, terbuka dan tanpa pemaksaan sehingga Islam sangat mudah diterima masyarakat Asia Tenggara
Mengenai kedatangan Islam di negara-negara yang ada di Asia Tenggara hampir semuanya didahului oleh interaksi antara masyarakat di wilayah kepulauan dengan para pedagang Arab, India, Bengal, Cina, Gujarat, Iran, Yaman dan Arabia Selatan. Pada abad ke-5 sebelum Masehi Kepulauan Melayu telah menjadi tempat persinggahan para pedagang yang berlayar ke Cina dan mereka telah menjalin hubungan dengan masyarakat sekitar Pesisir. Kondisi semacam inilah yang dimanfaatkan para pedagang Muslim yang singgah untuk menyebarkan Islam pada warga sekitar pesisir. Menurut Uka Tjandra Sasmita, prorses masukya Islam ke Asia Tenggara yang berkembang ada enam, yaitu:

1. Saluran perdagangan
Pada taraf permulaan, proses masuknya Islam adalah melalui perdagangan. Kesibukan lalu-lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 membuat pedagangpedagang Muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian Barat, Tenggara dan Timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melaui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mereka berhasil mendirikan masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya. Di beberapa tempat penguasa-penguasa Jawa yang menjabat sebagai Bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir Utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan karena hanya faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi karena factor hubungan ekonomi drengan pedagang Muslim. Perkembangan selanjutnya mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat-tempat tinggalnya.
2.  Saluran perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi terutama puteri-puteri bangsawan, tertarik untuk menjadi isteri saudagar-saudagar itu. Sebelum dikawin mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas, akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan kerajaan Muslim.

               Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita Muslim yang dikawini oleh keturunan bangsawan; tentu saja setelah mereka masuk Islam terlebih dahulu. Jalur perkawinan ini jauh lebih menguntungkan apabila antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati, karena raja dan adipati atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses Islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan puteri Kawunganten, Brawijaya dengan puteri Campa yang mempunyai keturunan Raden Patah (Raja pertama Demak) dan lain-lain.

3. Saluran Tasawuf
 Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi mengajarkan teosofi yang bercampur dengana jaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka juga ada yang mengawini puteri-puteri bangsawab setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih dikembangkan di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.

4. Saluran prendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai dan ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing atau berdakwak ketempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Kleuaran pesantren ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan Agama Islam.

5.  Saluran kesenian
Saluran Islamisasi melaui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam serita itu di sisipkan ajaran nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lainnya juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.

6.  Saluran politik
Di Maluku dan Sulawesi selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia Bagian Timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.

B.  Penyebaran Islam di Asia Tenggara dan Indonesia
Sejak abad pertama, kawasan laut Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka sudah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan internasional yang dapat menghubungkan negeri-negeri di Asia Timur Jauh, Asia Tenggara dan Asia Barat. Perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional yang terbentang jauh dari Teluk Persia sampai China melalui Selat Malaka itu kelihatan sejalan pula dengan muncul dan berkembangnya kekuasaan besar, yaitu China dibawah Dinasti Tang (618-907), kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14), dan Dinasti Umayyah (660-749).
Mulai abad ke-7 dan ke-8 (abad ke-1 dan ke-2 H), orang Muslim Persia dan Arab sudah turut serta dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan sampai ke negeri China. Pada masa pemerintahan Tai Tsung (627-650) kaisar ke-2 dari Dinasti Tang, telah dating empat orang Muslim dari jazirah Arabia. Yang pertama, bertempat di Canton (Guangzhou), yang kedua menetap dikota Chow, yang ketiga dan keempat bermukim di Coang Chow. Orang Muslim pertama, Sa’ad bin Abi Waqqas, adalah seorang muballigh dan sahabat Nabi Muhammad SAW dalam sejarah Islam di China. Ia bukan saja mendirikan masjid di Canto, yang disebut masjid Wa-Zhin-Zi (masjid kenangan atas nabi).

1.      Menurut Zainal Arifin Abbas, Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M (684 M). Pada tahun tersebut datang seorang pemimpin Arab ke Tiongkok dan sudah mempunyai pengikut dari Sumatera Utara. Jadi, agama Islam masuk pertama kali ke Indonesia di Sumatera Utara.
2.      Menurut Dr. Hamka, Agama Islam masuk ke Indonesia pada tahun 674 M. Berdasarkan catatan Tiongkok , saat itu datang seorang utusan raja Arab Ta Cheh (kemungkinan Muawiyah bin Abu Sufyan) ke Kerajaan Ho Ling (Kaling/Kalingga) untuk membuktikan keadilan, kemakmuran dan keamanan pemerintah Ratu Shima di Jawa.
3.      Menurut Drs. Juneid Parinduri, Agama Islam masuk ke Indonesia pada tahun 670 M karena di Barus Tapanuli, didapatkan sebuah makam yang berangka Haa-Miim yang berarti tahun 670 M.
4.      Seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia di Medan tanggal 17-20 Maret 1963, mengambil kesimpulan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad I H/abad 7 M langsung dari Arab. Daerah pertama yang didatangi ialah pasisir Sumatera.

         Sedangkan perkembangan Agama Islam di Indonesia sampai berdirinya kerajaan kerajaan Islam di bagi menjadi tiga fase, antara lain :

a)      Singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Sumbernya adalah berita luar negeri, terutama Cina;
b)      Adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya di samping berita-berita asing juga makam-makam Islam;
c)      Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam (Abdullah, 1991:39).

 C.  Perkembangan Keagamaan dan Peradaban
Sejumlah karya bermutu di bidang teologi, hukum, sastra dan sejarah, segera bermunculan. Banyak daerah di wilayah ini seperti Pasai, Malaka dan Aceh juga Pattani muncul sebagai pusat pengajaran agama yang menjadi daya tarik para pelajar dari sejumlah penjuru wilayah ini.
System pendidikan Islam kemudian segera di rancang. Dalam banyak batas, Masjid atau Surau menjadi lembaga pusat pengajaran. Namun beberapa lembaga seperti pesantren di Jawa dan pondok di Semenanjung Melaya segera berdiri. Hubungan dengan pusat-pusat pendidikan di Dunia Islam segera di bina. Tradisi pengajaran Paripatetis yang mendahului kedatangan Islam di wilayah ini tetap berlangsung. Ibadah Haji ke Tanah Suci di selenggarakan, dan ikatan emosional, spritual, psikologis, dan intelektual dengan kaum Muslim Timur Tengah segera terjalin. Lebih dari itu arus imigrasi masyarakat Arab ke wilayah ini semakin deras.
Di bawah bimbingan para ulama Arab dan dukungan negara, wilayah ini melahirkan ulama-ulama pribumi yang segera mengambil kepemimpinan lslam di wilayah ini. Semua perkembangan bisa dikatakan karena lslam, kemudian melahirkan pandangan hidup kaum Muslim yang unik di wilayah ini. Sambil tetap memberi penekanan pada keunggulan lslam, pandangan hdup ini juga memungkinkan unsur-unsur local masuk dalam pemikiran para ulama pribumi. Mengenai masalah identitas, internalisasi Islam, atau paling tidak aspek luarnya, oleh pendudukan kepulauan membuat Islam muncul sebagai kesatuan yang utuh dari jiwa dan identitas subyektif mereka. Namun fragmentasi politik yang mewarnai wilayah ini, di sisi lain, juga melahirkan perasaan akan perbedaan identitas politik diantara penduduk yang telah di Islamkan.




BAB III
REFORMISME ISLAM
A.    Pengertian Reformisme Islam
Dalam bahasa Indonesia pengertian reformisme itu adalah Perubahan Radikal Untuk perbaikan bidang sosial Politik atau agama di suatu masyarakat atau Negara. Pengertian reformisme menurut  Islam adalah merubah pemahaman agama ummat Islam yang menyimpang dari al quran dan sunnah rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda : yang artinya “sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat (Islam) ini pada setiap permulaan seratus tahun orang yang akan memperbaharui (pemahaman agamanya” (Abu Daud, 36 : 1)
          Reformisme Islam merupakan proyek historis ulama yang di mulai pada abad ke-17 dalam usaha untuk menata kembali ummat muslim dan memperbaharui prilaku individu, proyek historis ini di dasarkan pada gagasan pemurnian kepercayaan dan pratik Islam dengan kembali kepada sumber yang autentik, yaitu Al-Qur`an dan sunnah serta memiliki kecenderungan kuat untuk menolak kebudayaan barat.
          Ciri utama dari reformisme Islam ialah semangat puritanisme yaitu penekanan kepada ajaran Islam yang murni, ada semacam persamaan dengan aliran tradisionalisme yang menekankan ortodoksi atau keaslian ajaran Islam bertolak dari semagat puritanisme aliran reformisme sangat menekankan Ishlah dan Tajdid.
Istilah lain dari reformisme Islam adalah Reformisme Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi madern.
setelah munculnya pemikiran dan gerakan Reformisme Islam, menyusul kontak politik dan intelektual dengan Barat. Pada waktu itu, baik secara politis maupun secara intelektual, Islam telah mengalami kemunduran, sedangkan Barat dianggap telah maju dan modern. Kondisi sosiologis  seperti itu menyebabkan kaum elit muslim merasa perlu untuk melakukan reformisme.
B.    Ruang Lingkup Reformisme Dalam Dunia Islam
                     1.            Dibidang aqidah dan ibadah, Reformisme di maksudkan untuk memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur asing dan kembali kepada ajaran yang murni dan utuh, sehingga iman menjadi suci karena terus diperbaharui.
                     2.            Di bidang muamalah duniawiyah, Reformisme dimaksudkan sebagai upaya modernisasi atau pengembangan dalam aspek social, ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan lain-lain sepanjang tidak bertentangan dengan dan di bawah panduan Al-Qur’an dan Hadis. Di sini umat Islam bebas melakukan kreasi, inovasi, dan reformasi kehidupan masyarakat muslim dengan berbagai metode dan pendekatan.
C.    Bentuk Reformisme dalam dunia Islam
Gerakan Reformisme Islam telah melewati sejarah panjang. Secara historis, perkembangan Reformisme Islam paling sedikit telah melewati Empat tahap. Keempatnya menyajikan model gerakan yang berbeda.
Tahap-tahap gerakan Reformisme Islam itu, dapat dideskripsikan sebagai berikut :
Pertama, adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis (premodernism revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish). Model gerakan ini timbul sebagai reaksi atas merosotnya moralitas kaum muslim. Waktu itu masyarakat Islam diliputi oleh kebekuan pemikiran karena terperangkap dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ciri pertama yang menandai gerakan yang bercorak revivalisme pramodernis ini adalah perhatian yang lebih mendalam dan saksama untuk melakukan transormasi secara mendasar guna mengatasi kemunduran moral dan sosial masyarakat Islam.
Model kedua, dikenal dengan istilah modernisme klasik. Di sini Reformisme Islam termanifestasikan dalam Reformisme lembaga-lembaga pendidikan. Pilihan ini tampaknya didasari argumentasi bahwa lembaga pendidikan merupakan media yang paling efektif untuk mensosialisasikan gagasan-gagasan baru. Pendidikan juga merupakan media untuk “mencetak” generasi baru yang berwawasan luas dan rasional dalam memahami agama sehingga mampu menghadapi tantangan zaman.
     Pada tahap ini juga populer ungkapan yang mengatakan bahwa Barat maju karena mengambil kekayaan yang dipancarkan oleh al-Qur’an, sedangkan kaum muslim mundur karena meniggalkan ajaran-ajarannya sendiri. Dalam hubungan ini, model gerakan melancarkan reformasi sosial melalui pendidikan, mempersoalkan kembali peran wanita dalam masyarakat, dan melakukan Reformisme politik melalui bentuk pemerintahan konstitusional dan perwakilan. Jelas pada tahap kedua ini, terjadi kombinasi-kombinasi yang coba dibuat antara tradisi Islam dengan corak lembaga-lembaga Barat seperti demokrasi, pendidikan wanita dan sebagainya. Meski kombinasi yang dilakukan itu tidak sepenuhnya berhasil, terutama oleh hambatan kolonialisme dan imprealisme yang tidak sepenuhnya menghendaki kebebasan gerakan Reformisme. Mereka ingin mempertahankan status quo masyarakat Islam pada masa itu agar tetap dengan mudah dapat dikendalikan.
     Tahap ketiga, gerakan Reformisme Islam disebut revivalisme pascamodernis (posmodernist revivalist), atau disebut juga neorevivalist (new revivalist). Pada tahap itu kombinasi-kombinasi tertentu antara Islam dan Barat masih dicobakan. Bahkan ide-ide Barat, terutama di bidang sosial politik, sistem politik, maupun ekonomi, dikemas dengan istilah-istilah Islam. Gerakan –gerakan sosial dan politik yang merupakan aksentusi utama dari tahap ini mulai dilansir dalam bentuk dan cara yang lebih terorganisir. Sekolah dan universitas yang dianggap sebagai lembaga pendidikan modern –untuk dibedakan dengan madrasah yang tradisional- juga dikembangkan. Kaum terpelajar yang mencoba mengikuti pendidikan universitas Barat juga mulai bermunculan. Tak heran jika dalam tahap ini, mulai bermunculan pemikiran-pemikiran sekularistik yang agaknya akan merupakan benih bagi munculnya tahap berikutnya.
Sejalan dengan itu, pada tahap ini muncul pandangan dikalangan muslim, bahwa Islam di samping merupakan agama yang bersifat total, juga mengandung wawasan-wawasan, nilai-nilai dan petunjuk yang bersifat langgeng dan komplit meliputi semua bidang kehidupan. Tampaknya, pandangan ini merupakan respons terhadap kuatnya arus “pemBaratan” di kalangan kaum muslim. Tak heran jika salah satu corak tahap ini adalah memperlihatkan sikap apologi yang berlebihan terhadap Islam dan ajaran-ajarannya.
Dalam ketiga tahap itulah muncul gerakan tahap keempat yang disebut neomodernisme. Tahap ini sebenarnya masih dalam proses pencarian bentuknya. Meskipun demikian, Fazlur Rahman sebagai “pengibar bendera” neomodernisme menegaskan bahwa  gerakan ini dilancarkan berdasarkan kritik terhadap gerakan-gerakan terdahulu. Menurut Fazlur Rahman, gerakan-gerakan terdahulu hanya mengatasi tantangan Barat secara ad hoc. Karena mengambil begitu saja istilah Barat dan kemudian mengemasnya dengan simbol-simbol Islam tanpa disertai sikap kritis terhadap Barat dan warisan Islam. Dengan sikap kritis, baik terhadap Barat maupun warisan Islam sendiri, maka kaum muslim akan menemukan soludi bagi masa depannya.

D.    Tokoh Gerakan Reformisme Islam


1.     Muhammad bin Abdul Wahab (1838/1839-1897)
Nama Lengkapnya adalah Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Ia lahir di Uyaynah pada 1730 M/l115 H dan wafat di Daryah tahun 1206 H (1793M). Ayah dan kakeknya adalah ulama terkenal di Najd/Nejad (Arab Saudi). Dari ayahnya ia memperoleh pendidikan di bidang keagamaan dan mengembangkan minatnya di bidang tafsir, hadits, dan hukum madzhab Hanbaliyah. Untuk meningkatkan pengetahuannya ia banyak melakukan perjalanan mencari ilmu. Ia juga membaca karya-karya Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, sehingga ia benar-benar menjadi seorang ulama, ahli hukum dan pembaharu ternama.
Dia adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah, yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Dia juga merupakan seorang ulama besar yang produktif, karena buku-buku karangannya tentang islam mencapai puluhan buku, diantaranya buku yang berjudul “Kitab At-Tauhid” yang isinya tentang pemberantasan syirik, khurafat, takhayul dan bid’ah yang terdapat di kalangan umat Islam dan mengajak umat Islam agar kembali kepada ajaran tauhid yang murni.
Proses Reformismenya dimulai dengan banyak menyampaikan ceramah dan khutbah dengan berani dan antusiasme. Oleh karena itu, ia cepat memperoleh banyak pendukung. Pada permulaan ini pula ia melahirkan karya terkenal berjudul Kitâb al-Tauhîd. Setelah kematian ayahnya pada 1740, Muhammad Ibn Abdul Wahhab semakin populer dan gerakannya mendapat dukungan dari pemerintah Kerajaan Ibn Saud.
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang berarti "satu Tuhan".
Inti gerakan Reformismenya adalah : pertama, Reformisme Islam yang paling utama disandarkan pada persoalan tauhid. Dalam hal ini, Muhammad Ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya membedakan tauhid menjadi tiga macam; tauhîd rubûbiyah, tauhîd ulûhiyah dan tauhîd al-asmâ’ wa al-sifât(C.M.Helm, 1981: 88-89). Menurut Abdul Wahhab, Allah adalah Tuhan alam semesta yang maha kuasa, dan melarang penyifatan kekuasaan Tuhan pada siapapun kecuali Dia. Dialah yang menciptakan manusia dan alam dari tiada. Eksistensi Allah dapat dirasakan melalui tanda-tanda dan ciptaan-Nya yang tersebar di seluruh alam, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, gunung-gunung dan sungai-sungai, dan seterusnya. Allah adalah Tuhan yang berhak disembah. Segala urusan manusia sehari-hari harus didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Tuhan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan apapun (QS. Asy-Syûrâ/42: 11). Baik dan buruk berasal dari Allah dan manusia tidak bebas berkehendak.
Wahhab tidak mempercayai superioritas ras; superioritas atau inferioritas tergantung pada ketaqwaan pada Allah. Tauhîd ulûhiyyah dipandang sebagai tauhîd amalî. Tauhid ini didasarkan atas rukun Islam dan rukun Iman. Yang termasuk dalam tauhid ini adalah semua bentuk ibadah harian, keyakinan dan tindakan iman serta perjuangan dengan penuh kecintaan, ketaqwaan, harapan dan kepercayaan pada Allah.
Wahhab percaya pada makna harfiah Al-Qur’an termasuk ungkapan-ungkapan antropomorfisme tentang Allah; tetapi bukan berarti ini mengharuskan antropomorfisme bagi Allah. Ia berpendapat bahwa orang beriman akan melihat Allah di surga, tetapi bentuk dan rupa Allah melampaui akal manusia (Saedullah, 1973: 138).
Kedua, Wahhab sangat tidak setuju dengan para pendukung tawashshul. Menurutnya, ibadah adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan. Usaha mencari perlindungan kepada batu, pohon dan sejenisnya merupakan perbuatan syirik. Demikian juga bertawassul kepada orang yang sudah mati atau kuburan orang suci sangat dilarang dalam Islam dan Allah tidak akan memberikan ampunan bagi mereka yang melakukan perbuatan demikian. Ini bukan berarti ziyarah kubur tidak diperkenankan, namun perbuatan-perbuatanbid’ah, takhayul dan khurafat yang mengiringi ziyarah semestinya dihindarkan agar iman tetap suci dan terpelihara (Ayman al-Yassini, 1995: 307-308).
Ketiga, sumber-sumber syari’ah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Menurutnya, Al-Qur’an adalah firman Allah yang tak tercipta, yang diwahyukan pada Muhammad melalui malaikat Jibril; ia merupakan sumber paling penting bagi syari’ah. Ia hanya mengambil keputusan berdasarkan ayat-ayat muhkamât dan tidak berani mempergunakan akal dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât.
Keempat, serupa dengan Ibn Taimiyah, Wahhab menyatakan pentingnya negara dalam memberlakukan secara paksa syari’ah dalam masyarakat yang otoritas tertinggi ada di tangan khalifah atau imam yang harus bertindak atas dasar saran ulama dan komunitasnya. Jika seseorang menjadi khalifah dengan konsensus komunitas Muslim, maka ia harus ditaati. Ia juga memandang sah upaya penggulingan khalifah yang tidak kompeten oleh Imam yang kompeten melalui kekerasan dan paksaan. Namun demikian, khalifah yang tidak kompeten tetap harus dipatuhi sepanjang ia melaksanakan syari’ah dan tidak menentang ajaran-ajaran Al-Qur’an dan sunnah.
Reformisme Muhammad Ibn Abdul Wahhab memurnikan Islam dari segala bid’ah, takhayul dan khurafat, tampaknya menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan Reformisme yang terjadi di dunia Muslim dari waktu ke waktu. Di negara Arab sendiri ajaran-ajaran Wahhab kemudian menjadi Wahhabi karena dukungan Ibn Saud dan putranya Abdul Aziz.
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdul Wahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun.

2.    Jamaluddin Al-Afghani (1838/1839-1897)

Nama panjang beliau adalah Muhammad Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad, Afghanistan pada tahun 1254 H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadits yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Meskipun lahir di Afghanistan, ia berasal dari keluarga Syi’ah Iran. Namun, tidak ada bukti yang menguatkan bahwa ia mengidentifikasi dirinya sebagai seorang Syi’ah. Pendidikan dasarnya diperoleh di tanah kelahirannya, yakni Asadabad. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di kota-kota suci kaum Syi’ah pada 1805. Di sinilah ia banyak dipengaruhi para filosof rasionalis Islam seperti Ibnu Sina dan Nasir al-Din al-Tusi.
Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun mempela­jari bahasa Arab, sejarah, matematika, fil­safat, fiqih dan ilmu keislaman lainnya. Dan pada usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan metafisika. Al-Afghani segera dikenal sebagai profil jenius yang penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan bak ensiklopedia.
Setelah membekali dirinya dengan seluruh cabang ilmu pengetahuan di Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis), Al-Afghani mempersiapkan misinya membangkitkan Islam. Pertama-tama ia masuk ke India, negara yang sedang melintasi periode yang kritis dalam sejarahnya. Kebencian kepada kolonialisme yang telah membara dalam dadanya makin berkecamuk ketika Afghani menyaksikan India yang berada dalam tekanan Inggris. Perlawanan terjadi di seluruh India. Afghani turut ambil bagian dari periode yang genting ini, dengan bergabung dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857. Namun, Afghani masih sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Sepulang dari haji, Afghani pergi ke Kabul. Di kota ini ia disambut oleh penguasa Afghanistan, Dost Muhammad, yang kemudian menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya. Saat itu, Dost Muhammad sedang mempertahankan kekuasaannya dengan memanfaatkan kaum cendekiawan yang didukung rakyat Afghanistan. Sayang, ketika akhirnya Dost terbunuh dan takhtanya jatuh ke tangan Sher Ali, Afghani diusir dari Kabul.
Perjalanan hidup Jamaluddin sebenarnya lebih mirip seorang politik dari pada pembaharu Islam (L. Stoddard, 1921: 21). Hal ini terbukti dari aktivitas yang ia lakukan. Pada umur 22 tahun ia menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Pada 1864 ia menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad Azam Khan.
Meninggalkan Kabul, Afghani berkelana ke Hijjaz untuk melakukan ziarah. Rupanya, efek pengusiran oleh Sher Ali berdampak bagi perjalanan Afghani. Ia tidak diperbolehkan melewati jalur Hijjaz melalui Persia. Ia harus lebih dulu masuk ke India. Pada tahun 1869 Afghani masuk ke India untuk yang kedua kalinya. Ia disambut baik oleh pemerintah India, tetapi tidak diizinkan untuk bertemu dengan para pemimpin India berpengaruh yang berperan dalam revolusi India. Khawatir pengaruh Afghani akan menyebabkan pergolakan rakyat melawan pemerintah kolonial, pemerintah India mengusir Afghani dengan cara mengirimnya ke Terusan Suez yang sedang bergolak.
Jamaluddin pernah tinggal di India meskipun tidak lama. Setelah itu   menetap di Mesir dari 1871 hingga l879 dengan bantuan dana Riyad Pasha. Di kota ini, ia menghabiskan waktunya untuk mengajar dan memperkenalkan  penafsiran filsafat Islam. Ketika Mesir berada dalam krisis politik dan keuangan pada akhir 1870, tokoh ini mendorong para pengikutnya untuk menerbitkan surat kabar politik. Ia banyak memberikan ceramah dan melakukan aktivitas politik sebagai pemimpin gerakan bawah tanah. Para pengikutnya antara lain Muhammad Abduh, Abdullah Nadim, Sa’ad Zaghlul, dan Ya’kub Sannu. Pada 1889 ia membentuk partai Hizbul Wathani dan berhasil menggulingkan Raja Mesir Khedewi Ismail, meskipun kemudian ia diusir oleh penguasa baru Tawfik (Harun Nasution,  1975: 54-55).
Kemudian, Jamaluddin pergi ke Paris dan bersama-sama muridnya yang bernama  Muhammad Abduh, menerbitkan majalah al-‘Urwah al Wutsqa. Pada tahun 1884 pergi ke Inggris untuk berunding dengan Sir Henry Drummond Wolff tentang masalah Mesir. Dua tahun kemudian, pergi ke Iran untuk membantu penyelesaian sengketa Rusia dan Iran. Akhirnya diusir keluar Iran oleh penguasa Syah Nasir al-Din karena perbedaan faham.
Sultan Ottoman Abdul Hamid II mengundang Jamaluddin ke Istambul untuk membantu pelaksanaan politik Islam yang direncanakan Istambul. Pengaruh Jamaluddin yang cukup besar, membuat Abdul Hamid khawatir jika posisinya akan terongrong. Selanjutnya Abdul Hamid mengeluarkan kebijakan untuk membatasi aktivitas politik Jamaluddin. Di kota inilah Jamaluddin tinggal hingga akhir hayatnya,  meninggal pada 1897 karena penyakit kanker.
Meskipun karirnya lebih menggambarkan sebagai tokoh politik, Jamaluddin al-Afghani telah berjasa memberikan kontribusi bagi Reformisme Islam modern. Pengalamannya berkelana ke Negara-negara Barat, membawa pada suatu  kesimpulan bahwa dunia Islam dalam keadaan mundur, sementara Barat mengalami kemajuan. Ini mendorongnya untuk melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Pemikiran Reformismenya didasarkan pada keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Jika ada pertentangan, perlu dilakukan penyesuaian dengan mengadakan interpretasi baru terhadap ajaran Islam. Kemunduran umat Islam, menurutnya, disebabkan karena mereka statis, taqlîd dan fatalis. Umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya, al-Islâm mahjûbun bi al-Muslim. Umat Islam juga terbelakang dari segi pendidikan dan kurang pengetahuan mengenai dasar-dasar ajarannya, serta lemah rasa persaudaraan akibat perpecahan internal.
Untuk mengatasi keterbelakangan dan kemunduran tersebut, Jamaluddin mengemukakan dan memperjuangkan gagasan Reformismenya meliputi:
 pertama, dari sudut pandang Islam tradisional, Jamaluddin mengemukakan pentingnya kepercayaan pada akal dan hukum alam, yang tidak bertentangan dengan kepercayaan pada Tuhan. Jamaluddin mengajarkan hal yang dibela oleh para filosof, mendakwahkan agama dan rasionalisme kepada massa, serta hukum alam pada para elite Muslim. Ia berusaha mengelaborasi interpretasi Islam modernis dan pragmatis (Nikki R. Keddie, 1995: 25-27).
Kedua, Jamaluddin berhasil mendukung kebangkitan nasionalisme di Mesir dan India. Dikombinasikan dengan aktivitas anti-Inggris inilah yang membuat Jamaluddin semakin populer di dunia Islam saat itu. Maka jasanya adalah  memberikan kontribusi pemikiran Islam modern khususnya berkenaan dengan politik (Nikki R. Keddie, 1995: 25-27).
Ketiga, Jamaluddin menyatakan ide tentang persamaan antara pria dan wanita dalam beberapa hal. Wanita dan pria sama kedudukannya, keduanya mempunyai akal untuk berpikir. Tidak ada halangan bagi wanita untuk bekerja di luar rumah, jika situasi menuntut semacam itu. Dengan demikian, Jamaluddin menginginkan agar wanita juga meraih kemajuan dan bekerjasama dengan pria untuk mewujudkan umat Islam yang maju dan dinamis ( Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993: 300).
Afghani menghabiskan sisa umurnya dengan berpetualang keliling Eropa untuk berdakwah. Bapak pembaharu Islam ini memang tak memiliki rintangan bahasa karena ia menguasai enam bahasa dunia (Arab, Inggris, Perancis, Turki, Persia, dan Rusia). Afghani menghembuskan nafasnya yang terakhir karena kanker yang dideritanya sejak tahun 1896. Beliau pulang keharibaan Allah pada tanggal 9 Maret 1897 di Istambul Turki dan dikubur di sana. Jasadnya dipindahkan ke Afghanistan pada tahun 1944. Ustad Abu Rayyah dalam bukunya “Al-Afghani : Sejarah, Risalah dan Prinsip-prinsipnya”, menyatakan bahwa Al-Afghani meninggal akibat diracun dan ada pendapat kedua yang menyatakan bahwa ada rencana Sultan untuk membinasakannya.



BAB VI
KONTRIBUSI ISLAM DALAM SEJ ARAH PERADABAN BARAT
Kehidupan saat ini tidak dapat lagi dipisahkan dari peran peradaban Barat. Hampir seluruh aspek kehidupan dibentuk atas dasar pemikiran Barat. Ilmu pengetahuan, tekonologi, ekonomi, politik  dan sebagainya sebagian besar  diadopsi dari peradaban bangsa Barat. Sehingga tidak salah jika kemudian masyarakat mengatakan; “kemajuan peradaban dunia saat ini di bawah kendali bangsa Barat.”
Perlu diketahui bersama bahwasanya dibalik kejayaan peradaban Barat saat ini, ada sebuah realitas sejarah yang banyak tidak diketahui dunia atau bahkan memang sengaja “ditutup-tutupi” oleh bangsa Barat karena dikhawatirkan dapat menjadi boomerang yang dapat meluluh lantahkan profil kamajuan peradaban Barat  di mata dunia. Ya,! Sebuah realitas sejarah yang mengatakan bahwa; kemajuan peradaban bangsa Barat saat ini adalah karna “jasa dan pengorbanan” para ilmuwan muslim abad  pertengahan.
Konon, tepatnya pada abad ke XIII M, terjadilah sebuah invasi bangsa Mongol yang dahsyat lagi kejam. Invasi tersebut dimulai pada tahun 1206, dipimpin oleh Jengis Khandan dan anak keturunannya . Sebagai akibat dari kebengisan bangsa Mongol, hampir tidak ada sebuah peradaban yang tersisa di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Eropa timur.
Kemudian Pada tahun 1258, pasukan Bangsa Mongol mulai mengincar pusat peradaban Islam di Baghdad. Mereka mengubah keindahan kota menjadi puing-puing reruntuhan. Mereka ubah Masjid menjadi kandang kuda, merobohkan rumah sakit dan universitas, merusak sistem irigasi peninggalan Mesopotamia yang dibuat ribuan tahun silam, menginjak-injak mushaf Al-Qur’an, membakar perpustakaan dan menumpuk serta menghanyutkan ribuan buku-buku dan manuskrip-manuskrip tulisan ulama-ulama terdahulu di sungai Tingris sebagai batu loncatan agar mereka bisa mencapai sisi sebelah barat sungai.
Begitu parahnya kerusakan yang mereka timbulkan, sehingga banyak para sejarawan yang menganggap bahwa penghancuran kota Baghdad sebagai pusat intelektual dan kekhilafahan Dinasti Abbasiah tahun 1258, sebagai peristiwa “kemunduran” Era Kejayaan Islam abad pertengahan. 
Setelah berhasil memporak-porandakan pusat Kekhilafaan Islam di Baghdad dan berhasil mencapai sisi sebelah barat sungai, mereka kemudian meneruskan invansinya ke arah barat menuju Mesir dan Mediterania. Namun beruntung, pada tahun 1260 pasukan Islam dari Dinasti Mamluk dapat menghalau tindakan biadab mereka hingga akhirnya mereka menghentikan invansinya.
Seandainya pasukan islam tidak berhasil mengahalau mereka kala itu, kemungkinan seluruh wilayah yang menjadi pusat peradaban dunia seperti Roma, Mesir, Andalusia, Bizantum, dan Eropa Barat juga akan musnah. Nah, jika itu terjadi; akankah bangsa Barat bisa mengukir kejayaan dan kemajuan seperti saat ini?.
            Inilah realitas sejarah yang sampai saat ini belum dibuat clear oleh bangsa Barat. Bahkan sebenarnya, jauh sebelum peradaban Barat mengukir prestise keilmuwan di mata dunia, peradaban Islam melalui cendikiawan-cendikiawan hebat seperti Ibnu Shina (Avicenna), Albiruni, Al-Battani (Albategnius) dan cendekiawan lainnya, telah lebih dulu membangun citra keilmuwan peradaban Islam lebih beberapa tingkat dari peradaban Barat saat ini. Namun, lagi-lagi bangsa Barat enggan mengakui prestise gemilang ini bahkan kian membuatnya terkikis dari mata dunia. 
            Betapa hebatnya pengaruh peradaban Islam terhadap alur kemajuan peradaban Barat saat ini. Mestinya mereka “tahu diri” dan berterimakasih pada Islam atas sumbangsih yang telah mereka berikan, bukan malah  menginjak-injak martabat orang Islam dan kian  pongah dengan eloknya kemajuan yang mereka dapatkan saat ini.















BAB V
Dampak Kemajuan Barat atas Dunia Islam

A. Dampak Kemajuan Barat atas Dunia Islam
Pada masa Renaisans Eropa meneliti jalan untuk menuju kemajuan. Mereka  mengalami masa kebangkitan. Berbagai keberhasilan di capai oleh mereka. Christoper Colombus menemukan Benua Amerika pada tahun 1492 M. Vasco da Gamma menemukan Tanjung Harapan pada tahun 1498 M. Karena dua penemuan ini maka bangsa Eropa menghindari monopoli lalu lintas perdagangan yang di kuasai umat Islam.
Pada waktu itu bangsa Eropa menghadapi sebuah kekuatan yang dipandang mereka masih kuat. Kekuatan itu adlah Kerajaan Turki Usmani. Sebagaimana kita ketahui bahwa Kerajaan Turki   menjadi negara adikuasa dalam beberapa ratus tahun lamanya. Sistem perdagangan mereka menguasai jalur perdagangan yang menghubungkan Timur dan Barat.
Beberapa penemuan yang menjadikan bangsa-bangsa Eropa melampaui umat Islam adalah sebagai berikut.
1.      Bangsa-bangsa Barat berhasil menciptakan mesin uap
2.      Bangsa-bangsa Barat mampu menciptakan teknologi perkapalan
3.      Teknologi senjata militer
 Tumbuhnya Semangat Nasionalisme Dunia Islam dan Tumbuhnya Partai untuk kemerdekaan Negaranya
Bangsa-bangsa Eropa yang telah maju dalam segala bidang sengaja melakukan perebutan kekuasaan terhadap kaum muslimin. Pihak yang paling dirugikan adalah Turki Usmani. Melihat kemajuan yang dicapai bangsa Eropa, Turki menyadari bahwa kaum muslimin telah tertinggal jauh. Oleh sebab itu, mereka melakukan pembaruan. Caranya dengan belajar dari bangsa-bangsa Eropa. Pembaruan dilakukan dengan cara :

1. Pemurnian Ajaran Agama
Pemurnian ajaran agama dilakukan karena beberapa alasan. Di antaranya bahwa Islam telah mundur dari peradaban dunia. Penyebabnya karena umatnya tidak menjalankan agama sesuai dengan Al-qur’an dan Hadits. Untuk itu, sikap beragama mereka harus diluruskan. Di antaranya gerakan yang hendak melakukan pemurnian agama adalah sebagai berikut:
1)      Gerakan Wahabiyah yang dipelopori Muhammad ibn Abdul wahab (1703-1787 M) di Arabia
2)      Syekh Waliyullah (1703-1762 M) di India
3)      Gerakan Sanusiyah yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusia di Afrika Utara.

2. Belajar dari peradaban barat
Penguasa Turki banyak mengirim para pelajar ke negara-negara Eropa. Mereka dikirim ke Prancis dan Inggris. Begitu pula penguasa Mogul India. Mereka melakuka studi untuk mengambil ilmu bangsa Eropa. Setelah kembali ke negerinya mereka harus mengembangkan apa yang mereka dapat dari Eropa.

3.  Gerakan Penerjemahan Buku-buku Eropa ke dalam Bahasa Islam
Gerakan pembaruan dilakukan secara tidak sadar masuk dalam dunia politik. Untuk itu, beberapa gerakan tersebut berusaha mengambil alih kekuasaan dari penguasa lama. Dengan dalih melakukan reformasi dan revolusi, mereka memaksakan keinginan gerakannya untuk berkuasa di wilayah-wilayah gerakan. Dari gerakan ini timbul semangat Pan Islamisme (persatuan Islam sedunia).
        Tokoh yang pertama kali menggagas Pan Islamisme dalam Islam adalah Jamaluddin Al Afgani. Selanjutnya, gagasan Pan Islamisme meluas ke seluruh negeri-negeri Islam. Akan tetapi, semangat Pan Islamisme meredup seiring degan kekalahan Turki dalam Perang Dunia I.
            Di Mesir gerakan nasionalisme tumbuh berdasarkan persamaan bahasa. Gerakan ini merebak ke Syiria, Libanon, Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein, dan Kuwait. Para cendikia yang berada di wilayah-wilayah tersebut memiliki cita-cita untuk menyatukan Arab dalam satu negara Arab. Namun,cita-cita mereka tidak dapat tercapaikan.
Di Indonesia muncul gerakan nasionalisme yang dipelopori oleh partai Sarekat Islam (SI). Partai ini dipelopori oleh HOS Cokroaminoto. Selanjutnya muncul beberapa partai, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno, Partai Pendidikan Nasional (PNI baru) yang didirikan Mohammad Hatta, dan Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) yang dipelopori oleh Mukhtar Lutfhi. Gerakan-gerakan partai ini tumbuh dan berkembang untuk mewujudkan cita-cita melepaskan diri dari penjajahan Barat.
 Kemerdekaan Negara-Negara Mayoritas Islam
Adanya semangat nasionalisme mengantarkan beberapa negeri islam melepaskan diri dari cengkraman penjajahan. Negara mayoritas muslim pertama yang mampu melepaskan diri dari penjajahan Barat adalah Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Indonesia melepaskan diri dari penjajahan Jepang.
Negara Islam kedua yang berhasil memerdekakan diri adalah Pakistan. Pada tanggal 15 Agustus 1947 Pakistan memerdekakan diri dari penjajahan Inggris. Presiden pertama Pakistan adalah Muhammad Ali Jinnah.
Selanjutnya, yang dapat memerdekakan secara formal adalah Syiria, Jordanisa, dan Libanon pada tahun 1946. Kemerdekaan juga dicapai Mesir dan Irak tahun 1932. Namun, kemerdekaan tersebut hanya secara formal, sedangkan penguasaan politik masih berada di tangan Inggris. Mereka baru merasakan kemerdekaan secara nyata tahun 1958.
Libya mendapatkan kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1951. Sudan dan Maroko mendapatkan kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1956. Aljazair mendapatkan kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1962. Yaman Utara, Yaman Selatan, Emirat Arab mendapat kemerdekaan tahun 1962.
Malaysia dan Singapura mendapat kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1957, sedangkan Brunei Darussalam merdeka pada tahun 1984 dari tangan Inggris. Uzbekistan, Tukmenistan, Kirghistan, Kazakhstan, Tajikistan, dan Azerbaijan memerdekakan diri dari Uni Soviet pada tahun 1992. Adapun Bosnia dapat memerdekakan diri dari tangan Yugoslavia pada tahun 1992.

B.     Respon Islam Terhadap Peradaban Barat Modern

Apapun motif, model, dan pihak yang terlibat konflik, realitas dunia yang penuh konflik menimbulkan bencana kemanusiaan yang dahsyat, dimana negara-negara berkembang – termasuk Muslim – adalah korbannya. Konflik yang dipicu oleh semangat imperialisme telah membuat jurang yang semakin lebar antara kelompok dominan dan yang didominasi. Dunia tentu tidak boleh terlalu lama dibiarkan terpolarisasi atas dua kelompok itu, di mana kelompok dominan sebagai the first class, bisa berbuat sewenang-wenang atas kelompok yang didominasi. Jalan keluar dari kemelut ini ada dua yang ditawarkan beberapa kalangan, dialog atau melawan hegemoni.
Orang yang mengidealkan cara dialog untuk menyelesaikan konflik peradaban atau kepentingan mungkin lupa bahwa Barat adalah sesuatu yang sudah laten dalam tradisi relasi Barat – non-Barat. Keinginan untuk mengajak Barat bersikap lebih adil.
Sudah saatnya kaum Muslim di negara-negara berkembang bersikap kritis untuk melawan wacana global yang diproduksi Barat. Termasuk wacana globalisasi yang selama ini diterima sebagai sesuatu yang niscaya, harus dikritisi karena tersembunyi sebuah ideologi yakni non-liberalisme yang dampaknya terhadap pembunuhan ekoniomi rakyat sangat luar biasa.
Memang patut untuk disayangkan sikap beberapa kuam Muslim yang mengaku berfikir liberal tetapi sesunggunya mereka telah menjadi terbaratkan. Misalnya saat mereka ramai-ramai menolak penerapan syari’at Islam di Indonesia, yang mereka tawarkan tidak lain dan tidak bukan adalah syari’at liberal yang jauh lebih menghancurkan bangsa ini. Karena syariat liberal pada dasarnya adalah pembuka dan sekaligus legitimasi rasional atas berbagai bentuk mutakhir penjajahan Barat atas negara berkembang, termasuk Indonesia.


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda