Senin, 31 Juli 2017

ANALISIS KOMPILASI HUKUM ISLAM PASAL 39 AYAT 2 HURUF C DIKAITKAN DENGAN TAFSIR SURAH AN-NISA AYAT 23






ANALISIS KOMPILASI HUKUM ISLAM PASAL 39 AYAT 2 HURUF C DIKAITKAN DENGAN TAFSIR SURAH AN-NISA AYAT 23

FAZAR SODIK
(NIM : 1415201019)













JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM / AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2017

  


PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG           
Nikah merupakan sunnah Rasulullah SAW yang jika tidak mengikuti sunnahnya berarti bukan dari golongannya. Itu yang tersurat dalam suatu haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَمِدَ اَللَّهَ , وَأَثْنَى عَلَيْهِ , وَقَالَ : لَكِنِّي أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ , وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ , وَأَتَزَوَّجُ اَلنِّسَاءَ , فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban”[1]
Akan tetapi dalam pernikahan itu pasti ada suatu masalah, salah satunya yaitu orang-orang yang haram untuk dinikahi atau mahram. Namun orang-orang seringkali menyebutnya dengan kata muhrim padahal maknanya berbeda antara mahram dan muhrim.
Dalam tulisan ini penulis mencoba mengulas sedikit tentang apa dan siapa orang-orang yang haram untuk dinikahi yang ada dalam Fiqih Madzhab dan Kompilasi Hukum Islam. Kemudian lebih mengkhusukan Mengenai  larangan pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 ayat 2 huruf C mengatakan bahwa “ larangan menikah Karena kerabat semenda : dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul” pasal ini di kaitkan dengan tafsir surat an-nisa ayat 23.

      2.      PEMBAHASAN
      A.    Pengertian Orang yang Haram dinikahi (Mahram)
Mahram (محرم) adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam. Muslim Asia Tenggara sering salah dalam menggunakan istilah mahram ini dengan kata muhrim, sebenarnya kata muhrim memiliki arti yang lain. Dalam bahasa arab, kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang berihram dalam ibadah haji sebelum bertahallul. Sedangkan kata mahram (mahramun) artinya orang-orang yang merupakan lawan jenis kita yang haram (tidak boleh) kita nikahi sementara atau selamanya. Namun kita boleh bepergian dengannya, boleh berboncengan, melihat wajahnya, boleh berjabat tangan, dan seterusnya.

      B.     Macam-macam Penafsiran dari para Mufasir mengenai orang orang yang haram di nikahi
Seperti dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 23 bahwa mahram terbagi menjadi beberapa macam, berikut uraiannya:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا -
Artinya 23; Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Menurut tafsir Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Qutub dikatakan, bahwa wanita yang haram dinikahi itu sudah terkenal (masyhur) pada semua umat, baik yang masih konservatif maupun yang sudah maju. Sebab-sebab keharamannya itu banyak, demikian pula kelas-kelas mahram menurut bermacam-macam umat. Daerahnya luas dikalangan bangsa-bangsa yang masih terbelakang dan menyempit dikalangan bangsa-bangsa yang telah maju.[2]

Wanita-wanita yang diharamkan-untuk dinikahi-karena perkawinan (mushaharah) ada lima[3].
1)      Ushul az-Zaujah (induk istri) hingga keatas. Maka seorang lelaki diharamkan menikahi ibu istrinya dan neneknya dari pihak bapak istrinya atau dari pihak ibu istrinya hingga keatas. Pengharaman ini berlaku begitu terjadi akad dengan istri, baik sudah digauli ataupun belum.
Artinya: “… dan ibu-ibu istrimu …” (23)
2)    Furu’ az-Zaujah (cabang-cabang istri) hingga ke bawah. Maka seorang lelaki diharamkan menikahi anak perempuan istrinya dan anak-anak perempuan dari anak-anak istrinya, baiklelaki maupun perempuan hingga ke bawah.pengharaman ini tidak berlaku kecuali setelah istrinya digauli.
Artinya: ”.. dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu cerauikan), maka tidak berdosa kamu menikahinya ..” (23)
3)      Istri-istri bapak dan kakek dari kedua belah pihak –hingga ke atas. Maka seorang lelaki diharamkan menikahi istri bapaknya dan istri kakeknya dari pihak bapaknya atau dari pihak ibunya hingga ke atas.
Artinya: “ dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau ..” (22)
4)      Istri-istri anak dan istri-istri cucuhingga ke bawah. Maka seorang lelaki diharamkan menikahi istri anak kandungnya dan istri cucunya hingga ke bawah.
Artinya: “… dan istri-istri anak kandungmu (menantu)…” (23)
Ini sekilas membatalkan tradisi Jahiliyah yang mengharamkan menikahi (mantan) istri anak asuh (adopsi).
5)      Saudara perempuan istri. Ini diharamkan selama waktu tertentu, selagi istrinya masih hidup dalam tanggungjawab lelaki tersebut. Yang diharamkan adalah menghinpun dua saudara perempuan dalam satu waktu:
Artinya: “…dan menghimpunkan dalam pernikahan dua perempuan yang bersaudara kecuali yang telah terjadi pada masa lampau …”(23)
Dalam Tafsir Al-Azhar[4] menafsirkan  “ Ibu-ibu istri-istrimu” yaitu yang kita sebut mertua perempuan. Tetapi ibu tiri istri,atau saudara perempuan mertua itu sendiri tidaklah menjadi mahram pula. Sehingga kalau istri kita meninggal, lalu kita menikah dengan adik ibu mertua, tidaklah mengapa. Atau meninggal mertua kita yang laki-laki, lalu kita nikahi ibu tiri istri kita dan kita permadukan dengan istri kita, tidaklah mengapa.
“Anak-anak perempuan yang dalam pangkuanmu dari istri-istrimu yang telah kamu campuri.” Itu yang kita sebut anak tiri atau anak tepatan. Haramlah anak perempuan itu kita nikahi kalau habis nikahi ibunya, kita telah menyetubuhi ibunya itu. “Tetapi jika belum kamu campuri mereka, tiadalah halangan atas kamu.” Misalnya setelah ibunya kita nikahi, belum sempat bercampur, istri itu telah meninggal dunia. Maka tidakah mengapa kita nikahi anaknya, karena tidak  jadi dengan ibunya. Tetapi kalau sudah pernah kita campuri lalu kita bercerai, dan sehabis bercerai janda kita itu mati, tidaklah boleh anaknya kita nikahi sebab dia telah jadi mahram kita, sebab pernah kita menyetubuhi ibunya.
“Dan istri-istri anak kadung laki-laki.” Antaran anak laki-laki datang dari sulbi kamu, niscaya anak dari anakmu, yaitu cucu dan anak dari cucu, cucu pula dari cucu sampai kebawah adalah turunan langsung darahmu, sebab itu segala istri mereka itu mahramah bagi kamu, haram kamu nikahi.
Dalam tafsir Ibnu Katsir mengatakan bahwa. Adapun mengenai ibu mertua (ibu istri) maka ia menjadi mahram bagi sang menantu, begitu ia melakukan akad nikah dengan puterinya walaupun ia belum atau tidak sampai mencampurinya. Sedang mengenai anaknya istri (anak tiri) maka ia menjadi mahram bila ia sudah mencampuri ibunya. Dan andai kata ia mencerai ibunya sebelum dicampuri, maka halal baginya mengawini si anak tiri.
Sementara ahli tafsir berpendapat bahwa kedudukan ibu mertua terhadap anak menantu sama dengan kedudukan anak tiri terhadap ayah tirinya. Pendapat ini didasarkan atas beberapa yang diantaranya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bahwa Ali bin Abi Thalib r.a. takkala ditanya tentang seorang yang hendak mengawini mertuanya setelah ia menceraikan istrinya (anak mertua itu sebelum ia mencampurinya), bolehkah ia melakukan itu? Ali bin Abi Thalib menjawab,”kedudukan mertua dalam hal ini sama dengan kedudukan anak tiri.”
Dan diriwayatkan oleh Ibnu Bassyar bahwa Zaid bin Tsabit berkata “jika seorang menceraikan istrinya sebelum ia mencampurinya maka ia dapat mengawini ibu istri itu (mertuanya)”.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa anak tiri menjadi mahram dikarenakan nikahnya sang ibu dengan ayah tiri dan ibu mertua menjadi mahram begitu sang anak dinikahi. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Ikrimah bahwa Ibnu Abbas berkata,”jika seorang menceraikan istrinya sebelum dicampuri, maka ibu istrinya (mertua) tidak halal baginya (menjadi mahram).pendapat ini disekutui oleh keempat madzhab :Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali dan ketujuh ahli fiqih.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mutsanna dari Syuaib dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw bersabda. Artinya: ”jika seorang pria menikahi seorang perempuan maka ia tidak halallah baginya mengawini ibunya (mertuanya) ia telah mencampuri istrinya itu atau belum. Dan jika ia telah mengawini sang ibu tetapi belum mencampurinya, maka jika ia dapat mengawini anak tirinya, setelah ia menceraikan keduanya.”
Mengenai kedudukan anak tiri, maka menurut pendapat kebanyakan para ulama, ia termasuk mahram, apakah ia berada dibawah pemeliharaan sang Ayah tiri atau tidak.
Ada yang berpendapat bahwa anak tiri yang menjadi mahram ialah yang berada dibawah asuhan atau pemeliharaan sang Ayah tiri dan jika tidak demikian maka ia bukan mahram. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Malik bin Aus yang bercerita : “ tatkala isteriku meninggal dunia sesudah melahirkan anak dari padaku, aku bersedih hati atas musibah itu. Maka tatkala aku bertemua dengan Ali bin Abi Thalib dan aku bercerita dengan musibah yang menimpaku ia bertanya . “ Apakah ia mempunyai (seorang putri yang bukan dari pada mu?).” Aku jawab, Ya, sekarang berada di Tha’if”. Apakah ia berada dalam asuhan mu ? “Tidak” Jawab ku, ia selalu berada di Tha’if”.  Kawinilah dia, jika demikian halnya, kata Ali bin Abi Thalib. Aku bertanya, “Bagaimana dengan Firman Allah tentang anak-anak tiri yang berada di bawah Asuhan ?. “Beliau menjawab “ Diakan tidak berada di bawah asuhanmu, sedangkan yang menjadi mahram ialah anak tiri yang berada di bawah asuhanmu. Dan inilah pendapat Abu Dawud bin Ali Adzzahiri dan sahabat-sahabatnya.
 Dalam Tafsir assa’ady jilid 1 hal 173 anak istri ( yang sudah digauli ):
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
Keharaman menikahinya jika telah terjadinya akad nikah contohnya seseorang yang menikahi perempuan lalu dia menginginkan ibunya maka hal ini tidak diperbolehkan dalam Islam. Berbeda sebalik di bagian 4 jika seseorang telah menikahi perempuan (belum menggaulinya) maka boleh dia memilih anaknya.[5]

3. KESIMPULAN
            Berdasarkan Tafsir dari beberapa mufasir dan dalam pasal 39 ayat 2 huruf c. mengenai Hukum menikahi Anak tiri beberapa ahli fiqih berbeda pendapat ada yang mengatakan boleh menikahinya jika mencerikan isterinya qobla dukhul dan tidak boleh menikahnya ketika sudah di dukhul menurut kebanyakan ulama, dan ada pendapat yang berbeda sesuai dengan riwayat Ibnu Abu Hatim dari Malik bin Aus yang bercerita kepada Ali Bin Abi Thalib yang mengatakan boleh menikahi Anak tiri jika tidak dalam pemeliharaan sang ayah tiri akan tetapi jika tidak berada dalam pemeilharaan nya maka haram di nikahi. Jika kita amati bahwa dalam pasal 39 ayat 2 huruf c Kompilasi Hukum Islam menggunakan madzhab Syafi’i dalam isi pasal tersebut.
























DAFTAR PUSTAKA
ü  Ash-Shobuny , Syekh Muhammad ‘Ali. Rowai’ul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, (Jakarta: Darul Kutub al-Islamiyah), tth
ü  Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press) 2001
ü  Abdul Malik Abdulah Karim, Tafsir Al Azhar juz 4,  Jakarta : Pustaka Panjimas, , 1983.
ü  Katsir, ibnu, Tafsir singkat Ibnu Katsir juz II hal. 346-348



[1] Ibnu Hajar Al-Asqolani , Bulighul Marom, cetakan Bairut : Hal. 200-201
`[2].Sayyid Qutub. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press) 2001
[3] Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Juz 3 dan 4, Jakarta : Robani Press, 2001, hal. 713
[4] Abdul Malik Abdulah Karim, Tafsir Al Azhar juz 4,  Jakarta : Pustaka Panjimas, , 1983 , hal 112.

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda